DPR: Jangan Buru-buru Perpanjang Kontrak Freeport

Rabu, 14 Oktober 2015 - 12:52 WIB
DPR: Jangan Buru-buru Perpanjang Kontrak Freeport
DPR: Jangan Buru-buru Perpanjang Kontrak Freeport
A A A
JEPARA - Komisi VII DPR RI meminta pemerintah tidak terburu-buru putuskan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Pemerintah harus melakukan kajian mendalam dan serius seiring munculnya wacana perpanjangan kontrak karya PT Freeport di Indonesia.

Urusan terkait usaha pertambangan perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu tidak boleh bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Anggota Komisi VII DPR Daryatmo Mardiyanto mengatakan, pihaknya tidak ingin terjebak dalam arus kepentingan dua menteri terkait wacana perpanjangan Kontrak Karya PT Freeport di Indonesia.

Pihaknya mendesak pemerintah melakukan kajian mendalam dan serius terkait persoalan itu. Dan tak kalah pentingnya apapun hasil akhir kajian itu harus bermuara pada terakomodirnya kepentingan nasional dan masyarakat Indonesia, khususnya Papua.

"Poin pokoknya itu. Kepentingan bangsa harus didahulukan," kata Daryatmo, saat berada di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Rabu (14/10/2015).

Seperti diketahui, dua pembantu Presiden yakni Menteri ESDM Sudirman Said silang pendapat dengan Menko Kemaritiman Rizal Ramli terkait kontrak karya PT Freeport. (Baca: Rizal Ramli Heran Sudirman Said Ngotot Bela Freeport).

Sudirman mengisyaratkan pemerintah akan memperpanjang usaha PT Freeport yang akan berakhir pada 2021. Smeentara, Rizal Ramli dengan berbagai argumen justru berpendapat sebaliknya.

Menurut Daryatmo, urusan terkait usaha tambang PT Freeport harus mengacu pada UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta PP No 77 tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas PP No 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam PP No 77/2014 dijelaskan jika pengajuan perpanjangan kontrak tambang minerba paling cepat dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Selain itu, UU tentang Minerba juga mengamanatkan setelah regulasi tersebut berjalan maka tidak ada lagi perpanjangan kontrak karya.

Seluruh kontrak karya yang berakhir harus diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). "Jadi acuannya sudah jelas. Tinggal kita ikuti saja," papar politisi PDIP asal Dapil II Jawa Tengah ini.

Selain itu, kata Daryatmo, pemerintah juga harus terus mengontrol pelaksanaan regulasi terkait minerba. Dia mencontohkan soal "kewajiban" pembangunan smelter. Upaya ini harus terus dimaksimalkan agar proses hilirisasi tambang ini terus berjalan dan tidak merugikan Indonesia. (Baca: ESDM: Tak Paham Kontrak Freeport, Hentikan Spekulasi!).

"Jangan sampai ada penjualan mentah hasil tambang. Kalau itu terjadi kita terus menerus merugi karena tak ada transfer pengetahuan yang didapat SDM dan pendapatan negara juga kecil," tukas Daryatmo.

PT Freeport mulai beroperasi di Indonesia sejak 1967 dengan lahan garapan sekitar 2 juta hektare. Atau jika dibandingkan 20 kali luas wilayah DKI Jakarta. Saat ini, wilayah garapan Freeport sekitar 150 ribu - 200 ribu hektare.

Menurut Daryatmo, soal luasan lahan garapan tambang ini juga sudah diatur dalam regulasi tentang minerba, yakni luasannya sekitar 25 ribu hektare. "Aturan sudah ada, tinggal kita mau melaksanakan atau tidak. Itu saja," tandasnya.

Baca Juga:

Rizal: Pejabat yang Perpanjang Kontrak Freeport Keblinger

Melunak, Pemerintah Pastikan Kontrak Freeport Diperpanjang
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5136 seconds (0.1#10.140)