Meski Dibelit Sejumlah Masalah, Ekonom Indef: Indonesia Tak Bisa Ditarik-tarik Akan Seperti Sri Lanka

Senin, 18 Juli 2022 - 14:58 WIB
loading...
Meski Dibelit Sejumlah...
Krisis yang terjadi di Sri Lanka diyakini tak akan dialami oleh Indonesia. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Baru-baru ini publik dikejutkan dengan kasus antre makanan di Amerika Serikat. Tampaknya krisis pandemi Covid-19 terus berlanjut, bahkan setelah pandemi berakhir menjadi endemi. Sebelumnya, dua negara mengalami krisis ekonomi dan politik, yakni Pakistan dan Sri Lanka. Pertanyaannya, apakah ada ancaman krisis ekonomi di Indonesia dalam satu atau dua tahun ke depan?



"Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tetapi bisa dikaji dari indikasi-indikasinya. Setidaknya ada beberapa indikasi masalah yang terus berkelindan dalam ekonomi Indonesia," kata ekonom Indef Didik J. Rachbini, dalam diskusi Forum Guru Besar Insan Cita dengan topik “Ketahanan Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Krisis”, dikutip Senin (18/7/2022).

Didik kemudian menjabarkannya. Pertama, krisis Covid-19 dan dampaknya yang ternyata tidak berhenti, beda dengan krisis ekonomi. Menurut Didik, krisis Indonesia multi-dimensi, paling tidak ada dua dimensi, yakni kesehatan dan ekonomi.

"Berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Maka seharusnya pemerintah tidak boleh abai terhadap dampak dari krisis covid ini," jelas Didik.

Masalah kedua, yaitu kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi 5% seperti sekarang masih menjadi tanda tanya karena pengaruh krisis global yang sudah memakan korban. Apalagi berharap ekonomi bisa tumbuh hingga 7%.

Dengan pertumbuhan ekonomi hampir satu dekade seperti saat ini, maka harapan Indonesia untuk melakukan lompatan menjadi negara industri menjadi sulit dan bahkan tidak akan terwujud. Bonus demografi menjadi tersia-siakan, padahal hanya datang sekali dalam sejarah-bangsa-bangsa.

"Indonesia sangat sulit melompat dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi melewati batar USD10 ribu per kapita. Sudah hampir 10 tahun ini pendatapan per kapita kita hanya USD4 ribu," katanya.

Masalah selanjutnya, krisis harga pangan dan energi. Di Amerika saat ini inflasi mulai tinggi dan sudah mulai ada antrean makanan. Makanan cukup, tetapi harganya tidak lagi terjangkau. Mengapa situasi itu tidak atau belum terjadi di Indonesia?

Didik sendiri menjawabnya, pemerintah melakukan subsidi besar-besaran dan mencegat semua kemungkinan inflasi dengan berbagai langkah, menggunakan APBN dan berutang. Kebijakan itu berpotensi menimbulkan risiko di masa mendatang, bahkan akan menjadi tanggungan presiden yang akan datang. Subsidi dari pemerintah saat ini, lanjut Didik, sudah mencapai lebih dari Rp500 triliun.



Masalah keempat, ada utang dan defisit dalam setahun Rp1.000 triliun. Utang satu tahun sebesar Rp1,500 triliun, yang artinya lebih besar dari pendapatan pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Semua itu terjadi karena tidak ada check and balance.

Sekarang, pemda-pemda, bupati dan seterusnya dianggap berfoya-foya hampir dua kali lebih besar dari masa sebelum krisis. Itu bisa dihitung dari angka di kementerian: berapa kali perjalanan dinas dalam dan luar negeri, yang ternyata lebih banyak.

"Ketika krisis, orang seharusnya menghemat, tidak ke mana-mana dulu. Bisa terjadi ada pemotongan anggaran. Potongan itulah yang dimasukkan dalam anggaran PEN, tetapi sekarang yang terjadi dipotong pun tidak, tetapi anggaran PEN sudah Rp700 triliun," papar Didik.

Masalah kelima, adanya kesenjangan sosial, namun demikian Indonesia tidak akan mengalami nasib seperti Sri Lanka dan Pakistan? Dari segi ekonomi pasti berbeda. PDB Indonesia USD1 triliun, Sri Lanka hanya ber-PDB USD80 miliar. Jadi Indonesia is large economy, Sri Lanka small economy. Pada saat Indonesia krisis, Sri Lanka tidak alami krisis.

"Tidak ada hubungan langsung antara Sri Lanka dan Indonesia," tegas Didik.

Masih lanjut Didik, Indonesia dengan Sri Lanka jelas berbeda. Tetapi potensi resesi krisis dan resesi Indonesia memang ada. Dengan catatan jika stabilitas politik lebih berat. Jika harga-harga terus naik, maka rakyat akan protes keras. Jadi, Srilanka dan Indonesia tidak sama, dan tidak bisa ditarik-tarik Indonesia akan mengalami krisis seperti Sri Lanka.

"Hanya, melihat krisis global sekarang dan Indonesia punya masalah berat, maka potensi krisis pasti ada. Potensi akan semakin besar jika stabilitas politik tidak memadai. Segala kebijakan hendaknya tetap care terhadap krisis," kata Didik.

Masalah terakhir adalah kepemimpinan ekonomi yang absen, yang bisa dilihat dan dari akibat buruknya kebijakan yang dihasilkan. Tidak ada lagi menteri yang punya kepemimpinan teknokratis, semua menjadi politisi rabun dekat, sehingga memperlemah kebijakan yang dihasilkan dalam kepemimpinan masalah ekonomi.



"Dulu masih bisa berharap kepada menteri keuangan, tetapi tidak lagi sekarang. Oleh karenanya kita ragu dalam masalah ekonomi akan bisa diselesaikan sehingga kita lepas dari krisis atau resesi di masa mendatang," pungkas Didik.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2256 seconds (0.1#10.140)