Bukan Setop Sementara, Pungutan Sawit Perlu Dievaluasi

Selasa, 09 Agustus 2022 - 15:30 WIB
loading...
Bukan Setop Sementara, Pungutan Sawit Perlu Dievaluasi
Ilustrasi. FOTO/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Penurunan harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani rata-rata masih berada di kisaran Rp 1.200 per kilogram (kg) menjadi perhatian sejumlah kalangan. Harga TBS jauh lebih rendah dibandingkan di Malaysia yang saat ini setara Rp 4.500.

Pemerintah tidak tinggal diam merespons kondisi tersebut. Lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pemerintah menyetop sementara pungutan ekspor sawit dengan harapan menggairahkan kembali ekspor sawit nasional sehingga pabrik bisa melepas cadangan yang selama ini hanya tersimpat di tangki penyimpanan.



Dengan demikian, harapannya ada ruang lebih longgar di tangki penyimpanan pabrik CPO sehingga bisa menyerap sawit petani dengan harga yang lebih baik. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menargetkan harga TBS sawit petani bisa naik setidaknya ke angka Rp 2.400 di akhir Agustus, atau di periode relaksasi pungutan sawit ini berakhir.

Sayang, masalah industri sawit sepertinya belum akan tuntas terurai kala pungutan ekspor sawit ini kembali diterapkan awal bulan depan. Karena disinyalir, akar masalahnya justru ada di pengelolaan dan sawit itu sendiri.

Penliti Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda berpandangan pengelolaan dana sawit saat ini tidak sejalan dengan tujuan utama.

"Pemanfaat dana dari kelapa sawit saat ini bisa dibilang jauh dari kata bagus bahkan cenderung timpang," tandasnya, saat berbincang dengan sejumlah media, baru-baru ini.

Terdapat sejumlah aspek yang menjadi sorotan dan mendasari penilaiannya. Selain tidak tepat sasaran, Nailul memandang, pemanfaatan dana sawit hanya menguntungkan segelintir pihak.

"Sama sekali tidak tepat sasaran. Bahkan ada perusahaan yang untung dari subsidi biodiesel kelapa sawit," jelasnya.

Menurut dia pemerintah hanya fokus pengembangan biodiesel dengan porsi yang cukup besar. Di sisi lain, aspek lain seperti pemberdayaan petani dinilai masih minim.

"Pemanfaatan saat ini lebih banyak digunakan untuk subsidi program biodiesel. Padahal, ada sasaran lain seperti peningkatan SDM petani, peremajaan sawit, dan lainnya, yang porsinya sangat kecil sekali. Belum lagi untuk porsi lainnya. Jadi alokasi saat ini masih timpang," tegas dia.

Daripada untuk mensubsidi biodiesel, lanjut dia, dana sawit ini sebenarnya punya peran yang lebih penting sebagai penyeimbang kala harga minyak goreng di tengah masyarakat melambung tinggi dan harga TBS sawit petani terjun bebas.

"Justru petani lah yang berhak mendapatkan keuntungan paling besar dari dana sawit bukan pengusaha. Salah satu contohnya juga bisa dijadikan tools untuk stabilisasi harga minyak goreng atau TBS bagi petani. Jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat luas dibandingkan diberikan ke pengusaha kelapa sawit," tutur dia.

Berangkat dari sana, ia menyarankan agar pemerintah mulai melakukan evaluasi terhadap penerapan pungutan ekspor produk sawit.

"Maka sudah seharusnya pemerintah mengevaluasi BPDKS secara menyeluruh. Terutaman setelah kejadian fenomenal kemarin dimana kelangkaan minyak goreng terjadi dan harga minyak goreng melambung tinggi. Evaluasi bukan hanya di perdagangan, tapi dari pemanfaatan dana pungutan dari sawit," tegas dia.

Berdasarkan laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) pungutan sawit telah berdampak pada penurunan TBS di tingkat petani.
Melalui pungutan USD50 per ton, harga TBS (tandan buah segar) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150 per kilogram (kg).

Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai USD 200 per kg. Dampak pungutan ke petani justru paling minim menerima manfaat.

Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) melaporkan sejak 2015 telah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021. Sedangkan total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16% dari total dana sawit.

Namun demikian anggaran industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8%. Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14% dari total dana sawit.

Hal senada diutarakan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel, namun praktiknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. "Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," tandas dia.



Tak berhenti di situ, terkait pelaksanaan penggunaan dana pungutan sawit dianggap rentan penyelewengan. Pasalnya pemanfaatan dana sawit untuk pengembangan biodiesel tidak dibuka luas melainkan melalui skema penunjukan langsung.

Beleid tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 29 Tahun 2015 Pasal 6 ayat (9) yang disebutkan Penetapan Badan Usaha BBN Jenis Biodiesel dan Alokasi Besaran Volume BBN Jenis Biodiesel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar Badan Usaha BBN Tertentu Melakukan Penunjukan Langsung.

(nng)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1721 seconds (0.1#10.140)