Jaga Stabilitas Ekonomi, Penambahan Subsidi BBM Dinilai Tepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) untuk menjaga agar harga bahan bakar minyak (BBM ) subsidi dan penugasan tidak naik di tengah tingginya harga minyak dunia dinilai sebagai pilihan tepat.
Diketahui, Pemerintah dan Pertamina hingga saat ini kompak tidak menaikkan harga solar subsidi, tetap Rp5.150 per liter dan BBM penugasan Pertalite pada harga Rp7.650 per liter. Padahal, harga keekonomian dua jenis BBM itu masing-masing adalah Rp12.119 dan Rp12.665 per liter.
Untuk menahan harga, pemerintah menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 sebesar Rp71,8 triliun. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penambahan subsidi adalah imbas dari disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi yang terlampau jauh.
"Dengan kondisi ini pemerintah harus all out menjaga subsidi energi. Dana masih tersedia asal pemerintah mau fokus ke stabilisasi harga energi sekaligus membantu meringankan cashflow Pertamina," ujar Bhima, dalam keterangannya, Rabu (25/5/2022).
Dengan mengambil sikap untuk menambah subsidi daripada menaikkan harga BBM, pemerintah berupaya untuk menjaga daya beli masyarakat.
Sementara, Pertamina sebagai badan usaha pelaksana subsidi dan penugasan, juga dinilai telah menjalankan tugas dengan baik. Hal itu dibuktikan dengan terlaksananya pengadaan dan penyaluran BBM subsidi dan penugasan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah 3 T (terdepan, terpencil, dan terluar) sesuai kuota yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan tugas penting itu, lanjut Bhima, pemerintah dapat memprioritaskan alokasi pembayaran piutang ke Pertamina yang nilainya sekitar Rp100 triliun. Hal itu penting untuk membantu arus kas BUMN migas tersebut. "Pemanfaatan windfall pendapatan negara dari booming harga komoditas idealnya sebagian juga masuk ke subsidi energi," ujar Bhima.
Terpisah, Guru Besar Bidang Manajemen dari President University Jony Oktavian Haryanto mengatakan bahwa dampak perang Rusia-Ukraina mendorong banyak negara di dunia menggelontorkan dana dalam jumlah besar kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi. Hal itu dinilai wajar untuk menggerakkan ekonomi dan menekan inflasi.
Pasalnya, kata dia, seperti ditakutkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, apabila inflasi ini tidak terkontrol maka bisa memicu krisis berkelanjutan.
Diketahui, Pemerintah dan Pertamina hingga saat ini kompak tidak menaikkan harga solar subsidi, tetap Rp5.150 per liter dan BBM penugasan Pertalite pada harga Rp7.650 per liter. Padahal, harga keekonomian dua jenis BBM itu masing-masing adalah Rp12.119 dan Rp12.665 per liter.
Untuk menahan harga, pemerintah menambah subsidi BBM dalam APBN 2022 sebesar Rp71,8 triliun. Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penambahan subsidi adalah imbas dari disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi yang terlampau jauh.
"Dengan kondisi ini pemerintah harus all out menjaga subsidi energi. Dana masih tersedia asal pemerintah mau fokus ke stabilisasi harga energi sekaligus membantu meringankan cashflow Pertamina," ujar Bhima, dalam keterangannya, Rabu (25/5/2022).
Dengan mengambil sikap untuk menambah subsidi daripada menaikkan harga BBM, pemerintah berupaya untuk menjaga daya beli masyarakat.
Sementara, Pertamina sebagai badan usaha pelaksana subsidi dan penugasan, juga dinilai telah menjalankan tugas dengan baik. Hal itu dibuktikan dengan terlaksananya pengadaan dan penyaluran BBM subsidi dan penugasan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah 3 T (terdepan, terpencil, dan terluar) sesuai kuota yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan tugas penting itu, lanjut Bhima, pemerintah dapat memprioritaskan alokasi pembayaran piutang ke Pertamina yang nilainya sekitar Rp100 triliun. Hal itu penting untuk membantu arus kas BUMN migas tersebut. "Pemanfaatan windfall pendapatan negara dari booming harga komoditas idealnya sebagian juga masuk ke subsidi energi," ujar Bhima.
Terpisah, Guru Besar Bidang Manajemen dari President University Jony Oktavian Haryanto mengatakan bahwa dampak perang Rusia-Ukraina mendorong banyak negara di dunia menggelontorkan dana dalam jumlah besar kepada rakyatnya dalam bentuk subsidi. Hal itu dinilai wajar untuk menggerakkan ekonomi dan menekan inflasi.
Pasalnya, kata dia, seperti ditakutkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, apabila inflasi ini tidak terkontrol maka bisa memicu krisis berkelanjutan.