Subsidi Energi Global USD5,3 T
A
A
A
WASHINGTON - Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan, subsidi energi global diperkirakan mencapai USD5,3 triliun pada 2015.
Jumlah tersebut melebihi belanja kesehatan pemerintah. Lembaga itu menekankan, data ini menunjukkan salah satu dari berbagai faktor negatif terbesar dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi, sekaligus menambah dampak buruk efisiensi, pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi.
”Proyeksi ini mengejutkan,” ungkap IMF dalam laporan yang dirilisnya, dikutip kantor berita AFP . Laporan itu memperkirakan, subsidi energi tahun ini mencakup 6,5% ekonomi global, yang tampaknya melampaui belanja kesehatan pemerintah di penjuru dunia. IMF merupakan penentang subsidi energi. Lembaga itu mendefinisikan subsidi energi sebagai pembeda antara jumlah uang yang dibayarkan konsumen untuk energi dan nilai sesungguhnya, serta nilai tambah normal atau tingkat pajak penjualan.
Sebagai tambahan pada apa yang diperlukan untuk memproduksi dan mendistribusikan energi, ”nilai sesungguhnya” termasuk dampak lingkungan seperti emisi karbon yang memicu pemanasan global dan dampak kesehatan polusi udara. Menurut IMF, China sejauh ini menjadi negara yang membelanjakan dana terbesar untuk subsidi energi, sebesar USD2,3 triliun per tahun, diikuti oleh Amerika Serikat (AS) sebesar USD699 miliar, dan Rusia USD335 miliar.
Posisi selanjutnya diikuti oleh Uni Eropa, India, dan Jepang. Laporan tersebut menyatakan, total subsidi energi sudah lebih dari dua kali lipat sejak 2011, tahun yang disebut dalam laporan IMF pada 2013. IMF menjelaskan, lebih dari setengah peningkatan itu karena semakin banyak bukti dampak buruk konsumsi energi pada kualitas udara dan kesehatan, seperti kematian dini.
”IMF sejak lama berpendapat, menerapkan harga energi yang tepat dapat membantu pemerintah nasional mencapai tujuan mereka, tidak hanya bagi lingkungan tapi juga pertumbuhan dan keuangan publik,” papar laporan IMF, dikutip kantor berita AFP . IMF merekomendasikan semua negara menaikkan harga energi secara bertahap untuk mencerminkan biaya sesungguhnya. Langkah ini diperkirakan akan memberikan keuntungan fiskal sekitar 3,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
”Keuntungan tambahan dapat memberi pemerintah ruang untuk mengurangi sejumlah pajak, menaikkan belanja publik untuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, serta dana tunai untuk warga miskin,” ungkap laporan IMF.
Syarifudin
Jumlah tersebut melebihi belanja kesehatan pemerintah. Lembaga itu menekankan, data ini menunjukkan salah satu dari berbagai faktor negatif terbesar dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi, sekaligus menambah dampak buruk efisiensi, pertumbuhan dan kesenjangan ekonomi.
”Proyeksi ini mengejutkan,” ungkap IMF dalam laporan yang dirilisnya, dikutip kantor berita AFP . Laporan itu memperkirakan, subsidi energi tahun ini mencakup 6,5% ekonomi global, yang tampaknya melampaui belanja kesehatan pemerintah di penjuru dunia. IMF merupakan penentang subsidi energi. Lembaga itu mendefinisikan subsidi energi sebagai pembeda antara jumlah uang yang dibayarkan konsumen untuk energi dan nilai sesungguhnya, serta nilai tambah normal atau tingkat pajak penjualan.
Sebagai tambahan pada apa yang diperlukan untuk memproduksi dan mendistribusikan energi, ”nilai sesungguhnya” termasuk dampak lingkungan seperti emisi karbon yang memicu pemanasan global dan dampak kesehatan polusi udara. Menurut IMF, China sejauh ini menjadi negara yang membelanjakan dana terbesar untuk subsidi energi, sebesar USD2,3 triliun per tahun, diikuti oleh Amerika Serikat (AS) sebesar USD699 miliar, dan Rusia USD335 miliar.
Posisi selanjutnya diikuti oleh Uni Eropa, India, dan Jepang. Laporan tersebut menyatakan, total subsidi energi sudah lebih dari dua kali lipat sejak 2011, tahun yang disebut dalam laporan IMF pada 2013. IMF menjelaskan, lebih dari setengah peningkatan itu karena semakin banyak bukti dampak buruk konsumsi energi pada kualitas udara dan kesehatan, seperti kematian dini.
”IMF sejak lama berpendapat, menerapkan harga energi yang tepat dapat membantu pemerintah nasional mencapai tujuan mereka, tidak hanya bagi lingkungan tapi juga pertumbuhan dan keuangan publik,” papar laporan IMF, dikutip kantor berita AFP . IMF merekomendasikan semua negara menaikkan harga energi secara bertahap untuk mencerminkan biaya sesungguhnya. Langkah ini diperkirakan akan memberikan keuntungan fiskal sekitar 3,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
”Keuntungan tambahan dapat memberi pemerintah ruang untuk mengurangi sejumlah pajak, menaikkan belanja publik untuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan, serta dana tunai untuk warga miskin,” ungkap laporan IMF.
Syarifudin
(ars)