Kebijakan Jokowi Bikin Pasar Minyak Nabati Dunia Kalang Kabut
loading...
A
A
A
MUMBAI - Konsumen minyak nabati global tak punya pilihan selain membayar mahal setelah Indonesia secara mengejutkan melarang ekspor minyak sawit. Kebijakan yang diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan lalu itu memaksa pembeli yang sudah kekurangan pasokan akibat cuaca buruk dan perang Rusia-Ukraina kalang kabut untuk mencari alternatif.
Pelarangan ekspor minyak sawit oleh Indonesai sebagai produsen terbesar dunia diyakini akan mendongkrak harga semua minyak nabati utama, termasuk minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak lobak. Hal ini akan memberikan tekanan ekstra pada konsumen yang sensitif terhadap harga di Asia dan Afrika yang belakangan ini sudah terdampak harga bahan bakar dan makanan yang lebih tinggi.
"Keputusan Indonesia tidak hanya memengaruhi ketersediaan minyak sawit, tetapi juga minyak nabati di seluruh dunia," ungkap Ketua Konsultan Komoditas LMC International James Fry seperti dilansir Reuters, Senin (25/4/2022).
Minyak kelapa sawit - digunakan dalam segala hal mulai dari kue dan lemak untuk menggoreng hingga kosmetik dan produk pembersih - menyumbang hampir 60% dari pengiriman minyak nabati global, dan Indonesia sebagai produsen utama menyumbang sekitar sepertiga dari semua ekspor minyak nabati.
Presiden Jokowi mengumumkan larangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng pada 22 April, hingga pemberitahuan lebih lanjut. Kebijakan itu merupakan upaya untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
"Tapi ini terjadi ketika tonase ekspor semua minyak utama lainnya berada di bawah tekanan: minyak kedelai karena kekeringan di Amerika Selatan; minyak lobak karena tanaman kanola di Kanada; dan minyak bunga matahari karena perang Rusia-Ukraina," kata Fry.
Harga minyak nabati telah meningkat lebih dari 50% dalam enam bulan terakhir karena faktor dari kekurangan tenaga kerja di Malaysia hingga kekeringan di Argentina dan Kanada - masing-masing pengekspor minyak kedelai dan minyak canola terbesar - membatasi pasokan. Pembeli sempat berharap pada panen bunga matahari dari eksportir utama dunia, Ukraina, akan mengurangi keketatan. Akan tetapi, pasokan dari Kiev berhenti karena operasi militer khusus Rusia di negara itu.
"Hal ini telah mendorong importir untuk mengandalkan minyak sawit untuk dapat menutup kesenjangan pasokan, sampai larangan mengejutkan Indonesia memberikan kejutan ganda kepada pembeli," kata Presiden badan perdagangan Solvent Extractors Association of India (SEA) Atul Chaturvedi.
Importir seperti India, Bangladesh dan Pakistan, kata Chaturvedi, dipastikan akan mencoba meningkatkan pembelian minyak sawit dari Malaysia. Namun, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia itu dinilai tidak dapat mengisi gap yang tercipta akibat larangan ekspor Indonesia. Indonesia biasanya memasok hampir setengah dari total impor minyak sawit India, sementara Pakistan dan Bangladesh mengimpor hampir 80% minyak sawit mereka dari Indonesia.
"Tidak ada yang bisa mengkompensasi hilangnya minyak sawit Indonesia. Setiap negara akan menderita," kata Rasheed JanMohd, ketua Pakistan Edible Oil Refiners Association (PEORA).
Pada bulan Februari, harga minyak nabati melonjak ke rekor tertinggi karena pasokan minyak bunga matahari terganggu dari wilayah Laut Hitam. Di India, sebagai importir minyak nabati terbesar di dunia, harga minyak sawit naik hampir 5% selama akhir pekan karena harga industri kekurangan dalam beberapa bulan mendatang. Harga juga naik di Pakistan dan Bangladesh.
Pelarangan ekspor minyak sawit oleh Indonesai sebagai produsen terbesar dunia diyakini akan mendongkrak harga semua minyak nabati utama, termasuk minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak lobak. Hal ini akan memberikan tekanan ekstra pada konsumen yang sensitif terhadap harga di Asia dan Afrika yang belakangan ini sudah terdampak harga bahan bakar dan makanan yang lebih tinggi.
"Keputusan Indonesia tidak hanya memengaruhi ketersediaan minyak sawit, tetapi juga minyak nabati di seluruh dunia," ungkap Ketua Konsultan Komoditas LMC International James Fry seperti dilansir Reuters, Senin (25/4/2022).
Minyak kelapa sawit - digunakan dalam segala hal mulai dari kue dan lemak untuk menggoreng hingga kosmetik dan produk pembersih - menyumbang hampir 60% dari pengiriman minyak nabati global, dan Indonesia sebagai produsen utama menyumbang sekitar sepertiga dari semua ekspor minyak nabati.
Presiden Jokowi mengumumkan larangan ekspor minyak sawit dan minyak goreng pada 22 April, hingga pemberitahuan lebih lanjut. Kebijakan itu merupakan upaya untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri.
"Tapi ini terjadi ketika tonase ekspor semua minyak utama lainnya berada di bawah tekanan: minyak kedelai karena kekeringan di Amerika Selatan; minyak lobak karena tanaman kanola di Kanada; dan minyak bunga matahari karena perang Rusia-Ukraina," kata Fry.
Harga minyak nabati telah meningkat lebih dari 50% dalam enam bulan terakhir karena faktor dari kekurangan tenaga kerja di Malaysia hingga kekeringan di Argentina dan Kanada - masing-masing pengekspor minyak kedelai dan minyak canola terbesar - membatasi pasokan. Pembeli sempat berharap pada panen bunga matahari dari eksportir utama dunia, Ukraina, akan mengurangi keketatan. Akan tetapi, pasokan dari Kiev berhenti karena operasi militer khusus Rusia di negara itu.
"Hal ini telah mendorong importir untuk mengandalkan minyak sawit untuk dapat menutup kesenjangan pasokan, sampai larangan mengejutkan Indonesia memberikan kejutan ganda kepada pembeli," kata Presiden badan perdagangan Solvent Extractors Association of India (SEA) Atul Chaturvedi.
Importir seperti India, Bangladesh dan Pakistan, kata Chaturvedi, dipastikan akan mencoba meningkatkan pembelian minyak sawit dari Malaysia. Namun, produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia itu dinilai tidak dapat mengisi gap yang tercipta akibat larangan ekspor Indonesia. Indonesia biasanya memasok hampir setengah dari total impor minyak sawit India, sementara Pakistan dan Bangladesh mengimpor hampir 80% minyak sawit mereka dari Indonesia.
"Tidak ada yang bisa mengkompensasi hilangnya minyak sawit Indonesia. Setiap negara akan menderita," kata Rasheed JanMohd, ketua Pakistan Edible Oil Refiners Association (PEORA).
Pada bulan Februari, harga minyak nabati melonjak ke rekor tertinggi karena pasokan minyak bunga matahari terganggu dari wilayah Laut Hitam. Di India, sebagai importir minyak nabati terbesar di dunia, harga minyak sawit naik hampir 5% selama akhir pekan karena harga industri kekurangan dalam beberapa bulan mendatang. Harga juga naik di Pakistan dan Bangladesh.
(fai)