Rekayasa Laporan Keuangan Rugikan Investor
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pelaku usaha, terutama emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI), diminta agar menyampaikan laporan kinerja tahunan secara benar jika tidak ingin berurusan dengan hukum. Pasalnya, praktik mempercantik laporan keuangan di pengujung tahun atau biasa disebut window dressing kerap merugikan investor.
Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga Profesor Budi Kagramanto mengatakan, praktik rekayasa laporan keuangan yang merugikan investor salahsatunya pada kasus laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tahun 2017 yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Baca: Doa untuk Pengantin Baru Beserta Maknanya)
Menurut Budi, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen lama AISA merupakan tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Pertama adalah investor yang berinvestasi di saham AISA, lalu yang kedua perusahaan itu sendiri. Dan, yang ketiga citra industri pasar modal menjadi tercoreng.
“Kalau setiap perusahaan melakukan hal seperti itu, bisa kacau. Sudah tepat Jaksa Penuntut Umum menggunakan UU Pasar Modal kepada terdakwa, ada ketentuan pidana disitu. Pertanggungjawabannya bisa sampai kekayaan pribadi,” ujar Budi, kemarin.
Seperti diketahui, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta, mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), dan Budhi Istanto Suwito, mantan Direktur AISA, tengah didakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran diduga melakukan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan tahun 2017. Imbasnya,laporan keuangan konsolidasiAISA tampak menarik. (Baca juga: DPR Tagih Penjelasan Pemerintah Soal Penghapusan Formasi CPNS Guru)
Bagusnya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp2.360 per saham pada tahun 2017. Namun, kinerja tersebut hanya di atas kertas. Sebab, fundamental AISA saat itu bertolak belakang dengan laporan keuangan.
Kejanggalan mulai terendus ketika AISA gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Pada waktu itu, Direktur Utama Tiga Pilar Sejahtera Food Joko Mogoginta dalam keterbukaan Informasi ke Bursa Efek Indonesia menyampaikan posisi kas dan setara kas perusahaan pertanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018.
Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercantum adanya dana cash per 31 Desember 2017 sebesar Rp181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp48 miliar. Harga saham AISA pun lantas sempat amblas hingga kekisaran level Rp168. BEI pun menghentikan perdagangan saham AISA. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)
Tidak cukup sampai di situ, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menyelidiki dan hasilnya diketahui bahwa ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA di mana ada aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA pada waktu itu. Saat RUPS Tahunan, para pemegang saham pun meradang. Laporan Tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban Direksi ditolak.
Joko Mogoginta dan Budhi Istanto lantas diberhentikan oleh para pemegang saham. Tidak berhenti sampai di situ, pemegang saham yang merupakan investor ritel menuntut keadilan pada hukum atas tindakan dua kakak-beradik ini sampai perkara berujung ke pengadilan.
“Memberikan utang kepada perusahaan yang dimiliki sendiri itu bentuk penyalahgunaan dan itu pelanggaran berat. Bisa juga disebut penggelapan untuk kepentingan perusahaan lain dan masuk ke pidana. Jadi, selain UU Pasar Modal, bisa juga UU Perseroan Terbatas (PT),” ujar Budi. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sajaya Batal Tampil di Thailand Open)
Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal Adler Haymans Manurung. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi disebut Smoothing the Income. Bila ada emiten yang melakukan rekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan.
Oleh karena itu, kata Adler, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus yang mengawasi hal-hal seperti ini. “Melihat kecurangan emiten merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor,” ujarnya. Dalam kasus AISA yang dilakukan oleh mantan direksi, lanjut Adler, merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU Pasar modal. Namun, hukuman berupa penjara dan denda Rp15 miliar dalam UU Pasar Modal, menurutnya, masih dirasa kurang. (Lihat videonya: Bangkai Pesawat Diduga Air Asia Ditemukan di Kalteng)
“Pelakunya juga harus di-blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan tbk, termasuk anak perusahaannya,” tandas Adler. Pelaku pasar berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan yang dilakukan emiten dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor dan merusak citra pasar modal. “Jadi, tidak hanya menunggu laporan dari investor yang dirugikan, harus bisa jemput bola,” tandas Adler. (Rakhmat Baihaqi)
Pakar Hukum Bisnis Universitas Airlangga Profesor Budi Kagramanto mengatakan, praktik rekayasa laporan keuangan yang merugikan investor salahsatunya pada kasus laporan keuangan PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) tahun 2017 yang saat ini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (Baca: Doa untuk Pengantin Baru Beserta Maknanya)
Menurut Budi, manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh manajemen lama AISA merupakan tindak pidana yang merugikan banyak pihak. Pertama adalah investor yang berinvestasi di saham AISA, lalu yang kedua perusahaan itu sendiri. Dan, yang ketiga citra industri pasar modal menjadi tercoreng.
“Kalau setiap perusahaan melakukan hal seperti itu, bisa kacau. Sudah tepat Jaksa Penuntut Umum menggunakan UU Pasar Modal kepada terdakwa, ada ketentuan pidana disitu. Pertanggungjawabannya bisa sampai kekayaan pribadi,” ujar Budi, kemarin.
Seperti diketahui, manajemen lama AISA, yakni Joko Mogoginta, mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), dan Budhi Istanto Suwito, mantan Direktur AISA, tengah didakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lantaran diduga melakukan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha ke AISA dalam laporan keuangan tahun 2017. Imbasnya,laporan keuangan konsolidasiAISA tampak menarik. (Baca juga: DPR Tagih Penjelasan Pemerintah Soal Penghapusan Formasi CPNS Guru)
Bagusnya laporan keuangan tersebut membuat investor di pasar modal membeli saham AISA. Harga saham AISA pun sempat melesat hingga Rp2.360 per saham pada tahun 2017. Namun, kinerja tersebut hanya di atas kertas. Sebab, fundamental AISA saat itu bertolak belakang dengan laporan keuangan.
Kejanggalan mulai terendus ketika AISA gagal bayar kewajiban bunga Obligasi dan Sukuk. Pada waktu itu, Direktur Utama Tiga Pilar Sejahtera Food Joko Mogoginta dalam keterbukaan Informasi ke Bursa Efek Indonesia menyampaikan posisi kas dan setara kas perusahaan pertanggal 26 Juni 2018 belum memadai untuk membayar bunga obligasi dan sukuk yang akan jatuh tempo 19 Juli 2018.
Padahal, dalam Laporan Keuangan 2017 tercantum adanya dana cash per 31 Desember 2017 sebesar Rp181,6 miliar. Namun, hanya selang beberapa bulan, dalam keterbukaan informasi perusahaan, per 26 Juni 2018, posisi kas perusahaan hanya sebesar Rp48 miliar. Harga saham AISA pun lantas sempat amblas hingga kekisaran level Rp168. BEI pun menghentikan perdagangan saham AISA. (Baca juga: 5 Fakta Parosmia, Gejala Baru Covid-19)
Tidak cukup sampai di situ, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) lantas menyelidiki dan hasilnya diketahui bahwa ada pelanggaran dalam laporan keuangan AISA di mana ada aliran dana kepada perusahaan-perusahaan terafiliasi alias yang dimiliki pribadi oleh direksi AISA pada waktu itu. Saat RUPS Tahunan, para pemegang saham pun meradang. Laporan Tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban Direksi ditolak.
Joko Mogoginta dan Budhi Istanto lantas diberhentikan oleh para pemegang saham. Tidak berhenti sampai di situ, pemegang saham yang merupakan investor ritel menuntut keadilan pada hukum atas tindakan dua kakak-beradik ini sampai perkara berujung ke pengadilan.
“Memberikan utang kepada perusahaan yang dimiliki sendiri itu bentuk penyalahgunaan dan itu pelanggaran berat. Bisa juga disebut penggelapan untuk kepentingan perusahaan lain dan masuk ke pidana. Jadi, selain UU Pasar Modal, bisa juga UU Perseroan Terbatas (PT),” ujar Budi. (Baca juga: Positif Covid, Kevin Sajaya Batal Tampil di Thailand Open)
Hal senada diungkapkan pengamat pasar modal Adler Haymans Manurung. Menurutnya, rekayasa laporan keuangan dalam akuntansi disebut Smoothing the Income. Bila ada emiten yang melakukan rekayasa, kata dia, kemungkinan besar emiten tersebut merasa bisa melakukannya dan merasa dapat lolos dari pengawasan.
Oleh karena itu, kata Adler, agar kejadian serupa tidak terulang, OJK perlu membuat divisi khusus yang mengawasi hal-hal seperti ini. “Melihat kecurangan emiten merupakan salah satu bagian dari perlindungan investor,” ujarnya. Dalam kasus AISA yang dilakukan oleh mantan direksi, lanjut Adler, merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan UU Pasar modal. Namun, hukuman berupa penjara dan denda Rp15 miliar dalam UU Pasar Modal, menurutnya, masih dirasa kurang. (Lihat videonya: Bangkai Pesawat Diduga Air Asia Ditemukan di Kalteng)
“Pelakunya juga harus di-blacklist, tidak bisa jadi direksi perusahaan tbk, termasuk anak perusahaannya,” tandas Adler. Pelaku pasar berharap OJK sebagai ujung pertahanan ketidakberesan yang dilakukan emiten dapat melakukan tindakan tegas kepada pihak-pihak yang merugikan investor dan merusak citra pasar modal. “Jadi, tidak hanya menunggu laporan dari investor yang dirugikan, harus bisa jemput bola,” tandas Adler. (Rakhmat Baihaqi)
(ysw)