Cerita Getir Ibu Rumah Tangga Jadi Korban Pinjaman Online Ilegal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pinjaman online (pinjol) di masa pandemi Covid-19 kian marak. Beratnya beban hidup dan kemudahan dalam mengakses pinjaman membuat banyak orang tidak memikirkan risiko bunga kredit yang mencekik. Saat terbelit utang, penikmat pinjol ini kerap terjebak dalam kejahatan siber yang dilakukan individu atau entitas penyedia fintech peer to peer (P2P) lending illegal.
Oktyas, ibu rumah tangga berdomisili di Jakarta Barat, sebenarnya enggan membagi kisah pahitnya dengan KORAN SINDO. Dalam dua kali kesempatan bertemu, dirinya selalu menolak menceritakan pengalamannya terbelit pinjaman online. Baru pada pertemuan ketiga, perempuan yang punya usaha jualan sepatu dan tas itu mau terbuka. (Baca: Nasihat Indah Aa Gym: Jangan Mempersulit Diri!)
“Pandemi Covid-19 ini memang berimbas banget kepada saya dan keluarga. Sekarang sedikit demi sedikit kami berusaha bangkit. Kami tetap coba produktif dengan jalankan lagi usaha jualan online yang kami punya sebelumnya, bahkan juga kami tawarkan offline,” kata Oktyas membuka cerita dengan mata berkaca-kaca. (Baca juga : Soal Nasib Honorer Lolos PPPK, Menpan RB: Aturan Pembayaran Gajinya sedang Dibahas )
Oktyas memang memiliki usaha sendiri termasuk jual-beli online yang modalnya bersumber dari sang suami. Saat awal masa pandemi hingga kini, usaha yang dijalankan Oktyas bisa dikatakan hampir tidak menyumbangkan pemasukan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Barang seperti baju dan tas yang ditawarkan secara online hanya sedikit yang laku. Pada masa pandemi pula gaji suami Oktyas yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dipotong sebagian oleh pihak perusahaan.
“Akhirnya, di awal-awal corona itu saya beranikan diri ajukan pinjaman ke aplikasi pinjol . Ada enam aplikasi. Saya tahu aplikasi itu aplikasi ilegal, tidak terdaftar, bahkan di-blacklist OJK,” tuturnya.
(Baca juga : Amanah, Tanda-tanda Iman Seorang Mukmin )
Dia kukuh tidak bergeming. Pinjaman tetap diajukan. Pasalnya, kebutuhan sehari-hari keluarganya harus dipenuhi alias dapur harus ngebul. Apalagi bantuan dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak kunjung ada. Sesekali ada, tapi hanya sembako bantuan pemprov. Itu pun hanya mencukupi sekitar tiga hari. Masing-masing pinjaman yang diajukan Oktyas berkisar antara Rp500.000 hingga Rp800.000. Pinjaman tersebut akhirnya disetujui. (Baca juga: PSBB Diperpanjang, Sekolah di Jakarta Belum Bisa Terapkan Tatap Muka)
“Ada satu aplikasi sebenarnya yang saya ajukan Rp1 juta dan disetujui. Tapi yang cair hanya Rp800.000. Anehnya, tagihan ditambah bunganya Rp1,5 juta. Bunganya Rp500.000, jadi pinjamannya Rp1 juta,” ujarnya.
Oktyas mengungkapkan, setiap pinjol ilegal memang ada yang meminta data pribadinya. Dia setuju memberikan, tapi belakangan saat jatuh tempo pengembalian pinjaman, Oktyas kaget bukan kepalang. Seluruh data kontak yang ada di ponsel maupun foto-foto dalam galeri diretas dan diakses pinjol ilegal tersebut. Berikutnya hampir seluruh nomor kontak dihubungi oleh pihak pinjol ilegal. Kontak-kontak itu, baik keluarganya, tetangga, kenalan, maupun teman semasa sekolah dulu.
Penagih dari pihak aplikasi terus meneror Oktyas untuk mengembalikan pinjaman. Teror, baik lewat telepon langsung maupun pesan singkat. Kosakata yang ada di kebun binatang keluar dari mulut si penagih. Tidak sampai di situ, si penagih mengirimkan salinan KTP Oktyas dan foto yang sebelumnya diakses dari ponsel Oktyas disertai beberapa kalimat. Misalnya, dicari Oktyas, buronan yang telah membawa kabur uang dengan jumlah sekian.
“Malu banget waktu itu. Secara psikologis, saya juga sangat terpukul. Orang-orang yang terima pesan singkat atau ditelepon itu hubungi saya. Saya datangi satu per satu yang saya bisa, kemudian saya jelaskan duduk masalah seperti apa, saya jujur, dan minta maaf,” ungkapnya.
Oktyas dan keluarga juga sempat bernegosiasi dengan si penagih. Ada yang mau menerima pengembalian pinjaman tanpa bunga, ada juga yang menolak. Berikutnya intimidasi tetap datang. Oktyas berunding dengan keluarga. Bagi pinjol yang bersedia menerima pengembalian uang, Oktyas langsung mengembalikan. Berikutnya dia mematikan ponsel beberapa pekan dan mengganti nomor ponsel. (Baca juga: Tips Aman ke Dokter Gigi Selama Covid-19)
Kini Oktyas maupun keluarga, tetangga, kenalan, maupun temannya sudah tidak lagi menerima pesan singkat atau telepon dari penagih. Dia pun kapok tidak mau lagi tergiur pinjol ilegal. “Ya saya berharap, cerita saya ini bisa jadi pelajaran bagi saya dan keluarga. Juga supaya warga yang belum atau ada keinginan untuk pinjam uang lewat pinjol ilegal agar berpikir lagi, lebih baik tidak usah. Ya, kita jaga dirilah sama keluarga kita. Kalau ada tawaran pinjol, lihat-lihat juga di (website) OJK,” ujarnya.
Oktyas menambahkan, untuk pembelian dan pembayaran online termasuk untuk usaha yang dia jalankan memang ada menggunakan beberapa aplikasi. Beruntungnya, kata dia, aplikasi itu adalah platform digital legal. Karenanya, dia tidak takut melakukan transaksi. Di sisi lain, Oktyas juga sejak awal sudah mewaspadai jangan sampai ada oknum tertentu melakukan hipnotis untuk meminta kode one-time password (OTP) guna menguras saldo dari dalam aplikasi yang digunakan Oktyas. “Kalau ada yang minta kode OTP, misalnya lewat telepon, langsung saya matikan,” katanya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai NasDem Achmad Hatari punya cerita sehubungan dengan penawaran pinjaman melalui SMS. Hatari pernah menerima beberapa SMS dari nomor ponsel yang tidak dikenal. Di antara isinya, kata dia, tawaran pinjaman online dan kartu kredit secara cepat. Hatari memastikan dia tidak tergiur dengan tawaran-tawaran seperti itu. (Baca juga: Kasus Anak Melonjak di Masa Pandemi, Kemensos Tingkatkan Layanan Asuh)
“Saya tidak tanggapi. Yang kredit itu, dia memosisikan diri sebagai marketing kartu kredit. Saya bilang, 'jangan saudara memosisikan diri sebagai calo'. Ini yang masalah begini-begini, OJK tidak terlalu care. Harusnya bertindak dong,” ujar Hatari saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Ketua DPW Partai Nasdem Provinsi Maluku Utara ini mengaku kaget. Pasalnya, bagaimana bisa data pribadi berupa nomor ponselnya bisa bocor dan diperoleh pihak yang mengajukan penawaran tersebut. Kalau Hatari saja yang merupakan Wakil Ketua Komisi XI DPR dan juga mitra kerja OJK bisa bocor datanya, maka bagaimana dengan masyarakat umum.
Karena itu, Hatari mendesak OJK segera berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta provider telekomunikasi seluler agar ada aturan atau MoU perlindungan data pribadi masyarakat. “Jadi apalagi sekarang ini kan lagi musim yang begitu-begitu (penawaran pinjaman dan kredit) lewat SMS. Kerja sama itu harus konkret,” katanya.
Hatari mengungkapkan, pada masa pandemi Covid-19 jelas para pelaku atau penyedia pinjaman online (pinjol) atau fintech ilegal memang menyasar masyarakat yang terdampak pandemi. Dia mengimbau agar masyarakat tidak usah tergiur dan terjebak pada tawaran dan iming-iming dari pinjol ilegal.
Dia sepakat bahwa masyarakat bisa bangkit maupun produktif tanpa harus bergantung pada pinjol ilegal. “Masyarakat jangan cepat terpancing. Jadi, jangan terlalu percaya, jangan terlalu tergiur dengan tawaran itu. Tidak usah ditanggapi,” katanya. (Baca juga: Banjir Tewaskan 17 Orang di Vietnam)
Dia menggariskan, secara umum Komisi XI DPR menilai dan menemukan bahwa kinerja OJK hingga September 2020 tidak memuaskan serta tidak membanggakan publik. Bahkan, saat rapat kerja dengan OJK terkait dengan kinerja kuartal I pun telah disampaikan hal serupa oleh Hatari. Menurut Hatari, Komisi XI menemukan ada banyak masalah terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan OJK.
Untuk pelaksanaan pengawasan oleh OJK juga sangat tidak maksimal. “Kita (Komisi XI) setiap seminggu atau dua minggu sekali selalu berhadapan dengan OJK, kita ingatkan masalah-masalah yang ada di OJK,” ucapnya.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta menyatakan, pemasaran atau penawaran pinjaman online (pinjol) ilegal melalui pesan singkat via short message service (SMS) memang masih terus terjadi hingga masa pandemi COVID-19. Pada masa pandemi, tutur dia, masyarakat disasar karena banyak yang terdampak. Menurut Tris, OJK terus melakukan berbagai upaya pengawasan dan pembinaan guna melindungi masyarakat sebagai konsumen.
Di antaranya OJK berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menyerahkan data pelaku-pelaku fintech ilegal atau pinjol ilegal ke Kemkominfo untuk diblokir aksesnya. Berikutnya, tutur Tris, OJK akan menggandeng dan berkoordinasi dengan operator atau provider telekomunikasi seluler. Musababnya, OJK banyak menerima laporan dari masyarakat ihwal pemasaran atau penawaran pinjol melalui SMS. (Lihat videonya: Kelompok Geng Motor di Medan Terjaring Razia Polisi)
“Kami sedang menggodok aturan yang baru dan berkoordinasi dengan provider penyelenggara jaringan komunikasi. Jadi, ke depan, bisa saja kalau atas kesepakatan dan kolaborasi kerja sama provider, penawaran tersebut akan ditahan, dibatasi, atau bahkan dilarang melalui provider atau ada kebijakan-kebijakan lain,” kata Tris. (Sabir Laluhu)
Oktyas, ibu rumah tangga berdomisili di Jakarta Barat, sebenarnya enggan membagi kisah pahitnya dengan KORAN SINDO. Dalam dua kali kesempatan bertemu, dirinya selalu menolak menceritakan pengalamannya terbelit pinjaman online. Baru pada pertemuan ketiga, perempuan yang punya usaha jualan sepatu dan tas itu mau terbuka. (Baca: Nasihat Indah Aa Gym: Jangan Mempersulit Diri!)
“Pandemi Covid-19 ini memang berimbas banget kepada saya dan keluarga. Sekarang sedikit demi sedikit kami berusaha bangkit. Kami tetap coba produktif dengan jalankan lagi usaha jualan online yang kami punya sebelumnya, bahkan juga kami tawarkan offline,” kata Oktyas membuka cerita dengan mata berkaca-kaca. (Baca juga : Soal Nasib Honorer Lolos PPPK, Menpan RB: Aturan Pembayaran Gajinya sedang Dibahas )
Oktyas memang memiliki usaha sendiri termasuk jual-beli online yang modalnya bersumber dari sang suami. Saat awal masa pandemi hingga kini, usaha yang dijalankan Oktyas bisa dikatakan hampir tidak menyumbangkan pemasukan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Barang seperti baju dan tas yang ditawarkan secara online hanya sedikit yang laku. Pada masa pandemi pula gaji suami Oktyas yang bekerja di sebuah perusahaan swasta dipotong sebagian oleh pihak perusahaan.
“Akhirnya, di awal-awal corona itu saya beranikan diri ajukan pinjaman ke aplikasi pinjol . Ada enam aplikasi. Saya tahu aplikasi itu aplikasi ilegal, tidak terdaftar, bahkan di-blacklist OJK,” tuturnya.
(Baca juga : Amanah, Tanda-tanda Iman Seorang Mukmin )
Dia kukuh tidak bergeming. Pinjaman tetap diajukan. Pasalnya, kebutuhan sehari-hari keluarganya harus dipenuhi alias dapur harus ngebul. Apalagi bantuan dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak kunjung ada. Sesekali ada, tapi hanya sembako bantuan pemprov. Itu pun hanya mencukupi sekitar tiga hari. Masing-masing pinjaman yang diajukan Oktyas berkisar antara Rp500.000 hingga Rp800.000. Pinjaman tersebut akhirnya disetujui. (Baca juga: PSBB Diperpanjang, Sekolah di Jakarta Belum Bisa Terapkan Tatap Muka)
“Ada satu aplikasi sebenarnya yang saya ajukan Rp1 juta dan disetujui. Tapi yang cair hanya Rp800.000. Anehnya, tagihan ditambah bunganya Rp1,5 juta. Bunganya Rp500.000, jadi pinjamannya Rp1 juta,” ujarnya.
Oktyas mengungkapkan, setiap pinjol ilegal memang ada yang meminta data pribadinya. Dia setuju memberikan, tapi belakangan saat jatuh tempo pengembalian pinjaman, Oktyas kaget bukan kepalang. Seluruh data kontak yang ada di ponsel maupun foto-foto dalam galeri diretas dan diakses pinjol ilegal tersebut. Berikutnya hampir seluruh nomor kontak dihubungi oleh pihak pinjol ilegal. Kontak-kontak itu, baik keluarganya, tetangga, kenalan, maupun teman semasa sekolah dulu.
Penagih dari pihak aplikasi terus meneror Oktyas untuk mengembalikan pinjaman. Teror, baik lewat telepon langsung maupun pesan singkat. Kosakata yang ada di kebun binatang keluar dari mulut si penagih. Tidak sampai di situ, si penagih mengirimkan salinan KTP Oktyas dan foto yang sebelumnya diakses dari ponsel Oktyas disertai beberapa kalimat. Misalnya, dicari Oktyas, buronan yang telah membawa kabur uang dengan jumlah sekian.
“Malu banget waktu itu. Secara psikologis, saya juga sangat terpukul. Orang-orang yang terima pesan singkat atau ditelepon itu hubungi saya. Saya datangi satu per satu yang saya bisa, kemudian saya jelaskan duduk masalah seperti apa, saya jujur, dan minta maaf,” ungkapnya.
Oktyas dan keluarga juga sempat bernegosiasi dengan si penagih. Ada yang mau menerima pengembalian pinjaman tanpa bunga, ada juga yang menolak. Berikutnya intimidasi tetap datang. Oktyas berunding dengan keluarga. Bagi pinjol yang bersedia menerima pengembalian uang, Oktyas langsung mengembalikan. Berikutnya dia mematikan ponsel beberapa pekan dan mengganti nomor ponsel. (Baca juga: Tips Aman ke Dokter Gigi Selama Covid-19)
Kini Oktyas maupun keluarga, tetangga, kenalan, maupun temannya sudah tidak lagi menerima pesan singkat atau telepon dari penagih. Dia pun kapok tidak mau lagi tergiur pinjol ilegal. “Ya saya berharap, cerita saya ini bisa jadi pelajaran bagi saya dan keluarga. Juga supaya warga yang belum atau ada keinginan untuk pinjam uang lewat pinjol ilegal agar berpikir lagi, lebih baik tidak usah. Ya, kita jaga dirilah sama keluarga kita. Kalau ada tawaran pinjol, lihat-lihat juga di (website) OJK,” ujarnya.
Oktyas menambahkan, untuk pembelian dan pembayaran online termasuk untuk usaha yang dia jalankan memang ada menggunakan beberapa aplikasi. Beruntungnya, kata dia, aplikasi itu adalah platform digital legal. Karenanya, dia tidak takut melakukan transaksi. Di sisi lain, Oktyas juga sejak awal sudah mewaspadai jangan sampai ada oknum tertentu melakukan hipnotis untuk meminta kode one-time password (OTP) guna menguras saldo dari dalam aplikasi yang digunakan Oktyas. “Kalau ada yang minta kode OTP, misalnya lewat telepon, langsung saya matikan,” katanya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai NasDem Achmad Hatari punya cerita sehubungan dengan penawaran pinjaman melalui SMS. Hatari pernah menerima beberapa SMS dari nomor ponsel yang tidak dikenal. Di antara isinya, kata dia, tawaran pinjaman online dan kartu kredit secara cepat. Hatari memastikan dia tidak tergiur dengan tawaran-tawaran seperti itu. (Baca juga: Kasus Anak Melonjak di Masa Pandemi, Kemensos Tingkatkan Layanan Asuh)
“Saya tidak tanggapi. Yang kredit itu, dia memosisikan diri sebagai marketing kartu kredit. Saya bilang, 'jangan saudara memosisikan diri sebagai calo'. Ini yang masalah begini-begini, OJK tidak terlalu care. Harusnya bertindak dong,” ujar Hatari saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Ketua DPW Partai Nasdem Provinsi Maluku Utara ini mengaku kaget. Pasalnya, bagaimana bisa data pribadi berupa nomor ponselnya bisa bocor dan diperoleh pihak yang mengajukan penawaran tersebut. Kalau Hatari saja yang merupakan Wakil Ketua Komisi XI DPR dan juga mitra kerja OJK bisa bocor datanya, maka bagaimana dengan masyarakat umum.
Karena itu, Hatari mendesak OJK segera berkoordinasi secara intensif dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta provider telekomunikasi seluler agar ada aturan atau MoU perlindungan data pribadi masyarakat. “Jadi apalagi sekarang ini kan lagi musim yang begitu-begitu (penawaran pinjaman dan kredit) lewat SMS. Kerja sama itu harus konkret,” katanya.
Hatari mengungkapkan, pada masa pandemi Covid-19 jelas para pelaku atau penyedia pinjaman online (pinjol) atau fintech ilegal memang menyasar masyarakat yang terdampak pandemi. Dia mengimbau agar masyarakat tidak usah tergiur dan terjebak pada tawaran dan iming-iming dari pinjol ilegal.
Dia sepakat bahwa masyarakat bisa bangkit maupun produktif tanpa harus bergantung pada pinjol ilegal. “Masyarakat jangan cepat terpancing. Jadi, jangan terlalu percaya, jangan terlalu tergiur dengan tawaran itu. Tidak usah ditanggapi,” katanya. (Baca juga: Banjir Tewaskan 17 Orang di Vietnam)
Dia menggariskan, secara umum Komisi XI DPR menilai dan menemukan bahwa kinerja OJK hingga September 2020 tidak memuaskan serta tidak membanggakan publik. Bahkan, saat rapat kerja dengan OJK terkait dengan kinerja kuartal I pun telah disampaikan hal serupa oleh Hatari. Menurut Hatari, Komisi XI menemukan ada banyak masalah terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangan OJK.
Untuk pelaksanaan pengawasan oleh OJK juga sangat tidak maksimal. “Kita (Komisi XI) setiap seminggu atau dua minggu sekali selalu berhadapan dengan OJK, kita ingatkan masalah-masalah yang ada di OJK,” ucapnya.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta menyatakan, pemasaran atau penawaran pinjaman online (pinjol) ilegal melalui pesan singkat via short message service (SMS) memang masih terus terjadi hingga masa pandemi COVID-19. Pada masa pandemi, tutur dia, masyarakat disasar karena banyak yang terdampak. Menurut Tris, OJK terus melakukan berbagai upaya pengawasan dan pembinaan guna melindungi masyarakat sebagai konsumen.
Di antaranya OJK berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menyerahkan data pelaku-pelaku fintech ilegal atau pinjol ilegal ke Kemkominfo untuk diblokir aksesnya. Berikutnya, tutur Tris, OJK akan menggandeng dan berkoordinasi dengan operator atau provider telekomunikasi seluler. Musababnya, OJK banyak menerima laporan dari masyarakat ihwal pemasaran atau penawaran pinjol melalui SMS. (Lihat videonya: Kelompok Geng Motor di Medan Terjaring Razia Polisi)
“Kami sedang menggodok aturan yang baru dan berkoordinasi dengan provider penyelenggara jaringan komunikasi. Jadi, ke depan, bisa saja kalau atas kesepakatan dan kolaborasi kerja sama provider, penawaran tersebut akan ditahan, dibatasi, atau bahkan dilarang melalui provider atau ada kebijakan-kebijakan lain,” kata Tris. (Sabir Laluhu)
(ysw)