Digitalisasi Pertanian Jadi Andalan

Jum'at, 11 Desember 2020 - 06:00 WIB
loading...
Digitalisasi Pertanian...
Perkembangan teknologi digital dalam beberapa tahun terakhir harus dimanfaatkan oleh semua sektor, tak terkecuali pertanian. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Perkembangan teknologi digital dalam beberapa tahun terakhir harus dimanfaatkan oleh semua sektor, tak terkecuali pertanian . Besarnya potensi agraris di dalam negeri jadi modal utama, asalkan didukung strategi pengembangan yang tepat.



Sektor pertanian menjadi salah satu unggulan dalam struktur ekonomi dalam negeri. Setidaknya ini terlihat dari pertumbuhannya sepanjang tahun ini yang terus menunjukkan angka positif, di saat sektor lain terkontraksi karena pandemi Covid-19. (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada kuartal III/2020 sektor pertanian tercatat tumbuh 2,5%. Ini memberikan harapan karena di saat yang sama pertumbuhan ekonomi periode Juli-September justru minus 3,49% secara year on year (yoy). Di kuartal sebelumnya, sektor pertanian juga tumbuh 2,19% di saat pertumbuhan ekonomi periode tersebut anjlok 5,32%.

Data ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tetap bisa bertahan di tengah wabah virus korona yang masih melanda Tanah Air. Ini pula yang mendorong pemerintah terus mengembangkan sektor pertanian ke depan menjadi lebih baik lagi seiring berkembangnya teknologi.

Tak tanggung-tanggung pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan), berambisi mendirikan sekolah pertanian berbasis pendekatan teknologi dan riset tahun depan. Pendirian sekolah ini bertujuan menyelaraskan materi pengajaran di bidang pertanian dengan fakta dan berbagai kebutuhan akan kondisi faktual pada sektor pertanian di lapangan. (Baca juga: Lulus Kuliah Ingin Dapat Pekerjaan yang Diimpikan, Ini Kuncinya!)

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berharap tahun depan sekolah-sekolah pertanian yang ada sudah bisa menerapkan teknologi digital disertai riset. "Kami ingin terapkan itu (teknologi digital) tahun depan. Insyaallah saya akan coba intervensi dengan segala kekuatan, bekerja sama dengan perguruan tinggi. Hal yang mau kami intervensi dengan cara-cara baru," ucap Syahrul dalam sebuah diskusi daring yang digelar Indef beberapa waktu lalu.

Menurut Syahrul, Indonesia punya bonus demografi yang terdiri atas 40% anak-anak muda. Namun, hal yang jadi pertanyaan, apakah perguruan tinggi yang ada saat ini sudah menggunakan pendekatan-pendekatan baru seperti teknologi berupa robot atau artificial intelligence. “Saya mengajak perguruan tinggi yang sudah ada untuk kerja sama menggunakan cara baru yang lebih memiliki teknologi,” katanya.

Sekolah-sekolah pertanian yang sudah ada saat ini namun belum memenuhi kriteria tersebut, pun tidak boleh hanya membahas teori. Harus lebih banyak praktik dan kerja lapangan. "Jadi, istilahnya kalau mau mengajar orang berenang tidak usah pakai teori di dalam kelas. Langsung ceburkan di sungai saja, biar dia bisa berenang, tetapi tetap didampingi sama-sama," ujar Syahrul. (Baca juga: Ampuh Tingkatkan Imunitas, Bagaimana Vaksin Bekerja?)

Bagaimana tanggapan akademisi terkait rencana tersebut? Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad) Rina Indiastuti menilai rencana pembangunan sekolah pertanian yang mengedepankan riset dan teknologi itu sebagai hal yang baik. “Agar mencetak SDM (sumber daya manusia) bidang pertanian yang relevan dengan kebutuhan penguatan pertanian Indonesia,” ujarnya kepada SINDO Media kemarin.

Selama ini masyarakat awam hanya mengetahui pendidikan untuk ilmu pertanian hanya ada di perguruan tinggi. Misalnya di kampus-kampus yang memiliki fakultas pertanian seperti Unpad, Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Universitas Hasanuddin (Unhas), dan lainnya. Dia pun mengakui bila sepak terjang sekolah menengah kejuruan (SMK) pertanian jarang terdengar.

Padahal, ujar Rina, pada 2018 lalu terdapat sekitar 30 sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang agrobisnis yang mengembangkan buah dan sayuran. SMK itu bekerja sama dengan Seameo Biotrop. Unpad pun tidak berjibaku sendiri dalam mengembangkan produk pertanian . “Sudah bekerja sama dan merekrut lulusan SMK untuk menekuni budi daya dan pemasaran hasil laut. Orientasinya ekspor,” ucap Rina. (Baca juga: AI Bantu Ilmuwan Memahami Aktivitas Otak Saat Berfikir)

Perempuan kelahiran Kediri itu mengklaim kampus Unpad di Jatinangor telah banyak melakukan riset di bidang pertanian. Hasil riset dari kampus tersebut digunakan untuk mendukung produktivitas, seperti tanaman hortikultuira.

Sementara itu, pengamat pertanian Said Abdullah mengatakan, gagasan untuk mengembangkan sekolah pertanian berbasis digital pada dasarnya baik bila tujuannya untuk membantu menyelesaikan masalah pertanian. “Apakah lebih penting menyelesaikan persoalan teknologi ketimbang persoalan lain, termasuk pasar yang saat ini masih belum cukup menguntungkan bagi petani? Saya kira enggak bisa dengan pendekatan tunggal untuk menyelesaikan problematika di dunia pertanian. Harus semua aspek itu digarap,” katanya.

Pria yang juga Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) itu mengatakan, persoalan pertanian saat ini sangat multidimensi. Ada tiga fokus isu masalah di lingkup pertanian. Pertama, ketersediaan lahan yang sekarang mulai banyak beralih atau terkonversi menjadi perumahan, pabrik, perkebunan, dan lainnya. “Sampai hari ini sublime konversi kepemilikannya juga kecil-kecil. Kalau di tanaman padi (lahan) cuma sekitar 0,2-0,3%. Kecil sekali,” keluhnya. (Baca juga: Neymar Junior Batal Hengkang dari PSG)

Masalah kedua mencakup soal regenerasi petani. Usia rata-rata petani di kelompok 45 tahun ke atas itu sekitar 55%. Hingga 2013 saja petani padi itu hanya tersisa sekitar 9% dengan usia di bawah 35 tahun. “Secara keseluruhan, dalam pertanian umum jumlah petani hanya 12%. Itu menunjukkan bahwa petani itu tua,” ujarnya.

Berikutnya pendidikan. Said mengatakan, hampir 60% petani berlatar belakang pendidikan tingkat dasar. Terutama, di kelompok petani padi. “Artinya, apabila tingkat pendidikan seperti itu didorong agar menjadi sumber daya yang paham teknologi, belum tentu bisa langsung menyelesaikan persoalan yang besar itu,” katanya.

Untuk itu, kata Said, harus ada satu pendekatan yang utuh dengan menata ulang program agrarianya, kemudian memperkuat pasar, meningkatkan keterampilan dan kapasitas petani. Dia menduga pengembangan sekolah pertanian berbasis teknologi atau digital tersebut menegaskan fakta bahwa dunia pertanian sudah berkurang jumlah petaninya.

Said berharap penggunaan teknologi menjadi jawaban agar lebih efisien dalam pengelolaan dan pemanfaatan di sektor pertanian. “Saya tidak mengatakan ini baik atau tidak baik, tapi realitasnya di tanaman pangan, terutama padi, itu memang para petaninya rata-rata tua, pendidikannya rendah. Apakah teknologi itu nantinya memicu anak muda balik lagi ke pertanian?,” tanyanya ragu. (Baca juga: Sudah Ada Kredit Anti-Rentenir, Lintah Darat Bakal Kocar-Kacir)

Berdasarkan kajian KRKP pada 2015, ada dua hal yang memungkinkan proses sumber daya pertanian itu kuat. Dalam arti, terjadi regenerasi di mana tumpuan pembangunan berada di pundak kalangan muda. Pertama, isu agraria terkait akses terhadap lahan. Kalau ketersediaan itu ada, maka akan ada banyak anak di kawasan perdesaan yang mau balik ke pertanian. Kedua, mengenai pendapatan per musim, akumulasi benefit atau profit.

Said mendukung jika penggunaan teknologi mampu menjawab dua persoalan itu. Jika belum, maka harus dicari lagi dan dikawinkan dengan strategi atau program lain supaya bisa bergerak bersama mengatasi isu-isu tersebut. “Dalam hemat saya, teknologi itu mungkin bisa menjawab kebutuhan tenaga yang makin terbatas, menjawab efisiensi tenaga. Tapi apakah akan adaptif dengan situasi mayoritas petani yang sekarang? Karena kalau menunggu pergantian atau regenerasi kan enggak mungkin langsung ada,” sebutnya.

Said juga mempersoalkan kepemilikan teknologi pertanian . Dia berharap nantinya teknologi yang dikembangkan itu dirakit bersama petani. Jangan sampai dikembangkan oleh industri dan hanya menguntungkan korporasi. “Jangan sampai investasi yang dilakukan seolah-olah bisa menjawab semua persoalan di dunia pertanian yang banyak itu. Saya melihat orientasinya pembangunan pertanian kita cenderung mengejar peningkatan produksi. Boleh saja produksi naik, tapi kehidupan yang memproduksinya bagaimana?,” ujarnya. (Lihat videonya: Habib Rizieq Tersangka Pelangaran Protokol Kesehatan)

Dia juga berharap kemajuan dan paradigma pembangunan tidak melanggengkan petani sebagai objek dari pembangunan itu sendiri. pasalnya, jika hanya dijadikan objek, hal itu sama saja menyamakan petani sebagai alat produksi. (F.W. Bahtiar/Faorick Pakpahan/Taufik Fajar)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3980 seconds (0.1#10.140)