Pemulihan Destinasi Wisata Butuh Manajemen Krisis Penanganan Covid-19
loading...
A
A
A
JAKARTA - Upaya pemulihan perekonomian terus dilakukan, tak terkecuali oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang terus berupaya membangkitkan kembali destinasi wisata dan ekonomi kreatif yang terpukul imbas pandemi Covid-19.
Sekretaris Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf Hariyanto mengatakan, pemulihan sektor pariwisata adalah dengan mengoptimalkan manajemen krisis penanganan Covid-19. Dari penelitian yang dilakukan, jelas dia, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata pada era adaptasi kebiasaan baru saat ini.
"Isu kesehatan menjadi faktor utama pertimbangan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Untuk itu, pada era adaptasi kebiasaan baru saat ini protokol kesehatan dan CHSE harus diterapkan di destinasi wisata," kata Hariyanto di Jakarta, Senin (10/11/2020).
(Baca Juga: Kemenparekraf Ajak Pelaku Kuliner Bali Terapkan Protokol CHSE)
Karena itu, kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dan destinasi berstandar CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental) menurutnya adalah hal mutlak agar wisatawan kembali mengunjungi objek wisata. Hal itu, jelas dia, berkaitan dengan indeks pesepsi dari pasar internasional terkait penanganan Covid-19 di Indonesia yang berada di kisaran 20%.
"Ini menunjukkan persepsi indikasi negatif terhadap dunia pariwisata Indonesia lantaran terjadinya peningkatan signifikan kasus Covid-19 pada awal Juli lalu," katanya.
Kondisi itu semakin diperparah dengan minimnya kesadaran wisatawan dan masyarakat mengenai protokol kesehatan di destinasi wisata yang masih rendah. "Juga belum ada regulasi sebagai program standar penanganan krisis destinasi pariwisata terdampak pandemi Covid-19. Pengendalian dan harmonisasi kebijakan dalam penanganan krisis akibat pandemi Covid-19 masih rendah," paparnya.
Belum lagi indikator kebersihan dan kesehatan Indonesia menurut indeks daya saing TTCI (Travel & Tourism Competitiveness Index) masih terbilang rendah. Untuk mengatasi hal itu, maka diperlukan regulasi yang adaptif terhadap pandemi Covid-19 dan aplikasi berbasis TTCI. Karena itu, lanjut Hariyanto, rencana strategis dalam jangka pendek adalah perlunya validasi data, penyiapan draf regulasi, melakukan harmonisasi regulasi, dan menyiapkan rancangan aplikasi indikator TTCI.
Hal itu merupakan tahapan yang harus dilakukan untuk sebagai pedoman kepada masyarakat dan juga pelaku di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Hal ini perlu diterapkan di seluruh destinasi wisata di Indonesia agar Covid-19 dapat dikendalikan. Di sisi lain, wisatawan mendapatkan jaminan keamanan dari aspek kesehatan dalam hal paparan Covid-19. "Outputnya adalah implementasi pedoman pariwisata dalam penanganan krisis pandemi di seluruh destinasi," kata Hariyanto.
(Infografik: Bali Kembali Dibuka, Pariwisata Juga Menyangkut Penyelamatan Ekonomi)
Sekretaris Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kemenparekraf Hariyanto mengatakan, pemulihan sektor pariwisata adalah dengan mengoptimalkan manajemen krisis penanganan Covid-19. Dari penelitian yang dilakukan, jelas dia, ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata pada era adaptasi kebiasaan baru saat ini.
"Isu kesehatan menjadi faktor utama pertimbangan wisatawan untuk melakukan perjalanan wisata. Untuk itu, pada era adaptasi kebiasaan baru saat ini protokol kesehatan dan CHSE harus diterapkan di destinasi wisata," kata Hariyanto di Jakarta, Senin (10/11/2020).
(Baca Juga: Kemenparekraf Ajak Pelaku Kuliner Bali Terapkan Protokol CHSE)
Karena itu, kedisiplinan penerapan protokol kesehatan dan destinasi berstandar CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental) menurutnya adalah hal mutlak agar wisatawan kembali mengunjungi objek wisata. Hal itu, jelas dia, berkaitan dengan indeks pesepsi dari pasar internasional terkait penanganan Covid-19 di Indonesia yang berada di kisaran 20%.
"Ini menunjukkan persepsi indikasi negatif terhadap dunia pariwisata Indonesia lantaran terjadinya peningkatan signifikan kasus Covid-19 pada awal Juli lalu," katanya.
Kondisi itu semakin diperparah dengan minimnya kesadaran wisatawan dan masyarakat mengenai protokol kesehatan di destinasi wisata yang masih rendah. "Juga belum ada regulasi sebagai program standar penanganan krisis destinasi pariwisata terdampak pandemi Covid-19. Pengendalian dan harmonisasi kebijakan dalam penanganan krisis akibat pandemi Covid-19 masih rendah," paparnya.
Belum lagi indikator kebersihan dan kesehatan Indonesia menurut indeks daya saing TTCI (Travel & Tourism Competitiveness Index) masih terbilang rendah. Untuk mengatasi hal itu, maka diperlukan regulasi yang adaptif terhadap pandemi Covid-19 dan aplikasi berbasis TTCI. Karena itu, lanjut Hariyanto, rencana strategis dalam jangka pendek adalah perlunya validasi data, penyiapan draf regulasi, melakukan harmonisasi regulasi, dan menyiapkan rancangan aplikasi indikator TTCI.
Hal itu merupakan tahapan yang harus dilakukan untuk sebagai pedoman kepada masyarakat dan juga pelaku di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Hal ini perlu diterapkan di seluruh destinasi wisata di Indonesia agar Covid-19 dapat dikendalikan. Di sisi lain, wisatawan mendapatkan jaminan keamanan dari aspek kesehatan dalam hal paparan Covid-19. "Outputnya adalah implementasi pedoman pariwisata dalam penanganan krisis pandemi di seluruh destinasi," kata Hariyanto.
(Infografik: Bali Kembali Dibuka, Pariwisata Juga Menyangkut Penyelamatan Ekonomi)