IPB dan UI Ingatkan Pentingnya Ketahanan Pangan di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketahanan pangan di saat pandemi Covid-19 menjadi isu yang selalu dibahas, termasuk di Indonesia. Salah satu persoalan utamanya yakni seberapa besar kemampuan pemerintah menangani masalah pangan. Sementara, belum diketahui pasti kapan wabah Covid-19 berakhir.
Hal tersebut diungkapkan pakar ekonomi Universitas Indonesia (UI) Firmanzah. Dia mengatakan daya beli masyarakat semakin mengalami penurunan melihat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena banyaknya perusahaan yang gulung tikar akibat tidak adanya pemasukan saat dilanda wabah virus corona. Tentunya kondisi ini, sangat mempengaruhi ketahanan pangan.
“Saya setuju, Covid-19 ini menjadi berdampak pada ketahanan pangan dan harus segera diatasi. Perkembangan perekonomian Asia semakin drop, disusul pendapatan bersumber dari sektor migas semakin menurun. Seluruh negara mengalami krisis,” ucap Firmansyah dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (12/5/2020).
Menurut dia, perlu ada pendekatan holistik antar instansi untuk menangani permasalahan ini, seperti sinergi antara Kementerian PPN/Bappenas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Pertanian, pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota. “Perlu ada transformasi struktural, terlebih setelah Covid-19 ini berlalu,” imbuhnya.
Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Satria mengatakan, meski dipastikan stok pangan masyarakat aman hingga Agustus mendatang, bukan berarti penanganan panganan berhenti begitu saja.
Masalah utama saat ini adalah pendistribusian logistik yang terhambat karena kebijakan Covid-19 terkait social distancing, diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan pembatasan gerak rantai pasok pertanian.
Arief menegaskan, kendala tersebut menyebabkan ketidakpastian distribusi yang mempengaruhi musim tanam petani setelah Agustus nanti. Menurut dia, kondisi saat ini diperlukan kebijakan logistik untuk memasok pangan kepada masyarakat.
“Kita tidak bisa lagi menggunakan desain (pasok) logistik lama, salah satunya dengan sistem blok chance melalui pengembangan tekhnologi 4.0 yang menjamin akurasi data, sehingga koneksi hulu dan hilir menjadi lebih efisien,” katanya.
Selain itu, kondisi petani juga harus diperhatikan melihat kenyataan ditengah pandemi corona ini harga jual panen mereka, jatuh di pasaran. Dia menilai, over supply hasil pertanian menyebabkan penghasilan petani menurun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani turun dari 104 pada Januari 2020. Sementara, pada Maret menjadi 102. Hal tersebut menurut Arief akan berdampak pada terbatasnya modal usaha berproduksi. “Di sini peran dari pemerintah untuk mengeluarkan program stimulus dan relaksasi bagi petani,” tegasnya.
Program stimulus, lanjut Arief, sangat penting diberikan kepada petani agar sektor pertanian tetap tumbuh dan mensejahterakan masyarakat pedesaan. Sebab, hingga saat ini pertanian masih menjadi basis perekonomian pedesaan atau sekitar 73,14%.
“Stimulus diberikan berupa benih, pupuk harus tepat sasaran, kemudian relaksasi kebijakan terukur secara holistik agar petani tenang dalam mengahadapi over supply dan masalah distribusi ini. Lalu mereka juga akan tenang, ketika menghadapi musim tanam mendatang,” tandasnya.
Arief berharap, alokasi dana sebesar Rp70 triliun untuk insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat (KUR) dapat diwujudkan. Dengan begitu, ada kepastian petani dan unsur-unsur pertanian lainnya tetap aman.
Hal tersebut diungkapkan pakar ekonomi Universitas Indonesia (UI) Firmanzah. Dia mengatakan daya beli masyarakat semakin mengalami penurunan melihat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena banyaknya perusahaan yang gulung tikar akibat tidak adanya pemasukan saat dilanda wabah virus corona. Tentunya kondisi ini, sangat mempengaruhi ketahanan pangan.
“Saya setuju, Covid-19 ini menjadi berdampak pada ketahanan pangan dan harus segera diatasi. Perkembangan perekonomian Asia semakin drop, disusul pendapatan bersumber dari sektor migas semakin menurun. Seluruh negara mengalami krisis,” ucap Firmansyah dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (12/5/2020).
Menurut dia, perlu ada pendekatan holistik antar instansi untuk menangani permasalahan ini, seperti sinergi antara Kementerian PPN/Bappenas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Pertanian, pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota. “Perlu ada transformasi struktural, terlebih setelah Covid-19 ini berlalu,” imbuhnya.
Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arief Satria mengatakan, meski dipastikan stok pangan masyarakat aman hingga Agustus mendatang, bukan berarti penanganan panganan berhenti begitu saja.
Masalah utama saat ini adalah pendistribusian logistik yang terhambat karena kebijakan Covid-19 terkait social distancing, diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dan pembatasan gerak rantai pasok pertanian.
Arief menegaskan, kendala tersebut menyebabkan ketidakpastian distribusi yang mempengaruhi musim tanam petani setelah Agustus nanti. Menurut dia, kondisi saat ini diperlukan kebijakan logistik untuk memasok pangan kepada masyarakat.
“Kita tidak bisa lagi menggunakan desain (pasok) logistik lama, salah satunya dengan sistem blok chance melalui pengembangan tekhnologi 4.0 yang menjamin akurasi data, sehingga koneksi hulu dan hilir menjadi lebih efisien,” katanya.
Selain itu, kondisi petani juga harus diperhatikan melihat kenyataan ditengah pandemi corona ini harga jual panen mereka, jatuh di pasaran. Dia menilai, over supply hasil pertanian menyebabkan penghasilan petani menurun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar petani turun dari 104 pada Januari 2020. Sementara, pada Maret menjadi 102. Hal tersebut menurut Arief akan berdampak pada terbatasnya modal usaha berproduksi. “Di sini peran dari pemerintah untuk mengeluarkan program stimulus dan relaksasi bagi petani,” tegasnya.
Program stimulus, lanjut Arief, sangat penting diberikan kepada petani agar sektor pertanian tetap tumbuh dan mensejahterakan masyarakat pedesaan. Sebab, hingga saat ini pertanian masih menjadi basis perekonomian pedesaan atau sekitar 73,14%.
“Stimulus diberikan berupa benih, pupuk harus tepat sasaran, kemudian relaksasi kebijakan terukur secara holistik agar petani tenang dalam mengahadapi over supply dan masalah distribusi ini. Lalu mereka juga akan tenang, ketika menghadapi musim tanam mendatang,” tandasnya.
Arief berharap, alokasi dana sebesar Rp70 triliun untuk insentif perpajakan dan kredit usaha rakyat (KUR) dapat diwujudkan. Dengan begitu, ada kepastian petani dan unsur-unsur pertanian lainnya tetap aman.
(ind)