Cegah Tuwir Sebelum Tajir, Dana Abadi SWF Jadi Pertaruhan Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF) diharapkan akan menarik investasi asing untuk pembangunan dan menggenjot ekonomi nasional. Mengutip laporan Bank Dunia tahun 2014 Indonesia: Avoiding the Trap, yaitu Indonesia berisiko growing old before growing rich alias tuwir sebelum tajir.
Pemerintah menargetkan di akhir Januari 2021 akan mulai mengoperasikan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF). Peran LPI akan menjadi sangat penting bagi Indonesia.
Karena menurut Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi, PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, saat ini Indonesia berkejaran dengan waktu sebelum kehilangan momentum bonus demografi. "Ini bahaya kalau pertumbuhan ekonomi kita hanya 6% dalam periode 2013-2030," kata Budi di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Demi mencegah kemalangan itu tidak terjadi, Pemerintah berupaya memperkuat infrastruktur dan sumber daya manusia, mengikuti saran Bank Dunia (closing infrastructure and skill gaps).
Namun, Bahana TCW, juga melihat risiko perang dagang 2019 dan pandemi COVID-19 2020 telah memperburuk risiko saat penduduk Indonesia mulai menua di 2030. Upaya mempercepat penyediaan infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing telah memperberat kondisi keuangan perusahaan milik negara (BUMN).
"Negara ini harus bisa meningkatkan PDB per kapita yang saat ini sekitar USD4.500 per tahun, menjadi minimal USD12.000 per tahun dalam waktu 10 tahun hingga tahun 2030. Atau dibutuhkan pertumbuhan per tahun 10,3% dalam USD," katanya.
Karena itu dia mewanti-wanti SWF agar dikelola dengan benar. Karena beresiko bagi beban negara akan bertambah bila BUMN tersebut jatuh bangkrut dan meninggalkan infrastruktur yang belum membuahkan hasil.
Di samping itu, beban pembayaran bunga naik, dari sekitar 12% pendapatan negara menjadi 21%. "Sebuah beban yang luar biasa tinggi sehingga membatasi negara dalam berhutang,” ungkap Budi Hikmat.
Di atas kertas, saat ini dunia di tengah pandemi dibanjiri dengan limpahan likuiditas. Kelebihan likuiditas tercermin dengan rendahnya suku bunga, diyakini dapat memicu aset reflation selain pelemahan USD.
Konflik geopolitik dan antisipasi berulangnya pandemi memicu perubahan strategi bisnis dan jalur pasokan (supply chain). Indonesia yang memiliki segmen kelas menengah yang tengah tumbuh dan sumber daya alam yang melimpah dianggap memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari sistem rantai pasok baru.
“Untuk itu, SWF menjadi terobosan yang patut ditempuh agar Indonesia masih bisa keluar dari risiko middle income trap, tanpa membebani kondisi keuangan negara yang saat ini sudah begitu besar,” kata Budi Hikmat.
Namun uniknya, SWF Indonesia berbeda dengan strategi SWF negara-negara maju. Mengutip opini di Bisnis Indonesia yang ditulis Ahmad Yani, Tim tenaga ahli Kemenkeu, Model SWF negara maju seperti investment vehicle untuk melipatgandakan kekayaan di saat terjadi krisis.
Sehingga pemasukan negara maju masih tetap terselamatkan jika sumber penerimaan negara terimbas krisis. Beberapa negera maju dan tetangga yang telah memiliki SWF yakni Singapura dengan Temasek Holding, Malaysia dengan Hazanah, dan Norwegia dengan Norway Government Pension Fund Global.
Sementara, LPI, SWF milik Indonesia justru ditujukan untuk mengelola kekayaan investasi dari luar dengan mengalokasikannya ke proyek-proyek nasional, seperti infrastruktur, dan seterusnya. Untuk itu, peran LPI sangatlah penting bagi Indonesia.
Meski demikian, Budi menghimbau, agar SWF terhindar dari kepentingan politik, sehingga harus dikelola oleh pengurus (baik komisaris dan direksi) yang memiliki integritas, governance, dan kapasitas kompetensi yang mumpuni dalam mengelola investasi.
Agar Indonesia tak akan kehilangan kepercayaan dari investor negara lain. Pengurus harus memiliki tiga faktor tersebut yang secara historis diteladankan oleh Nabi Yusuf. “SWF sebagai pertaruhan martabat Indonesia dalam menjaga kepercayaan negara luar. Kita berharap agar SWF bisa berjalan lancar dan profesional,” katanya.
Pemerintah menargetkan di akhir Januari 2021 akan mulai mengoperasikan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF). Peran LPI akan menjadi sangat penting bagi Indonesia.
Karena menurut Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi, PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, saat ini Indonesia berkejaran dengan waktu sebelum kehilangan momentum bonus demografi. "Ini bahaya kalau pertumbuhan ekonomi kita hanya 6% dalam periode 2013-2030," kata Budi di Jakarta, Senin (25/1/2021).
Demi mencegah kemalangan itu tidak terjadi, Pemerintah berupaya memperkuat infrastruktur dan sumber daya manusia, mengikuti saran Bank Dunia (closing infrastructure and skill gaps).
Namun, Bahana TCW, juga melihat risiko perang dagang 2019 dan pandemi COVID-19 2020 telah memperburuk risiko saat penduduk Indonesia mulai menua di 2030. Upaya mempercepat penyediaan infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing telah memperberat kondisi keuangan perusahaan milik negara (BUMN).
"Negara ini harus bisa meningkatkan PDB per kapita yang saat ini sekitar USD4.500 per tahun, menjadi minimal USD12.000 per tahun dalam waktu 10 tahun hingga tahun 2030. Atau dibutuhkan pertumbuhan per tahun 10,3% dalam USD," katanya.
Karena itu dia mewanti-wanti SWF agar dikelola dengan benar. Karena beresiko bagi beban negara akan bertambah bila BUMN tersebut jatuh bangkrut dan meninggalkan infrastruktur yang belum membuahkan hasil.
Di samping itu, beban pembayaran bunga naik, dari sekitar 12% pendapatan negara menjadi 21%. "Sebuah beban yang luar biasa tinggi sehingga membatasi negara dalam berhutang,” ungkap Budi Hikmat.
Di atas kertas, saat ini dunia di tengah pandemi dibanjiri dengan limpahan likuiditas. Kelebihan likuiditas tercermin dengan rendahnya suku bunga, diyakini dapat memicu aset reflation selain pelemahan USD.
Konflik geopolitik dan antisipasi berulangnya pandemi memicu perubahan strategi bisnis dan jalur pasokan (supply chain). Indonesia yang memiliki segmen kelas menengah yang tengah tumbuh dan sumber daya alam yang melimpah dianggap memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari sistem rantai pasok baru.
“Untuk itu, SWF menjadi terobosan yang patut ditempuh agar Indonesia masih bisa keluar dari risiko middle income trap, tanpa membebani kondisi keuangan negara yang saat ini sudah begitu besar,” kata Budi Hikmat.
Namun uniknya, SWF Indonesia berbeda dengan strategi SWF negara-negara maju. Mengutip opini di Bisnis Indonesia yang ditulis Ahmad Yani, Tim tenaga ahli Kemenkeu, Model SWF negara maju seperti investment vehicle untuk melipatgandakan kekayaan di saat terjadi krisis.
Sehingga pemasukan negara maju masih tetap terselamatkan jika sumber penerimaan negara terimbas krisis. Beberapa negera maju dan tetangga yang telah memiliki SWF yakni Singapura dengan Temasek Holding, Malaysia dengan Hazanah, dan Norwegia dengan Norway Government Pension Fund Global.
Sementara, LPI, SWF milik Indonesia justru ditujukan untuk mengelola kekayaan investasi dari luar dengan mengalokasikannya ke proyek-proyek nasional, seperti infrastruktur, dan seterusnya. Untuk itu, peran LPI sangatlah penting bagi Indonesia.
Meski demikian, Budi menghimbau, agar SWF terhindar dari kepentingan politik, sehingga harus dikelola oleh pengurus (baik komisaris dan direksi) yang memiliki integritas, governance, dan kapasitas kompetensi yang mumpuni dalam mengelola investasi.
Agar Indonesia tak akan kehilangan kepercayaan dari investor negara lain. Pengurus harus memiliki tiga faktor tersebut yang secara historis diteladankan oleh Nabi Yusuf. “SWF sebagai pertaruhan martabat Indonesia dalam menjaga kepercayaan negara luar. Kita berharap agar SWF bisa berjalan lancar dan profesional,” katanya.
(akr)