Struktur Tarif Cukai yang Kompleks Jadi Celah Permainan Industri Rokok Besar

Selasa, 15 Juni 2021 - 17:05 WIB
loading...
Struktur Tarif Cukai...
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Struktur cukai rokok yang berlapis-lapis sehingga harga rokok tetap terjangkau dianggap sebagai kebijakan yang tidak pro terhadap kesehatan masyarakat. Pasalnya, struktur cukai itu dinilai membuat prevalensi perokok di Indonesia tergolong tinggi dan terus meningkat dari tahun ke tahun.

Tak pelak, simplifikasi struktur tarif CHT perlu dilakukan secepatnya. Simplifikasi semakin relevan di tengah situasi pandemi, ketika negara membutuhkan dana yang lebih besar untuk program pemulihan ekonomi nasional.

“Penyederhanaan atau simplifikasi struktur tarif CHT secara bertahap akan mengurangi variasi harga rokok di pasaran, terutama yang harganya terlalu murah. Sehingga, ketika harga rokok naik, perokok tidak bisa dengan mudah berpindah ke rokok yang lebih murah, karena variasinya lebih sedikit,” ujar Direktur Kebijakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Olivia Herlinda, dalam keterangannya, Selasa (15/6/2021).

CISDI berharap, peta jalan simplifikasi yang pernah diimplementasikan oleh pemerintah pada 2018 dapat dijalankan kembali secara bertahap. Terlebih, simplifikasi juga sudah masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Baca juga: Fadli Zon Dukung Jenderal Andika Perkasa Jadi Panglima TNI

“Tahun ini waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk melakukan simplifikasi. Karena selain membantu pengendalian konsumsi, simplifikasi golongan juga diprediksi dapat meningkatkan penerimaan negara dari cukai yang juga diperlukan untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya.

Olivia juga memaparkan bahwa kerumitan struktur tarif cukai justru membuka peluang pabrikan besar untuk melakukan penghindaran pajak dengan membayar tarif cukai yang lebih murah.

“Struktur tarif CHT yang rumit juga membuat pengawasan oleh Bea dan Cukai lebih sulit. Selain itu rumitnya struktur tarif memungkinkan perusahaan rokok besar untuk masuk di pasaran industri kecil dengan membuat segmentasi produk dengan merek berbeda dari jumlah produksi yang disesuaikan dengan batasan produksi di golongan tarif rendah. Akhirnya, hal ini menyebabkan perusahaan kecil semakin terpuruk juga,” katanya.

Senada dengan Olivia, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya mengatakan, target penurunan prevalensi perokok di Indonesia belum optimal karena kebijakan untuk mengendalikan konsumsi rokok tidak dilakukan secara konsisten, signifikan, dan sinergis.

“Selain kenaikan CHT, harus diimbangi dengan kenaikan HJE dan penyederhanaan struktur tarif CHT,” ujar Aryana.

Dia mengatakan, skenario Bappenas 2021 menunjukkan bahwa kenaikan tarif CHT dibarengi dengan kebijakan simplifikasi struktur tarif CHT menjadi 3-5 strata dapat meningkatkan penerimaan negara, serta mencapai target penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada 2024.

“Penerapan cukai rokok di Indonesia saat ini masih beragam karena banyaknya golongan tarif cukai. Hal ini menyebabkan harga rokok bervariasi dan memungkinkan masyarakat membeli rokok yang lebih rendah sehingga diperlukan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau,” tegasnya.

Aryana menilai simplifikasi struktur tarif CHT menjadi penting untuk mengurangi konsumsi rokok karena akan mengubah variasi harga rokok di pasaran. “Berkurangnya variasi harga rokok di masyarakat, akan membuat harga rokok semakin tidak terjangkau bagi anak, remaja, dan masyarakat miskin. Ini berdampak terhadap pengendalian konsumsi,” ujarnya.

Baca juga:Teh Ninih Dibentak dan Disebut Munafik oleh Ghaida Putri Aa Gym

Secara terpisah, ekonom Faisal Basri mengatakan bahwa pemerintah seharusnya dapat melakukan terobosan agar rokok semakin tidak terjangkau. “Untuk mengurangi keterjangkauan rokok, kebijakan cukai harus diiringi dengan simplifikasi struktur tarif CHT,” ujarnya beberapa waktu lalu di sebuah webinar.

Faisal Basri sepakat dengan rancangan Bappenas bahwa simplifikasi struktur tarif CHT harus dilakukan setidaknya menjadi 3-5 layer. Sebelumnya, pemerintah sudah pernah mencanangkan kebijakan simplifikasi struktur tarif CHT secara bertahap pada 2017 dari 12 layer menjadi 5 layer, namun kemudian di tengah jalan peta jalan simplifikasi ini dibatalkan.

Hal ini, kata Faisal, merupakan akibat dari lobi perusahaan rokok. "Di Indonesia banyak pabrik rokok yang mempertahankan layer di bawahnya supaya cukainya lebih rendah, ini terutama perusahaan asing. Padahal dia pemain dunia," ujar Faisal.

“Rokok is rokok. Dalam bentuk apa pun, itu harus diperketat,” tegasnya.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1515 seconds (0.1#10.140)