Perusahaan Minyak Butuh Rp7.000 Triliun untuk Bertahan

Kamis, 27 Agustus 2015 - 11:52 WIB
Perusahaan Minyak Butuh Rp7.000 Triliun untuk Bertahan
Perusahaan Minyak Butuh Rp7.000 Triliun untuk Bertahan
A A A
LONDON - Saat harga minyak mendekam di level terendah dalam enam tahun terakhir, perusahaan minyak perlu mendapatkan dana sebesar setengah triliun dolar Amerika Serikat (USD) atau setara Rp7.000 triliun untuk membayar utang demi mempertahankan usahanya.

Data yang dihimpun Bloomberg menunjukkan, obligasi perusahaan minyak dan gas, dengan imbal hasil 10% atau lebih telah meningkat tiga kali lipat dalam satu tahun terakhir. Sebanyak 168 perusahaan di Amerika Utara, Eropa dan Asia sedang mengalami kesulitan. Rasio utang bersih terhadap laba menjadi yang tertinggi dalam dua dekade terakhir.

Seorang mitra untuk akuisisi dan merger di Norton Rose Fulbright LLP Kimberley Wood mengatakan, jika harga minyak tetap di sekitar USD40/barel, goncangan bisa makin mendalam.

"Tampilan dan bentuk industri minyak kemungkinan akan berubah selama lima sampai 10 tahun ke depan. Jika harga minyak tetap pada tingkat ini, jumlah kebangkrutan dan kesulitan pasti akan meningkat," kata dia seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (27/8/2015).

BMI Research menyebut, pembayaran utang akan meningkat selama sisa dekade ini, dengan utang yang akan jatuh tempo pada tahun ini mencapai USD72 triliun, sekitar USD85 miliar pada 2016 dan USD129 miliar dua tahun lagi. Sementara sekitar USD550 miliar, baik dalam bentuk obligasi dan pinjaman akan jatuh tempo dalam lima tahun ke depan.

Pengebor AS menghitung, sekitar 20% utangnya akan jatuh tempo pada tahun ini, sedangkan perusahaan China di peringkat kedua dengan utang jatuh tempo 12% dan produsen Inggris sekitar 9%.

Di AS, jumlah obligasi dengan imbal hasil lebih dari 10% telah meningkat lebih dari empat kali lipat menjadi 80 selama tahun lalu. Sebanyak 26 perusahaan minyak Eropa masuk dalam kategori tersebut, termasuk Gulf Keystone Petroleum Ltd dan Enquest Plc.

Chief Financial Officer Gulf Keystone Sami Zouari mengatakan, perusahaan dapat memenuhi semua kewajibannya kepada kontraktor dan kreditor setelah pihak berwenang di Kurdistan, di mana perusahaan beroperasi, berkomitmen untuk melakukan pembayaran bulanan mulai September.

Sementara kemerosotan harga minyak mentah mengurangi nilai cadangan minyak dan mengurangi kekuatan pinjaman, bahkan mendorong untuk menemukan lahan baru.

Adapun, jumlah laba sudah melewati level terendah sejak krisis keuangan tahun 2008. Margin laba 108 anggota MSCI World Energy Sector Index, yang meliputi Exxon Mobil Corp dan Chevron Corp menjadi yang terendah setidaknya sejak tahun 1995.

"Ada beberapa pinjaman yang tidak akan mampu untuk dilunasi dan memperpanjang jatuh tempo, mereka mungkin perlu meningkatkan ekuitas tambahan. Tapi pertanyaannya adalah, apakah mereka dapat melakukannya dengan kondisi utang saat ini?" kata analis kredit di Clarksons Platou Securities AS Eirik Rohmesmo, seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (27/8/2015).

Goldman Sachs Group Inc menulis dalam sebuah laporannya bahwa beberapa produsen AS memanfaatkan aset berbiaya murah untuk mengumpulkan dana awal tahun demi bisa membayar utang. Hal ini membantu perusahaan menopang modal mereka dan mengurangi biaya utang.

Perusahaan-perusahaan sektor energi telah menjadi pemain terburuk dalam satu tahun terakhir di antara 10 kelompok industri dalam MSCI World Index.

Peringkat pinjaman yang diturunkan menempatkan beban tambahan pada kemampuan perusahaan minyak untuk mengumpulkan dana murah. Standard & Poor memangkas peringkat Eni SpA, perusahaan minyak terbesar Italia pada bulan April, sementara Moody Investor Service menurunkan peringkat utang Tullow Oil Plc pada bulan Maret.

(Baca: Harga Minyak Dunia Naik karena Stok Turun)
(rna)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3667 seconds (0.1#10.140)