Ekonomi Indonesia Diperkirakan Kembali Pulih Tahun 2022
loading...
A
A
A
Berdasar kategori barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal sepanjang Januari hingga Desember 2019, makin kentara ketergantungan Indonesia terhadap China. Dari ketiga kategori barang yang diimpor oleh negara ini, sebanyak 37% barang konsumsi, 25% bahan baku penolong, dan 44% barang modal jelas diimpor dari China.
Dalam hal investasi langsung, selama rentang lima tahun terakhir (2016—2019), Indonesia menerima aliran investasi China sebesar USD13,2 miliar atau peringkat ketiga terbesar bagi Indonesia. Selain di bidang investasi, China juga memiliki peran besar dalam sektor pariwisata di Indonesia. Dalam kurun 8 tahun, turis China meningkat jumlahnya sebanyak 309%, yaitu dari 511 ribu pada tahun 2010 menjadi 2,14 juta pada tahun 2017.
Stok Bahan Baku
Peneliti Senior Visi, Sita Wardhani menuturkan, dari sisi produksi, rata-rata produsen dalam negeri memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pada bulan-bulan tersebut belum juga ada pasokan dari China atau hanya terpenuhi sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terhambat.
“Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif di bulan April,” kata Sita.
Ada sedikit harapan dari rilis Biro Statistik Nasional (NBS) China soal Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Manager Index/PMI) resmi China yang naik menjadi 52 pada Maret. Pada bulan Februari, ketika pandemi meninggi, PMI China hanya 35,7, rekor terendah yang pernah dialami China. Untuk informasi, angka di atas 50 menunjukkan, industri mengalami ekspansi. Sebaliknya, angka di bawah 50 menggambarkan kondisi kontraksi.
Masih menurut NBS, industri China memperoleh 370,66 miliar yuan atau USD52,43 miliar pada Maret 2020. Nilai tersebut turun 34,9% dibandingkan tahun sebelumnya, dan melanjutkan tren di Januari-Februari yang tercatat turun 38,3%. Setidaknya, menurut NBS ada delapan dari 41 sektor industri yang disurvei mencatat kenaikan laba pada Maret. Kondisi ini lebih baik dibandingkan Januari-Februari yang mencatat hanya empat sektor mengalami kenaikan laba.
Tapi, hal ini diyakini belum menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi. Pasalnya, di tengah biaya produksi yang makin tinggi karena terganggunya jalur distribusi, permintaan pasar juga belum sembuh sepenuhnya. Apalagi, ada penurunan permintaan impor dari negara lain, termasuk Indonesia.
“Namun jika masa pemulihan yang dialami China lebih lama lagi, asumsi China baru berproduksi kembali di bulan Juni, artinya proses impor baru bisa dilakukan di bulan Juli. Dengan begitu, dampak resesi yang dihadapi Indonesia akan lebih dalam lagi,” cetusnya.
Selain dialami industri mamin, lanjutnya, gangguan lebih dalam juga bakal dialami industri manufaktur lain. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini akan membawa inflasi yang lebih tinggi karena industri manufaktur tidak mampu memenuhi permintaan dan memicu terjadinya shortage.
Dalam hal investasi langsung, selama rentang lima tahun terakhir (2016—2019), Indonesia menerima aliran investasi China sebesar USD13,2 miliar atau peringkat ketiga terbesar bagi Indonesia. Selain di bidang investasi, China juga memiliki peran besar dalam sektor pariwisata di Indonesia. Dalam kurun 8 tahun, turis China meningkat jumlahnya sebanyak 309%, yaitu dari 511 ribu pada tahun 2010 menjadi 2,14 juta pada tahun 2017.
Stok Bahan Baku
Peneliti Senior Visi, Sita Wardhani menuturkan, dari sisi produksi, rata-rata produsen dalam negeri memiliki stok bahan baku hingga Maret dan April 2020. Jika pada bulan-bulan tersebut belum juga ada pasokan dari China atau hanya terpenuhi sedikit, proses produksi pabrik di Indonesia dapat terhambat.
“Dampak minimum pada perekonomian adalah dengan asumsi perekonomian China bangkit dan kembali aktif di bulan April,” kata Sita.
Ada sedikit harapan dari rilis Biro Statistik Nasional (NBS) China soal Indeks Pembelian Manajer (Purchasing Manager Index/PMI) resmi China yang naik menjadi 52 pada Maret. Pada bulan Februari, ketika pandemi meninggi, PMI China hanya 35,7, rekor terendah yang pernah dialami China. Untuk informasi, angka di atas 50 menunjukkan, industri mengalami ekspansi. Sebaliknya, angka di bawah 50 menggambarkan kondisi kontraksi.
Masih menurut NBS, industri China memperoleh 370,66 miliar yuan atau USD52,43 miliar pada Maret 2020. Nilai tersebut turun 34,9% dibandingkan tahun sebelumnya, dan melanjutkan tren di Januari-Februari yang tercatat turun 38,3%. Setidaknya, menurut NBS ada delapan dari 41 sektor industri yang disurvei mencatat kenaikan laba pada Maret. Kondisi ini lebih baik dibandingkan Januari-Februari yang mencatat hanya empat sektor mengalami kenaikan laba.
Tapi, hal ini diyakini belum menandakan stabilisasi dalam kegiatan ekonomi. Pasalnya, di tengah biaya produksi yang makin tinggi karena terganggunya jalur distribusi, permintaan pasar juga belum sembuh sepenuhnya. Apalagi, ada penurunan permintaan impor dari negara lain, termasuk Indonesia.
“Namun jika masa pemulihan yang dialami China lebih lama lagi, asumsi China baru berproduksi kembali di bulan Juni, artinya proses impor baru bisa dilakukan di bulan Juli. Dengan begitu, dampak resesi yang dihadapi Indonesia akan lebih dalam lagi,” cetusnya.
Selain dialami industri mamin, lanjutnya, gangguan lebih dalam juga bakal dialami industri manufaktur lain. Dampak dari kelangkaan bahan baku ini akan membawa inflasi yang lebih tinggi karena industri manufaktur tidak mampu memenuhi permintaan dan memicu terjadinya shortage.