Menutup Petral, Minus Mafia

Rabu, 27 Mei 2015 - 19:25 WIB
Menutup Petral, Minus Mafia
Menutup Petral, Minus Mafia
A A A
JAKARTA - Hari bersejarah itu jatuh pada 13 Mei 2015. Pada hari tersebut Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengumumkan pembubaran PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral). “Mulai hari ini Pertamina menghentikan kegiatan Petral Grup,” ujarnya.

Pengumuman dilakukan di Kantor Kementerian BUMN Lantai 21. Dwi didampingi Komisaris Utama Pertamina Tanri Abeng, Menteri BUMN, Rini Soemarno, dan Menteri ESDM Sudirman Said.

Kendati demikian, Petral tidak serta merta langsung menurunkan bendera bisnisnya di Hong Kong maupun Singapura. Bekas Dirut PT Semen Indonesia Tbk ini menjelaskan pembubaran Petral Group akan didahului dengan uji tuntas keuangan dan legal, serta audit investigasi. Sebelum itu terjadi, Pemerintah telah menunjuk Integrated Supply Chain (ISC) untuk mengambil alih tugas-tugas Pertamina Energy Services Pte Ltd (PES). “Itu sudah dilakukan sejak awal tahun ini,” terangnya.

Tekad pemerintah membubarkan Petral dan PES itu kian bulat setelah ISC dapat membuktikan adanya efisiensi hingga USD22 juta sejak unit bisnis Pertamina tersebut melakukan pengadaan minyak sendiri. ISC membuktikan peran Petral sudah tidak lagi signifikan dalam proses bisnis di Pertamina.

Rencana pembubaran Petral bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Sudah lama perusahaan Indonesia yang lebih memilih bermarkas di negara asing itu diisukan sebagai tempat bermain para mafia minyak. Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun Menteri BUMN, Dahlan Iskan, sudah mewacanakan hal serupa. Sayang, Dahlan tak melanjutkan wacananya itu. Dia memilih mencari aman.

Selanjutnya, saat rezim berganti ke Joko Widodo, wacana membubarkan Petral kembali menggelinding. Pada pertengahan November tahun lalu, di kompleks Istana Kepresidenan, Sudirman Said menggelar konferensi pers. Dia mengumumkan, atas arahan Presiden Joko Widodo, dirinya akan menutup Petral.

Pemerintah kemudian membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi (RTKM) yang diketuai Faisal Basri. Tim ini yang melakukan review secara menyeluruh terhadap Petral. Namun, enam bulan melakukan tugasnya, tim ini justru tidak merekomendasikan pembubaran Petral. Hanya kewenangannya untuk mengadakan minyak mentah dan BBM dialihkan kepada ISC.

Mafia Sebenarnya

Nyatanya, pemerintah berpendapat sebaliknya. Bahkan, likuidasi Petral Group tidak hanya berimbas pada PES, tapi juga anak usaha Petral lain, yakni Zambesi Investments Limited (ZIL) yang bermarkas di Hong Kong. ZIL adalah anak usaha Petral yang bergerak di bidang investasi dan pengembangan bisnis nonmigas.

Pertamina naga-naganya juga sudah pada satu tekad, membubarkan Petral sampai ke akar-akarnya. “Hebatnya, para direksi dan komisaris kompak,” ujar sumber SINDO Weekly di Pertamina, Selasa pekan ini.

Hanya saja, kompak bukan berarti bulat. Ada sedikit beda pendapat di antara petinggi perusahaan migas tersebut. Bahkan di antara mereka ada yang mempertanyakan keabsahan pembubaran Petral yang menggunakan langkah politik. “Cara-cara demikian akan melanggar UU PT dan UU BUMN. Pembubaran harusnya dilakukan dalam RUPS Pertamina, kemudian RUPS Petral,” kata sumber tadi.

Ada juga yang mengingatkan agar Pertamina memperhitungkan efek-efek lanjutan yang bakal dihadapi jika membubarkan Petral. Soalnya, Pertamina mesti menyiapkan USD150 juta per hari untuk pengadaan bahan bakar minyak. Di sisi lain, tiga bank BUMN hanya sanggup menyediakan USD20 juta per hari.

Walhasil, Pertamina harus mencari kekurangan likuiditas dolar AS-nya melalui perbankan lain dengan bunga cukup tinggi. “Beda halnya jika melakukan trading melalui PES, Pertamina tidak harus menyediakan USD150 juta per hari karena mereka punya fasilitas penggunaan LC dari bank-bank di Singapura. Jika ini dipaksakan, bisa membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi,” terangnya.

Selain itu, hal yang perlu diantisipasi adalah kemungkinan meningkatnya biaya operasional distribusi impor. Ini bisa terjadi karena hilangnya peran optimasi operasional antara jadwal loading, jadwal kapal, dan kebutuhan di Indonesia yang selama ini dilakukan PES. Selama ini PES memprioritaskan jaminan security of supply atas produk kilang dan minyak mentah mengingat keterbatasan sarfas yang dimiliki Pertamina (kapasitas tanki, jetty, dsb).

Terakhir, kemungkinan terjadi peningkatan biaya operasional suplai dan distribusi BBM nasional apabila terjadi kegagalan lifting impor. Harap maklum, jika terjadi penurunan stok dibutuhkan tambahan biaya yang cukup besar untuk menormalkan kembali. Soalnya, kapasitas sarfas nasional lebih kecil dibanding dengan demand. Asal tahu saja, keterlambatan impor mogas --3 call/hari-- akan menurunkan stok nasional 1 hari dari kapasitas tanki avg 16 hari dengan ketahanan distribusi tidak merata.

Sejatinya, jauh sebelum wacana Petral Group dibubarkan, ISC sudah beroperasi sejak 2008. Saat itu, ISC melakukan perencanaan dan penentuan. PES hanya bertugas mencari minyak di luar. Persetujuan beli atau tidak, ada pada ISC. Jadi PES hanya bertindak sebagai kepanjangan tangan dari ISC.

Tapi setelah kewenangan berada di ISC, banyak tangan yang bermain. Posisi di Jakarta ternyata lebih mudah diobok-obok, terutama oleh politisi yang perusahaan lokalnya ternyata bermitra dengan trader di luar negeri. Akhirnya, ISC dibekukan dan perannya dibalikkan ke PES. Jadi, wajar saja jika ada yang berpendapat, kalau peran ISC kembali dimainkan dengan menjadikan PES sebagai kambing hitam, bisa-bisa ini justru mengulangi kesalahan yang dulu pernah dibuat.

Tadinya sempat berkembang opsi tentang pembubaran ini. Opsi pertama, Petral Group dibubarkan seluruhnya untuk membuat perusahaan baru di Singapura. Ini sekadar pengganti PES. Opsi kedua, Petral Hong Kong dibubarkan tapi PES tetap dipertahankan. “Awalnya kan yang dipilih opsi kedua. Tapi tekanan publik yang terlalu termakan stigma Petral sarang mafia akhirnya membuat opsi pertama yang diambil,” ujar sumber tadi.

Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, mengakui PES saat ini sedang dalam performa terbaiknya. "Dibandingkan beberapa tahun lalu, PES yang saat ini menjadi kepanjangan tangan Pertamina untuk melakukan trading di luar negeri kinerjanya meningkat hingga 200%," ujarnya kepada SINDO Weekly.

Wianda tidak sedang pro Petral. Di laci SINDO Weekly juga ada catatan prestasi Petral yang lumayan gemilang. Berdasarkan Singapore 1000 & SME 1000 edisi 2014, Petral berhasil menduduki peringkat tujuh pada kategori “Top 1000 Companies Ranked by Sales/Turnover”.

Pada 2013, Petral menduduki urutan ke-6 dan pada 2012 menduduki urutan ke-8, padahal pada 2011 masih berada di urutan 15. Lebih jauh lagi, Petral juga mendapat insentif pajak korporat 5% karena berhasil mempertahankan status GTP (Global Trade Program).

Persoalannya banyak pihak yang curiga karena PES lebih memilih Singapura sebagai tempat mengais hoki. Namun, salah seorang petinggi Pertamina justru mengingatkan harusnya itu tak menjadi soal. Kini setidaknya ada 25 National Oil Company seperti Pertamina yang mempunyai semacam PES di Singapura. Negeri mini tersebut adalah salah satu trading hub migas terbesar di dunia selain London, Geneva, Houston dan Dubai. Hal ini terlihat dari lengkapnya fasilitas keuangan, pelabuhan, refineries dan tank storages.

Karena menjadi salah satu trading hub terbesar di dunia, Singapura memberikan akses terbaik kepada para trader untuk mendapatkan informasi harga paling kompetitif. Fasilitas online “Platts Windows” yang dimilikinya berperan dalam penetapan harga produk kilang yang diperdagangkan. “Kita bisa menjalin network dengan perusahaan energi dunia. Jadi kita bisa mencari harga yang paling kompetitif,” ujarnya.

Wajar pula jika mantan anggota Tim Tata Kelola Migas, Fahmi Radhi, juga termasuk yang tak setuju pembubaran Petral. "Pandangan ini lebih bersifat antisipatif. Kami khawatir, pasca pembubaran Petral ada penggantinya yang justru dimainkan oleh mafia migas. Intinya, pemburu rente itu bermain di impor," katanya, kepada SINDO Weekly.

Sayang, dia tak membeberkan secara mendetail perihal dunia mafia migas tadi. "Modus mereka dengan mendorong kewenangan impor dan jual beli kembali ke tangan Pertamina atau perusahaan yang lain. Artinya, problem terbesarnya sebenarnya pada ketergantungan impor kita," ujarnya.

Pastinya, posisi Indonesia sebagai negara importir minyak terbesar di dunia menjadikan proses pengadaan bahan bakar ini selalu mengundang sorotan. Bisnis basah dengan uang super jumbo itu tentunya harus mendapat perhatian esktra, entah itu diadakan oleh PES maupun ISC.

Alhasil, rencana penutupan Petral Group dan menggantikannya dengan ISC tidak akan ada manfaatnya apabila tata niaga, revitalisasi kilang dan upaya menemukan sumber minyak baru tidak pernah dilakukan.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8867 seconds (0.1#10.140)