Ekonom: Kebijakan OJK Terbukti Jaga Stabilitas Sektor Jasa Keuangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sektor keuangan Indonesia dinilai masih stabil dan sehat di tengah pandemi Covid-19. Sejumlah indikator utama, mulai dari kualitas aset hingga likuiditas juga masih terjaga.
Direktur Riset Core Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, hal tersebut tak terlepas dari kerja pengawasan dan berbagai kebijakan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) . Menurut dia, sejak awal pandemi ini OJK bergerak cepat dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit.
(Baca Juga: Harap Tenang, OJK Pastikan Likuiditas Perbankan Aman)
"Kebijakan restrukturisasi kredit menahan lonjakan NPL (non-performing loan), yang kemudian ikut menjaga likuiditas dan profitabilitas perbankan, serta lembaga keuangan nonbank,” ujar Piter saat dihubungi, di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Dia melanjutkan, ketahanan di sektor keuangan ini memunculkan kepercayaan pelaku pasar, yang mendorong bangkitnya kembali pasar modal. Sementara itu, pertumbuhan kredit terkontraksi sebesar 0,47% (yoy) per Oktober 2020. Kontraksi kredit perbankan lebih banyak disebabkan menurunnya kredit modal kerja dampak masih tertekannya permintaan pada sektor usaha.
Piter melanjutkan, pertumbuhan kredit memang rendah akibat melambatnya sektor riil di tengah pandemi. Sehingga, permintaan kredit menurun drastis. "Dan perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan fokus dalam menjaga kualitas kredit dan mengutamakan restrukturisasi kredit ketimbang menyalurkan kredit baru," jelasnya.
Pertumbuhan kredit yang rendah tersebut juga dinilai hal yang normal di tengah situasi resesi saat ini. Hal tersebut justru menunjukkan kehati-hatian perbankan. "Ini bukan suatu yang buruk. Justru memaksa bank menyalurkan kredit di tengah pandemi lebih berisiko dan membahayakan perbankan dan sistem keuangan," kata Piter.
Dihubungi terpisah, ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati juga mengatakan, pertumbuhan kredit yang negatif itu menunjukkan kepercayaan pasar masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang juga terkontraksi.
"Salah satu penyebab utama adalah belum jelasnya kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, terutama di kota-kota besar di Jawa (Jabodetabek, Semarang, wilayah Surabaya Raya, Bandung) yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia," ungkap Nina.
Untuk mendorong permintaan menurut dia, pemerintah perlu memperjelas langkah implementasi dari kebijakan mengatasi pandemi Covid-19. "Selain itu juga harus mendorong pemberian stimulus kepada sektor-sektor yang bisa memacu pertumbuhan PDB lebih cepat lagi," tambahnya.
Direktur Riset Core Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, hal tersebut tak terlepas dari kerja pengawasan dan berbagai kebijakan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) . Menurut dia, sejak awal pandemi ini OJK bergerak cepat dengan mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit.
(Baca Juga: Harap Tenang, OJK Pastikan Likuiditas Perbankan Aman)
"Kebijakan restrukturisasi kredit menahan lonjakan NPL (non-performing loan), yang kemudian ikut menjaga likuiditas dan profitabilitas perbankan, serta lembaga keuangan nonbank,” ujar Piter saat dihubungi, di Jakarta, Senin (30/11/2020).
Dia melanjutkan, ketahanan di sektor keuangan ini memunculkan kepercayaan pelaku pasar, yang mendorong bangkitnya kembali pasar modal. Sementara itu, pertumbuhan kredit terkontraksi sebesar 0,47% (yoy) per Oktober 2020. Kontraksi kredit perbankan lebih banyak disebabkan menurunnya kredit modal kerja dampak masih tertekannya permintaan pada sektor usaha.
Piter melanjutkan, pertumbuhan kredit memang rendah akibat melambatnya sektor riil di tengah pandemi. Sehingga, permintaan kredit menurun drastis. "Dan perbankan sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Perbankan fokus dalam menjaga kualitas kredit dan mengutamakan restrukturisasi kredit ketimbang menyalurkan kredit baru," jelasnya.
Pertumbuhan kredit yang rendah tersebut juga dinilai hal yang normal di tengah situasi resesi saat ini. Hal tersebut justru menunjukkan kehati-hatian perbankan. "Ini bukan suatu yang buruk. Justru memaksa bank menyalurkan kredit di tengah pandemi lebih berisiko dan membahayakan perbankan dan sistem keuangan," kata Piter.
Dihubungi terpisah, ekonom Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati juga mengatakan, pertumbuhan kredit yang negatif itu menunjukkan kepercayaan pasar masih rendah akibat pertumbuhan ekonomi yang juga terkontraksi.
"Salah satu penyebab utama adalah belum jelasnya kebijakan untuk mengatasi pandemi COVID-19, terutama di kota-kota besar di Jawa (Jabodetabek, Semarang, wilayah Surabaya Raya, Bandung) yang merupakan sumber pertumbuhan ekonomi utama di Indonesia," ungkap Nina.
Untuk mendorong permintaan menurut dia, pemerintah perlu memperjelas langkah implementasi dari kebijakan mengatasi pandemi Covid-19. "Selain itu juga harus mendorong pemberian stimulus kepada sektor-sektor yang bisa memacu pertumbuhan PDB lebih cepat lagi," tambahnya.