Valuasi obligasi korporasi

Rabu, 08 Agustus 2012 - 10:58 WIB
Valuasi obligasi korporasi
Valuasi obligasi korporasi
A A A
OBLIGASI adalah salah satu instrumen investasi utama reksa dana, terutama reksa dana jenis pendapatan tetap yang memiliki dana kelolaan sekitar Rp30,145 triliun per akhir Juni 2012.

Berbeda dengan saham yang transaksinya relatif likuid dan terjadi secara realtime di bursa saham,obligasi memiliki ciri-ciri perdagangan melalui mekanisme yang dikenal dengan istilah over the counter (OTC) di mana transaksi baru dilaporkan ke bursa setelah pembeli dan penjual menemukan harga yang disepakati. Akibat mekanisme ini, harga suatu obligasi menjadi tergantung pada adanya pihak yang bertransaksi.

Jadi, bila tidak ada transaksi, maka harga obligasi harus diasumsikan atau pada umumnya dikenal sebagai Harga Referensi. Hal ini tentu menjadi penting bagi Manajer Investasi dalam menilai portofolio obligasi yang dimiliki mengingat harga yang digunakan akan langsung berkorelasi dengan Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaan (NAB/UP) dari Reksa Dana yang dikelola sekaligus merupakan harga jual dan beli bagi investor. Sebelum tahun 2004, Manajer Investasi dapat menggunakan harganya sendiri untuk menghitung NAB-nya.

Hal ini cenderung menyebabkan “penggelembungan” harga obligasi yang tidak sesuai dengan harga di pasar dan menjadi salah satu faktor pemicu crash industri Reksa Dana Pendapatan Tetap di tahun 2005. Belajar dari pengalaman ini, Bapepam-LK menerbitkan peraturan nomor IV.C.2 mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana di tahun 2004 yang diperbarui di tahun 2008.Dalam peraturan ini diatur bahwa Efek yang perdagangannya tidak melalui bursa (over the counter), seperti obligasi menggunakan Harga Referensi.

Untuk Obligasi Negara atau Surat Utang Negara (SUN), Harga Referensi disediakan oleh Perhimpunan Pedagang Surat Utang Negara (HIMDASUN). Sementara untuk obligasi korporasi menggunakan Harga Referensi. Metodologi penetapan Harga Referensi untuk obligasi korporasi yang ada saat ini dilakukan melalui sistem dari KSEI (Kustodian Sentral Efek Indonesia) di mana semua Manajer Investasi diminta untuk memberikan kuotasi harga beli dan jual untuk semua obligasi yang ada dalam porto-folionya.

Harga ini lalu diproses oleh KSEI sehingga menghasilkan Harga Referensi pada hari itu. Saat ini satu-satunya masukan bagi Harga Referensi adalah kuotasi harga dari Manajer Investasi. Metodologi ini memiliki beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, soal kuotasi harga dari Manajer Investasi yang diharapkan dapat memberikan kuotasi harga yang menurutnya wajar untuk suatu obligasi.

Artinya, Harga Referensi yang terbentuk adalah asumsi dari para Manajer Investasi yang dapat menimbulkan potensi benturan kepentingan karena keberadaan Manajer Investasi sebagai pihak yang terlibat langsung di industri Reksa Dana bisa membuatnya bias dalam penentuan Harga Referensi. Penentuan dengan cara yang dilakukan saat ini telah menyebabkan Harga Referensi cenderung bergerak lamban dibandingkan dengan pergerakan harga pasar atau terjadi lag yang cukup besar.

Artinya, ketika terjadi kenaikan harga, Harga Referensi cenderung menjadi terlihat murah dan ketika terjadi penurunan harga, Harga Referensi cenderung terlihat mahal. Mengapa demikian? Pertama, praktik kuotasi harga dari Manajer Investasi yang harus sesuai Harga Referensi dengan deviasi hingga 2 persen (tergantung peringkat dan jatuh tempo masing-masing obligasi). Padahal dalam mekanisme yang ada saat ini,koreksi terhadap Harga Referensi (bila harga pasar berubah) hanya dimungkinkan melalui pembentukan kuotasi harga,sedangkan kuotasi harga ini juga diharuskan mengikuti Harga Referensi sebelumnya.

Kuotasi Harga Referensi yang ada saat ini juga dapat menimbulkan keuntungan atau kerugian yang tidak jelas. Contohnya, Manajer Investasi membeli obligasi pada harga 96 persen.Tetapi karena Harga Referensi pada hari tersebut menyatakan bahwa obligasi tersebut harus dinilai pada harga 101 persen, maka terjadi keuntungan yang belum terealisasi. Padahal keuntungan tersebut sama sekali tidak memiliki dasar yang jelas karena kenyataannya jika dijual kembali ke pasar di hari yang sama, harga obligasi tersebut tetap sebesar 96 persen.

Untuk mengakomodasi kelemahan dari peraturan sebelumnya, Bapepam-LK pada tahun 2010 mengeluarkan draf perubahan peraturan IV.C.2 di mana dalam menilai efek yang diperdagangkan secara Over The Counter akan menggunakan Harga Referensi yang dikeluarkan oleh Lembaga Penilaian Harga Efek (LPHE) yang memperoleh izin usaha dari Bapepam-LK.Dalam hal LPHE tidak memberikan Harga Referensi, m-aka Manajer Investasi dapat menetapkan nilai pasar wajar obligasi berdasarkan metode yang ada atau menggunakan metode yang ditetapkan di Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dan Prospektus.

Saat ini LPHE yang resmi mendapat izin dari Bapepam- LK adalah PT. Penilai Harga Efek Indonesia atau Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA). Dengan adanya lembaga independen dalam menilai Harga Referensi tentu menjadi hal yang positif.Namun, harap diingat bahwa perubahan draf ini masih mendapatkan resistensi dari kalangan industri Reksa Dana sendiri. Pertimbangannya adalah penyesuaian Harga Referensi dari sistem KSEI ke Harga Referensi IBPA dapat mengakibatkan perubahan nilai NAB secara signifikan. Jika tanpa dilakukan sosialisasi yang intensif, hal ini tentunya dapat mengejutkan investor.

Selain itu, dalam menggunakan Harga Referensi,Manajer Investasi juga tetap membutuhkan deviasi yang umumnya ditentukan berdasarkan standar deviasi historis harga obligasi atau berdasarkan se-lisih terhadap kurva imbal hasil (yield curve) obligasi tersebut terhadap SUN di mana penetapan metodologi penilaian harga wajar serta penentuan deviasi ini harus jelas dan transparan untuk menghindari penyalahgunaan valuasi oleh Manajer Investasi. Penetapan nilai pasar wajar obligasi menjadi salah satu fondasi bagi industri Reksa Dana.

Oleh karena itu, regulasi yang akan berjalan diharapkan dapat mengakomodasikan kepentingan investor mengenai transparansi. Meskipun demikian, diperlukan sosialisasi ke seluruh pihak yang berkepentingan di Industri Reksa Dana, baik dari sisi pengelola maupun pemodal. Dalam pelaksanaannya pun sebaiknya diberikan waktu bagi Manajer Investasi untuk perlahan-lahan menyesuaikan Harga Referensi lama menjadi Harga Referensi yang baru.●

WAWAN HENDRAYANA
Research Analyst www.infovesta.com
(and)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6369 seconds (0.1#10.140)