Soal Label BPA, Waspadai Kandungan Berbahaya secara Utuh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Paparan Bisphenol A atau BPA yang ada dalam plastik kemasan makanan membahayakan kesehatan. Kandungan ini banyak ditemukan pada kemasan makanan yang sering digunakan masyarakat termasuk anak-anak.
Sebab itu penggunaan kandungan tersebut harus diwaspadai secara utuh dan dibatasi melalui aturan yang tegas. "Publik harus diberikan ruang untuk memahami risiko BPA secara utuh," ujar Koordinator riset dan teknologi FMCG Insights Muhammad Hasan, di Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Menurut dia Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara terbuka menekankan perlunya mengantisipasi dampak peredaran kemasan makanan galon polikarbonat yang mengandung BPA pada kesehatan masyarakat di masa mendatang. Namun ada sejumlah pihak masih menganggap kandungan zat yang membahayakan konsumen tersebut sebagai hal biasa dan rancu.
Salah satunya terkait soal diskon efek paparan sinar matahari pada galon guna ulang oleh sejumlah akademisi. Hal itu dikhawatirkan menutup celah bagi publik memahami risiko BPA secara utuh. "Jauh lebih bijak jika akademisi menggelar riset membantu BPOM," katanya.
Dia mencontohkan minimnya riset terkait level peluluhan BPA pada galon guna ulang yang usianya sudah di atas 5 tahun namun masih beredar di pasar, atau keamanan galon yang pengangkutannya menggunakan truk terbuka, atau mutu galon yang kerap dicuci dan disikat berulang.
Plastik polikarbonat, yang produksinya mengandalkan bahan kimia BPA, telah lama dianggap sebagai darling dunia industri. Namun seiring perkembangan riset dan sains mutakhir, otoritas keamanan pangan di berbagai negara mengkhawatirkan residu BPA pada kemasan polikarbonat dan efeknya pada kesehatan manusia.
Di Perancis dan Kanada, misalnya. Pemerintah di kedua negara melarang peredaran semua kemasan pangan yang mengandung BPA, setelah sebelumnya sebatas melarang penggunaannya pada kemasan botol bayi. Di Indonesia, BPOM mengharuskan produsen pangan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat menaati ambang batas migrasi BPA yang ditetapkan sebesar 0,6 mg per kg.
BPOM mengecek kepatuhan industri atas aturan yang sifatnya self-regulatory tersebut dengan menggelar audit secara rutin. Hasil pantauan BPOM per Februari 2022 menyebut level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan baik pada sarana produksi maupun distribusi.
Hal itu sebagai peringatan pertama dari BPOM setelah dalam rentang 6 tahun sebelumnya lembaga menyatakan level migrasi BPA pada galon guna ulang masih di bawah ambang batas berbahaya. Berkaitan dengan itu, BPOM telah merancang sebuah kebijakan pelabelan risiko BPA pada galon polikarbonat untuk mengantisipasi apa yang digambarkan oleh pejabat lembaga sebagai perseoalan kesehatan publik yang mungkin muncul di masa datang.
Rancangan aturan tersebut telah memasuki fase pengesahan. Beleid tersebut mewajibkan produsen galon air minum yang menggunakan galon polikarbonat harus mencantumkan label Berpotensi Mengandung BPA dalam kurun tiga tahun sejak peraturan disahkan. Sementara produsen yang menggunakan kemasan selain polikarbonat diperbolehkan mencantumkan label Bebas BPA.
Rencana pelabelan itu bertujuan melindungi industri air kemasan dari tanggung jawab (liability) di masa datang sekaligus memberikan perlindungan kesehatan bagi konsumen. Hasan berharap pemerintah menyegerakan pengesahan rancangan peraturan pelabelan BPA agar konsumen terbantu dalam memilih produk yang aman.
"Harapannya pemerintah juga menerbitkan pedoman pengangkutan dan penjualan air galon untuk memastikan produk tetap terjaga mutunya, aman dan layak dikonsumsi saat sampai ke tangan konsumen," kata dia.
Berdasarkan hasil riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Maret 2022 membeberkan keteledoran industri dalam distribusi dan penjualan air galon di Jakarta Raya. YLKI mendapati mayoritas pengangkutan air galon menggunakan kendaraan terbuka.
Observasi juga menunjukkan galon kerap dipajang serampangan, termasuk diletakkan di tempat yang kotor, terpapar sinar matahari dan benda tajam atau yang berbau menyebut. Teorinya, perlakuan galon yang tak semestinya itu bisa memperbesar risiko peluluhan BPA.
Tak heran apabila industri leluasa mendistribusikan galon dengan truk terbuka tidak ada kejelasan usia pakai dan masih banyak lagi persoalan yang terkait dengan ketiadaan acuan resmi. "Sebenarnya ironis karena industri air kemasan yang perputaran bisnisnya triliun rupiah belum punya acuan terkait distribusi dan penjualan air kemasan," kata dia.
Sebab itu penggunaan kandungan tersebut harus diwaspadai secara utuh dan dibatasi melalui aturan yang tegas. "Publik harus diberikan ruang untuk memahami risiko BPA secara utuh," ujar Koordinator riset dan teknologi FMCG Insights Muhammad Hasan, di Jakarta, Selasa (5/4/2022).
Baca Juga
Menurut dia Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara terbuka menekankan perlunya mengantisipasi dampak peredaran kemasan makanan galon polikarbonat yang mengandung BPA pada kesehatan masyarakat di masa mendatang. Namun ada sejumlah pihak masih menganggap kandungan zat yang membahayakan konsumen tersebut sebagai hal biasa dan rancu.
Salah satunya terkait soal diskon efek paparan sinar matahari pada galon guna ulang oleh sejumlah akademisi. Hal itu dikhawatirkan menutup celah bagi publik memahami risiko BPA secara utuh. "Jauh lebih bijak jika akademisi menggelar riset membantu BPOM," katanya.
Dia mencontohkan minimnya riset terkait level peluluhan BPA pada galon guna ulang yang usianya sudah di atas 5 tahun namun masih beredar di pasar, atau keamanan galon yang pengangkutannya menggunakan truk terbuka, atau mutu galon yang kerap dicuci dan disikat berulang.
Plastik polikarbonat, yang produksinya mengandalkan bahan kimia BPA, telah lama dianggap sebagai darling dunia industri. Namun seiring perkembangan riset dan sains mutakhir, otoritas keamanan pangan di berbagai negara mengkhawatirkan residu BPA pada kemasan polikarbonat dan efeknya pada kesehatan manusia.
Di Perancis dan Kanada, misalnya. Pemerintah di kedua negara melarang peredaran semua kemasan pangan yang mengandung BPA, setelah sebelumnya sebatas melarang penggunaannya pada kemasan botol bayi. Di Indonesia, BPOM mengharuskan produsen pangan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat menaati ambang batas migrasi BPA yang ditetapkan sebesar 0,6 mg per kg.
BPOM mengecek kepatuhan industri atas aturan yang sifatnya self-regulatory tersebut dengan menggelar audit secara rutin. Hasil pantauan BPOM per Februari 2022 menyebut level migrasi BPA pada galon guna ulang yang beredar luas di masyarakat menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan baik pada sarana produksi maupun distribusi.
Hal itu sebagai peringatan pertama dari BPOM setelah dalam rentang 6 tahun sebelumnya lembaga menyatakan level migrasi BPA pada galon guna ulang masih di bawah ambang batas berbahaya. Berkaitan dengan itu, BPOM telah merancang sebuah kebijakan pelabelan risiko BPA pada galon polikarbonat untuk mengantisipasi apa yang digambarkan oleh pejabat lembaga sebagai perseoalan kesehatan publik yang mungkin muncul di masa datang.
Rancangan aturan tersebut telah memasuki fase pengesahan. Beleid tersebut mewajibkan produsen galon air minum yang menggunakan galon polikarbonat harus mencantumkan label Berpotensi Mengandung BPA dalam kurun tiga tahun sejak peraturan disahkan. Sementara produsen yang menggunakan kemasan selain polikarbonat diperbolehkan mencantumkan label Bebas BPA.
Rencana pelabelan itu bertujuan melindungi industri air kemasan dari tanggung jawab (liability) di masa datang sekaligus memberikan perlindungan kesehatan bagi konsumen. Hasan berharap pemerintah menyegerakan pengesahan rancangan peraturan pelabelan BPA agar konsumen terbantu dalam memilih produk yang aman.
"Harapannya pemerintah juga menerbitkan pedoman pengangkutan dan penjualan air galon untuk memastikan produk tetap terjaga mutunya, aman dan layak dikonsumsi saat sampai ke tangan konsumen," kata dia.
Berdasarkan hasil riset Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada Maret 2022 membeberkan keteledoran industri dalam distribusi dan penjualan air galon di Jakarta Raya. YLKI mendapati mayoritas pengangkutan air galon menggunakan kendaraan terbuka.
Observasi juga menunjukkan galon kerap dipajang serampangan, termasuk diletakkan di tempat yang kotor, terpapar sinar matahari dan benda tajam atau yang berbau menyebut. Teorinya, perlakuan galon yang tak semestinya itu bisa memperbesar risiko peluluhan BPA.
Tak heran apabila industri leluasa mendistribusikan galon dengan truk terbuka tidak ada kejelasan usia pakai dan masih banyak lagi persoalan yang terkait dengan ketiadaan acuan resmi. "Sebenarnya ironis karena industri air kemasan yang perputaran bisnisnya triliun rupiah belum punya acuan terkait distribusi dan penjualan air kemasan," kata dia.
(nng)