Heboh Iklan Susu Formula, Pelaku Industri Dianggap Sudah Taat Aturan

Rabu, 09 November 2022 - 20:58 WIB
loading...
Heboh Iklan Susu Formula,...
Isu iklan susu formula kembali menghangat. Foto/Ilustrasi/SiccaDania
A A A
JAKARTA - Isu susu formula kembali menghangat setelah Badan Perlindungan Konsumen Nasional ( BPKN ) berencana menyurati Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyetop iklannya di TV nasional. BPKN menyampaikan rencana itu dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR pekan lalu.

Baca juga: Amerika Serikat Krisis Susu Formula Bayi, Belarusia Tawarkan Bantuan

Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah menilai, pernyataan BPKN berlebihan karena faktanya produsen susu formula sudah tunduk dan patuh terhadap aturan, termasuk tidak mengiklankan produk. Menurut Piter, publik harus membedakan antara susu formula yang memang diatur secara terperinci dan detail, dengan produk makanan/nutrisi pendamping ASI (MPASI).

"Jangan segala sesuatunya dipukul rata karena bisa menciptakan mispersepsi,” kata Piter, Rabu (9/11/2022).

Regulasi susu formula sudah diatur dalam PP No. 33 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 39 Tahun 2013. Dua beleid ini bahkan menjelaskan secara terperinci tentang cara dan konten atau materi iklan yang disampaikan.

“Semua sudah ada checklistnya. Koridor hukumnya sudah jelas. Jadi tidak mungkin pelaku industri bertindak di luar koridor yang sudah ditetapkan. Kita mesti jeli dan cermat agar tidak membingungkan konsumen dan juga pelaku usaha,” tambahnya.

Seperti diketahui, produsen susu formula juga banyak yang memproduksi makanan untuk anak-anak dan balita. Ada yang berupa susu pertumbuhan, makanan, dan produk nutrisi lainnya. Sedangkan susu formula yang dilarang dikampanyekan atau diiklankan secara terbuka di ruang publik adalah produk untuk bayi usia 0 hingga 12 bulan.

“Keutamaan ASI (air susu ibu) eksklusif untuk bayi dalam 6 bulan pertama kehidupan, kita sudah sepakat. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Namun, kita jangan bablas untuk melarang di luar ketentuan. Pelaku bisnis berhak memasarkan produknya sepanjang sesuai dengan regulasi yang berlaku, konsumen juga berhak mendapatkan informasi yang memadai dan industri media juga berhak mendapatkan peluang pemasukan dari iklan,” katanya.

Ketimbang melakukan pembatasan iklan yang sudah jelas aturannya dan sudah dipatuhi, Piter menyarankan para pihak untuk fokus menjalankan dua strategi secara simultan. Pertama, menggencarkan kampanye ASI eksklusif dengan cara yang lebih simpatik. Kedua, mendorong pemerintah untuk memberlakukan cuti melahirkan selama 6 bulan, bukan hanya 3 bulan.

“Kita masih sering mendengar kampanye ‘susu sapi hanya cocok untuk anak sapi, bayimu bukan anak sapi kan?’. Bagaimana perasaan ibu bayi yang memang produksi ASI-nya bermasalah ketika mendengar edukasi semacam itu. Padahal semua ibu pasti ingin memberikan ASI eksklusif, tapi tidak semua ibu punya keberuntungan yang sama,” katanya.

Piter juga menyarankan untuk menggelar survei bagi para ibu bayi yang sudah kembali bekerja setelah masa cuti melahirkannya selesai. Fakta yang selalu dilupakan adalah produktivitas ASI cenderung menurun ketika sang ibu kembali ke kantor dan bergulat kembali dengan tekanan pekerjaan.



"Kampanye ASI eksklusif itu penting tapi kita jangan berhenti sampai di sini. Kita juga perlu mendorong regulasi yang memungkinkan para ibu pekerja untuk dapat memberikan ASI eksklusif 6 bulan misalnya dengan memperpanjang masa cuti melahirkan,” katanya.

(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2232 seconds (0.1#10.140)