Cerah, Outlook Ekonomi ke Depan Dinilai Semakin Membaik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menjelang akhir kuartal II tahun ini, pemulihan ekonomi global dinilai terlihat semakin kuat. Hal ini antara lain ditunjukkan data ketenagakerjaan Amerika serikat (AS) yang menunjukkan perbaikan setiap bulannya.
Begitu juga dengan kenaikan inflasi AS yang masih menjadi fokus pasar, yang mana inflasi meningkat 4,2% yoy untuk periode April 2021. Sementara, Personal Consumption Expenditure (PCE) yang merupakan acuan inflasi oleh The Fed, naik 3,6% yoy.
Namun, The Fed melihat bahwa tingkat inflasi ini hanya bersifat sementara. Karena itu, tapering diyakini belum akan terjadi dalam waktu dekat. Hal tersebut akan tetap menjaga imbal hasil US Treasury dan mendukung aset berisiko.
Wealth Management Head Bank OCBC NISP Juky Mariska mengatakan, beberapa sentimen turut mempengaruhi pasar keuangan Indonesia. Selain kekhawatiran inflasi AS yang meningkat, para pelaku pasar juga masih mencermati perkembangan seputar kasus Covid-19 yang melonjak di beberapa negara Asia. Di sisi lain, volatilitas pada mata uang kripto juga masih menjadi perhatian akhir-akhir ini.
"Memasuki bulan Juni, terlihat rilisan data ekonomi yang semakin membaik dari dalam negeri. Yang pertama, data PMI manufaktur meningkat menjadi 55,3 untuk periode Mei, dari 54,6 di bulan April. Lalu, inflasi juga dilaporkan meningkat 1,68% yoy pada bulan Mei, dari bulan April yang hanya meningkat 1,42% yoy. Ke depan, para investor tentunya menantikan data pertumbuhan ekonomi yang lebih baik untuk kuartal II/2021, dibandingkan pembacaan kuartal I yang terkontraksi -0,74% yoy," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Selasa (29/6/2021).
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi akan didorong oleh program vaksinasi yang terus ditingkatkan oleh pemerintah. Selain itu, realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi telah mencapai 24,6% hingga pertengahan Mei 2021.
Dari pasar saham, lanjut dia, sepanjang bulan Mei, IHSG membukukan pelemahan -0,80%, ditutup di level 5,947. Para pelaku pasar selama bulan Mei memang masih terlihat wait and see terkait lonjakan kasus Covid-19 dari dalam negeri.
Namun, dia melihat adanya potensi penguatan pada IHSG seiring dengan aktivitas ekonomi yang semakin membaik. "Adanya penambahan sektor baru, yaitu health care dan technology pada indeks diharapkan akan mendorong kembalinya likuiditas pada IHSG. IHSG diperkirakan berada di rentang 5.900–6.300 dalam jangka pendek ke depan," jelasnya.
Berbeda dengan pasar saham, pasar obligasi diperdagangkan menguat pada bulan lalu. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah turun -0,60% ke level 6,422% di akhir bulan Mei. Suku bunga acuan yang rendah membuat pasar obligasi Indonesia kian menarik.
"Hal ini juga terlihat dari demand investor pada lelang pada akhir bulan Mei, yang mana incoming bid mencapai Rp78 triliun, naik sangat signifikan dibandingkan lelang-lelang sebelumnya. Imbal hasil US Treasury yang melandai turut membuat inflow pada pasar obligasi membaik," katanya.
Sementara, untuk nilai tukar rupiah tercatat menguat terhadap USD sebesar 1,14% di bulan Mei dan ditutup di level Rp14.280/USD. Keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga di level 3,5% disebut turut mendukung mata uang domestik.
"Kedepannya, rupiah masih berpotensi dapat menguat seiring dengan nilainya yang masih undervalue secara fundamental, dan tentunya didukung oleh ekonomi yang membaik. Kami memperkirakan USDIDR akan diperdagangkan di level Rp14.200–14.400 pada sisa kuartal II/2021," tutupnya.
Begitu juga dengan kenaikan inflasi AS yang masih menjadi fokus pasar, yang mana inflasi meningkat 4,2% yoy untuk periode April 2021. Sementara, Personal Consumption Expenditure (PCE) yang merupakan acuan inflasi oleh The Fed, naik 3,6% yoy.
Namun, The Fed melihat bahwa tingkat inflasi ini hanya bersifat sementara. Karena itu, tapering diyakini belum akan terjadi dalam waktu dekat. Hal tersebut akan tetap menjaga imbal hasil US Treasury dan mendukung aset berisiko.
Wealth Management Head Bank OCBC NISP Juky Mariska mengatakan, beberapa sentimen turut mempengaruhi pasar keuangan Indonesia. Selain kekhawatiran inflasi AS yang meningkat, para pelaku pasar juga masih mencermati perkembangan seputar kasus Covid-19 yang melonjak di beberapa negara Asia. Di sisi lain, volatilitas pada mata uang kripto juga masih menjadi perhatian akhir-akhir ini.
"Memasuki bulan Juni, terlihat rilisan data ekonomi yang semakin membaik dari dalam negeri. Yang pertama, data PMI manufaktur meningkat menjadi 55,3 untuk periode Mei, dari 54,6 di bulan April. Lalu, inflasi juga dilaporkan meningkat 1,68% yoy pada bulan Mei, dari bulan April yang hanya meningkat 1,42% yoy. Ke depan, para investor tentunya menantikan data pertumbuhan ekonomi yang lebih baik untuk kuartal II/2021, dibandingkan pembacaan kuartal I yang terkontraksi -0,74% yoy," ungkapnya melalui keterangan tertulis, Selasa (29/6/2021).
Menurut dia, pertumbuhan ekonomi akan didorong oleh program vaksinasi yang terus ditingkatkan oleh pemerintah. Selain itu, realisasi dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang diharapkan dapat mempercepat pemulihan ekonomi telah mencapai 24,6% hingga pertengahan Mei 2021.
Dari pasar saham, lanjut dia, sepanjang bulan Mei, IHSG membukukan pelemahan -0,80%, ditutup di level 5,947. Para pelaku pasar selama bulan Mei memang masih terlihat wait and see terkait lonjakan kasus Covid-19 dari dalam negeri.
Namun, dia melihat adanya potensi penguatan pada IHSG seiring dengan aktivitas ekonomi yang semakin membaik. "Adanya penambahan sektor baru, yaitu health care dan technology pada indeks diharapkan akan mendorong kembalinya likuiditas pada IHSG. IHSG diperkirakan berada di rentang 5.900–6.300 dalam jangka pendek ke depan," jelasnya.
Berbeda dengan pasar saham, pasar obligasi diperdagangkan menguat pada bulan lalu. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah turun -0,60% ke level 6,422% di akhir bulan Mei. Suku bunga acuan yang rendah membuat pasar obligasi Indonesia kian menarik.
"Hal ini juga terlihat dari demand investor pada lelang pada akhir bulan Mei, yang mana incoming bid mencapai Rp78 triliun, naik sangat signifikan dibandingkan lelang-lelang sebelumnya. Imbal hasil US Treasury yang melandai turut membuat inflow pada pasar obligasi membaik," katanya.
Sementara, untuk nilai tukar rupiah tercatat menguat terhadap USD sebesar 1,14% di bulan Mei dan ditutup di level Rp14.280/USD. Keputusan Bank Indonesia mempertahankan suku bunga di level 3,5% disebut turut mendukung mata uang domestik.
"Kedepannya, rupiah masih berpotensi dapat menguat seiring dengan nilainya yang masih undervalue secara fundamental, dan tentunya didukung oleh ekonomi yang membaik. Kami memperkirakan USDIDR akan diperdagangkan di level Rp14.200–14.400 pada sisa kuartal II/2021," tutupnya.
(fai)