Saatnya Mengolah Hasil Tambang

Selasa, 25 Januari 2022 - 11:03 WIB
loading...
Saatnya Mengolah Hasil Tambang
Hilirisasi akan menjadi kunci untuk pengauatan nilai tambah hasil pertambangan. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Perlahan tapi pasti pemanfaatan sumber daya alam berupa mineral hasil tambang untuk industri dalam negeri mulai berjalan. Akan tetapi, untuk melihat hasilnya, tentu masih perlu waktu karena dipengaruhi berbagai faktor termasuk kesiapan teknologi dan infrastruktur.

Pemanfaatan komoditas mineral dari dalam perut bumi Ibu Pertiwi mutlak dilakukan apabila ingin bersaing dengan negara lain. Maka, hilirisasi menjadi langkah penting dalam meningkatkan nilai tambah mineral yang dimiliki negeri ini.

Selain komoditas mineral, hilirisasi sumberdaya alam juga kini sedang dilakukan di sektor batubara . Komoditas emas hitam ini belakangan sempat ramai dibicarakan karena perannya yang sangat sentral dalam keberlangsungan energi di Tanah Air.

Seperti diketahui, Indonesia memiliki potensi sumberdaya mineral melimpah. Beberapa di antaranya bahkan termasuk yang paling besar di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun KORAN SINDO, untuk jenis mineral seperti nikel Indonesia memiliki cadangan hingga 21 juta ton, terbesar di dunia. Sementara timah, cadangannya mencapai 2,23 juta ton.



Beberapa mineral lain yang ada di perut bumi Indonesia dan potensia dikembangkan adalah bauksit, emas, tembaga dan logam tanah jarang. Komoditas yang terakhir ini sedang menjadi perbincangan karena Pusat Sumber Daya Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengungkapkan adanya temuan cadangan logam tanah jarang (rare earth) di area Lumpur Lapindo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Berdasarkan keterangan dari instansi tersebut, terungkap bahwa studi terkait kandungan tersebut telah dimulai sejak 2020. Dari hasil studi diindikasikan ada kandungan logam tanah jarang yang sangat langka. Sayangnya jumlahnya secara pasti belum diketahui karena masih dalam proses identifikasi.

“Jadi kalau sudah selesai menyeluruh akan disampaikan. Ini perlu ada integrasi data jika sudah selesai mudah-mudahan bisa diketahui berapa jumlah logam tanah jarang di Sidoarjo ini," ucap Kepala Pusat Sumber Daya Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono Jumat lalu seperti dikutip Sindonews.com.

Baca juga: China Luncurkan Satelit Observasi Hiperspektral, Mampu Deteksi Sumber Mineral di Bumi

Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) Mulyanto meminta pemerintah meneliti lebih lanjut kelayakan teknis dan ekonomi dari logam tanah jarang ini.

“Agar jangan menjadi pepesan kosong yang heboh di masyarakat. Atau (hanya) menimbulkan euforia, tapi berujung hampa,” ujarnya kepada Koran SINDO, Senin (24/1/2022).

Diungkapkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan plat yang bergerak di bidang tambang beberapa tahun lalu sudah mewacanakan untuk bekerja sama dengan negara lain yang sudah lebih dulu mengolah logam tanah jarang. Namun, sampai saat ini belum ada realisasinya. Mulyanto kembali menekankan pentingnya studi komprehensif sehingga dapat diketahui jumlah logam berharga tersebut.

Dia menuturkamn, sampai saat ini, belum aturan detail untuk pemanfaatan dan pengolahan logam tanah jarang ini. Mulyanto mewanti-wanti agar Indonesia harus terus belajar dan hati-hati dalam pengelolaan ini. Tujuannya, agar sumber daya alam (SDA) langka ini tidak jatuh ke tangan asing atau diekspor mentah-mentah.

Dalam pengelolaan minerba, pemerintah sebenarnya secara bertahap mendorong untuk dilakukan pengolahan di dalam negeri. Pemerintah terus menggenjot pembangunan smelter. Pemerintah pun secara bertahap menghentikan ekspor mentah dari nikel. Pada tahun 2022, bauksit harus diolah di dalam negeri. “Terkait menghentikan ekspor bauksit dan tembaga mentah serta mendorong hilirisasinya adalah amanat UU Minerba. Secara bertahap ini harus disiapkan dan diimplementasikan,” ujar dia.

Berdasarkan data dari hasil penyelidikan Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2019-2020, disebutkan bahwa keterdapatan dan potensi LTJ di Indonesia dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan berbagai jenis endapan.

Di Sumatera diperkirakan memiliki sumber daya mendekati 20.000 ton berupa endapan laterit, yaitu di Sumatera Utara (Tapanuli Utara), sedangkan di bagian Sumatera lainnya ditemukan berupa lokasi-lokasi indikasi.

Sedangkan Bangka Belitung dijumpai bersama dengan endapan Timah. Ketersediaan sumber daya LTJ dalam bentuk mineral monasit lebih dari 186.000 ton, berupa Xenotim lebih dari 20.000 ton dalam endapan alluvial timah. Adapun di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat, memiliki potensi LTJ tipe laterit sebesar 219 ton, sedangkan di Sulawesi, sumber daya LTJ jenis laterit sekitar 443 ton.

Mengutip data Pusat Sumber Daya Mineral Batu bara dan Panas Bumi (PSDMBP) Badan Geologi, selain di Sidoarjo, terdapat 28 lokasi lain di Indonesia yang memiliki potensi logam tanah jarang. Di antaranya 16 lokasi di Sumatera, tujuh lokasi di Kalimantan, tiga lokasi di Sulawesi dan dua lokasi di Pulau Jawa.

Sekadar diketahui, logam tanah jarang merupakan bahan baku utama sejumlah produk teknologi seperti smartphone, satelit, hingga peralatan militer. Logam jenis ini kini menjadi rebutan sejumlah negara industri seperti China dan Amerika Serikat.
Jauh sebelum rare earth ramai diperbicangkan, di Indonesia sebenarnya telah banyak ditemukan cadangan mineral penting yang berperan dalam industri manufaktur. Sebut saja nikel, timah, bauksit hingga tembaga. Dari sejumlah mineral tersebut, ada yang sudah diproduksi dan mayoritas di ekspor secara mentah.

Data Kementerian ESDM menyebutkan, sepanjang 2021 produksi tembaga Indonesia mencapai 289.500 ton, emas 79 ton, perak 397 ton, timah 34.500 ton, feronikel 1,58 juta ton dan pig iron 799.000 ton. Akan tetapi, untuk mineral tanah jarang memang belum terlalu banyak diketahui masyarakat awam.

Sekretaris Perusahaan PT Timah (Tbk) Muhammad Zulkarnaen mengatakan, perseroan bersama MIND ID selalku induk holding pertambangan BUMN, terus melakukan upaya percepatan pengembangan logam tanah jarang (LTJ). Langkah ini dimulai dari pengumpulan data sumber daya berdasarkan kegiatan eksplorasi sampai diperolehnya kepastian pemenuhan keberlanjutan usaha yang bekerjasama dengan institusi terkait. Teknologi yang digunakan dalam pengolahan LTJ merupakan teknologi yang tertutup dan strategis secara geopolitik.

"Oleh karena itu, fokus proyek di PT Timah saat ini melakukan pemilihan teknologi dan technology provider. Pemilihan teknologi ini tentu berkaitan juga dengan parameter ramah lingkungan, yield product antara intermediate ataupun hilir, proven reliability dalam pengembangan, serta tentu saja harus bankable,"tuturnya.

Dia menambahkan, pada 2015 silam perseroan telah membuat pilot plant pengolahan monasit menjadi ‎rare hydroxide (REOH) yang berada di Tanjung Ular, Bangka Barat. Adapun saat ini PT Timah sedang mencoba mengoptimalkan perbaikan proses dan kualitas produk pilot plant REOH dengan mengkomparasikan teknologi yang dikembangkan di Pusat Teknologi Bahn Galian Nuklir (PTBGN) serta Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).

Meski demikian, diakui Zulkarnaen bahwa pihaknya masih kesulitan menghasilkan LTJ karena keterbatasan informasi dan teknologi. Sekadar diketahui, saat ini teknologi komersial pengelola monasit masih dikuasai China, sehingga sangat sulit memperoleh teknologi pengolahan monasit secara komersial.

"Untuk itu, perlu dukungan pemerintah untuk memperoleh teknologi hilirisasi selanjutnya," ungkapnya.

Di sisi lain, Kementrian ESDM mendorong PT Timah untuk bisa memproduksi logam tanah jarang karena perusahaan dinilai memiliki upaya dan strategi tersendiri seperti melakukan eksplorasi terutama dalam menambah inventori."Rare earth ini adalah kandungan mineral ikutan, jadi kita utamanya bukan mencari rare earth tapi mencari timah yang hasil ikutannya kita kumpulkan sebagai inventori,"jelasnya.

Proses pengolahan rare earth sendiri pun cukup panjang, mulai memecah menjadi oxide lalu menjadi logam, sampai akhirnya menjadi magnet. PT Timah pun tetap mendorong hilirisasi. Hal ini dibuktikan dengan membangun pabrik yakni mendirikan perusahaan industri timah di Cilegon, Banten, yang bertujuan melakukan hilirisasi produk logam timah. Di pabrik tersebut, perseroan memproduksi tin chemical dan solder yang telah dijual ke Vietnam pada semester II/2021. Tidak hanya berhenti di situ, PT Timah juga terus melakukan penetrasi kepada para end user di Jawa Timur.

Pengamat ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti mengatakan, dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya mineral di Tanah Air, diperlukan beberanya strategi. Di antaranya; Pertama, harus diketahui bagaimana posisi cadangan yang dimiliki. Dia menyebut hal itu sebagai strategi stockpiling geopolitical power.

Langkah ini untuk melihat seberapa besar komoditas tersebut memiliki nilai, khususnya bagi Indonesia dan pasar global yang akan menjadi bargaining power untuk transfer teknologi atau kekuatan politik. “Jika value komoditas kita besar dan dapat memberikan kekuatan geopolitik, misalnya komoditas tambang atau migas yang tidak semua negara memiliki dan sifat komoditas tersebut tidak terbarukan, maka kebijakan manajeman produksi komoditas Indonesia mengarah kepada stockpiling market management,” kata Yayan.

Dia menambahkan, konsep ini artinya selama komoditas tersebut cepat habis dan memiliki nilai, maka harus menjaga cadangan dari komoditas tersebut agar tidak cepat habis dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Akan tetapi, kebijakan manajemen sumber daya alam kita pada saat ini cenderung untuk eksploitasi sumber daya” tukasnya.

Strategi lain yang bisa dilakukan adalah menerapkan konsep weak sustainability. Maksudnya, dengan cara mensubtitusi sumber daya yang hilang dengan sumber daya lain yang bisa memiliki nilai tambah yang sama.Akan tetapi, jika kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak ke arah keduanya maka akan lebih baik apabila menggunakan sumber daya yang memberikan multiplier effect ke seluruh pelaku ekonomi.“Misalnya eksploitas mineral itu akan menumbuhkan sektor turunan baik hilir atau hulu dengan multiplier effect di atas 3 atau 4 kali lipat dari industri tersebut,” katanya.

Dia berpendapat, apabila larangan ekspor seperti yang ditetapkan pemerintah saat ini bersifat stockpiling management untuk kepentingan masyarakat, hal itu sangat baik karena akan memberikan geopolitical power ke negara lain.

“Akan tetapi, jika kebijakan ini tidak didukung dengan pengembangan industri domestik itu tidak terlalu baik, justru akan memberikam dampak negatif misal adanya tindakan ilegal lainnya karena penciptaan multiplier effect di domestik tidak berkembang,” katanya.

Menurut Yayan, untuk mengakselerasi pemanfaatan sumber daya alam mineral agar industri di dalam negeri tumbuh, kuncinya adalah kolaborasi dan transfer teknologi. Kolaborasi global ini dapat dengan menjadikan sebagai upaya agar ada transfer teknologi dengan melakukan joint investment agar pengembangan industri bisa beriringan dengan industri domestik.

“Jangan sampai seperti sumber daya migas seperti dahulu di mana transfer teknologinya sangat terbatas, dan mereka mau transfer ketika sumberdaya kita mendekati marjinal” tegasnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2093 seconds (0.1#10.140)