Proyek Kereta Cepat Ribet, Bos KAI Usul Pertemuan Tertutup hingga Audit Investigasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proyek Strategi Nasional (PSN) , Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) , tengah menghadapi sejumlah persoalan. Pasalnya, permasalahannya terbilang kompleks.
Dari pembengkakan biaya (cost overrun) yang diperkirakan mencapai USD4,9 miliar atau setara Rp69 triliun hingga komunikasi yang kurang baik antara konsorsium China dan Indonesia.
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Didiek Hartantyo mengakui hal tersebut. Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, dia membenarkan bahwa koordinasi antara dua konsorsium di bawah payung PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), tak berjalan mulus.
Baca juga: Pesawat Qatar yang Membawa Tim Teknis Dilaporkan Mendarat di Kabul
Padahal, pengerjaan PSN tersebut masih panjang. Saat ini, konstruksi proyek baru mencapai 77,9% sejak dimulai beberapa tahun lalu dan ditargetkan beroperasi secara komersial pada awal 2023 mendatang.
"Jadi Bapak pimpinan (DPR) selama ini komunikasi antara pihak Indonesia dengan Cina itu tidak smooth," ujar Didiek, Rabu (1/9/2021).
KCIC terdiri dari dua konsorsium. Pertama, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang berisi sejumlah perusahaan pelat merah di dalamnya. Secara komposisi saham, PT Wijaya Karya (Persero) memiliki 38%, kemudian KAI 25%, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, 12%, dan PTPN VIII 25%. Jadi, total saham BSBI sebesar 60% di KCJB.
Kedua, konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd. dengan kepemilikan sebesar 40%. Konsorsium ini terdiri atas lima perusahaan, yakni CRIC dengan saham 5%, CREC sebanyak 42,88%, Sinohydro 30%, CRCC 12, dan CRSC 10,12%.
Di internal konsorsium Indonesia, KAI sebagai BUMN di sektor perkeretaapian sekaligus menjadi anggota di dalamnya menilai Wijaya Karya sebagai pimpinan proyek KCJB kurang tepat. Sebab, perseroan adalah BUMN di sektor konstruksi dan bukan perkeretaapian.
Namun, secara aset Wijaya Karya mencatatkan sahamnya sebesar 38%. Artinya, paling tinggi dari KAI, PTPN VIII, dan Jasa Marga.
Dari pembengkakan biaya (cost overrun) yang diperkirakan mencapai USD4,9 miliar atau setara Rp69 triliun hingga komunikasi yang kurang baik antara konsorsium China dan Indonesia.
Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI Didiek Hartantyo mengakui hal tersebut. Saat rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, dia membenarkan bahwa koordinasi antara dua konsorsium di bawah payung PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), tak berjalan mulus.
Baca juga: Pesawat Qatar yang Membawa Tim Teknis Dilaporkan Mendarat di Kabul
Padahal, pengerjaan PSN tersebut masih panjang. Saat ini, konstruksi proyek baru mencapai 77,9% sejak dimulai beberapa tahun lalu dan ditargetkan beroperasi secara komersial pada awal 2023 mendatang.
"Jadi Bapak pimpinan (DPR) selama ini komunikasi antara pihak Indonesia dengan Cina itu tidak smooth," ujar Didiek, Rabu (1/9/2021).
KCIC terdiri dari dua konsorsium. Pertama, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang berisi sejumlah perusahaan pelat merah di dalamnya. Secara komposisi saham, PT Wijaya Karya (Persero) memiliki 38%, kemudian KAI 25%, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, 12%, dan PTPN VIII 25%. Jadi, total saham BSBI sebesar 60% di KCJB.
Kedua, konsorsium China, Beijing Yawan HSR Co. Ltd. dengan kepemilikan sebesar 40%. Konsorsium ini terdiri atas lima perusahaan, yakni CRIC dengan saham 5%, CREC sebanyak 42,88%, Sinohydro 30%, CRCC 12, dan CRSC 10,12%.
Di internal konsorsium Indonesia, KAI sebagai BUMN di sektor perkeretaapian sekaligus menjadi anggota di dalamnya menilai Wijaya Karya sebagai pimpinan proyek KCJB kurang tepat. Sebab, perseroan adalah BUMN di sektor konstruksi dan bukan perkeretaapian.
Namun, secara aset Wijaya Karya mencatatkan sahamnya sebesar 38%. Artinya, paling tinggi dari KAI, PTPN VIII, dan Jasa Marga.