#PersonalBrandCemerlang dan Reputasi Kelompok

Kamis, 28 Mei 2015 - 11:44 WIB
#PersonalBrandCemerlang...
#PersonalBrandCemerlang dan Reputasi Kelompok
A A A
Membina personal brand secara individu belum tentu bisa membuat seseorang dengan mudah meraih kecemerlangannya.

Reputasi kelompok ternyata juga akan menambahkan atau mengurangi nilai personal brand seseorang. Saat ini berkembang persepsi terhadap kelompok tertentu di masyarakat akibat banyaknya pemberitaan miring. Dosen-dosen di beberapa universitas dikatakan memiliki ijazah palsu.

Apakah saat ini kita perlu meragukan kredibilitas para dosen lainnya? Pimpinan partai berebut kekuasaan. Apakah ini merupakan cermin kualitas pemimpin partai yang lainnya juga? Muncul daftar artis yang katanya mempunyai tawaran ”sampingan”. Apakah semua artis juga punya usaha sampingan yang sama? Beberapa penyanyi dangdut pendatang baru muncul dengan goyangan yang menjurus ke erotis.

Apakah kemudian bisa disimpulkan bahwa hanya itu formula sukses penyanyi dangdut? Persoalan yang menimpa ”kelompok” (artis, dosen, pemimpin partai, penyanyi dangdut) ini akan membawa dampak yang tidak kecil terhadap pembentukan dan pembinaan personal brand seseorang dalam profesi tersebut.

Dalam buku PERSONAL BRANDING yang fokus pada pembahasan personal brand cemerlang saya jelaskan bahwa branding adalah sebuah kegiatan yang dilakukan terus menerus dan dalam perjalanannya harus dilakukan audit (pemeriksaan) terhadap kesehatan brand.

Audit terhadap brand bukan hanya dilakukan pada satu brand individu saja tetapi harus diperluas terhadap audit permasalahan kelompoknya, kategori yang disandangnya. Sebuah personal brandyang cemerlang akan sangat tergantung pada kekuatan kelompoknya. Persepsi negatif terhadap sebuah kelompok bisa menjadi blocking factor yang harus diselesaikannya terlebih dahulu.

Pada saat penyanyi dangdut sedang mendapat tempat di hati masyarakat seperti sepuluh tahun lalu, maka membangun personal brand menjadi lebih mudah. Sebaliknya, di saat persepsi terhadap penyanyi dangdut kemudian diarahkan kepada sesuatu yang terlalu sensasional, maka ini juga akan memberikan dampak terhadap keywords atau kata kunci yang sedang dilekatkan kepada para anggota kelompok.

Menghadapi prahara tertangkapnya artis AA - para artis lainnya seolah berebut panggung di teve untuk klarifikasi bahwa dirinya bukanlah termasuk salah satu dari merekamereka yang mempunyai tawaran sampingan tersebut. Beberapa artis senior bahkan menguji ulang definisi ”artis” tersebut.

Dikatakannya bahwa orang-orang yang terlibat dalam transaksi di luar tawaran utama keartisannya itu belum tentu seorang artis sejati. Bila baru ikut sebuah sinetron atau satu kali masuk TV saja tidak bisa langsung dimasukkan dalam kategori artis. Ia keberatan bahwa profesi ini disederhanakan saja. Baru disebut artis bila sudah ada prestasi yang jelas, itu menurutnya.

Persoalannya, ini bukan diskusi ilmiah tentang definisi artis, tetapi menyangkut masalah persepsi yang telah terlanjur dibentuk di masyarakat. Branding adalah sebuah proses akumulasi persepsi, dan mau atau tidak mau, di dalam persepsi tersebut, bukan hanya terdiri dari personal brand pribadi tetapi juga citra kategorinya. Artis sejati atau bukan, selama dipersepsikan oleh masyarakat sebagai ‘artis’, behaviour-nya itu akan mempengaruhi persepsi kelompoknya.

Membereskan Masalah Kategori

Menyelesaikan masalah kelompok juga bukan tugas satu dua orang tetapi tugas bersama karena luasnya masalah yang dihadapinya. Dua hari yang lalu, saya diundang oleh Fifi Aleyda Yahya untuk menjadi narasumber di program yang diasuhnya yaitu ”Sudut Pandang”. Fifi kali ini mengangkat beberapa sosok penyanyi dangdut yang dikenal dengan goyangannya.

Saya sampaikan bahwa di era hiperkompetisi seperti saat ini di mana jumlah penyanyi dangdut sudah sangat banyak, maka beberapa pendatang baru mulai berpikir super kreatif untuk menembus kerumunan hiruk pikuknya persaingan. Karena salah satu karakteristik dari personal brandyang cemerlang adalah unik, maka jadilah karakteristik ini diterjemahkan secara bebas yaitu harus lain daripada yang lain tanpa melihat secara luas bagaimana image-nya akan dilekatkan secara jangka panjang.

Padahal personal brand selalu menganjurkan asosiasi positif, bukan negatif. Dangdut memang identik dengan goyangan, tetapi seberapa besar hal ini akan mendominasi total tawaran sebagai entertainer? Dalam wawancara Sudut Pandang, Ikke Nurjanah juga merupakan salah satu narasumber.

Ikke Nurjanah adalah penyanyi dangdut yang terkenal dan sukses dalam berkarya selama 27 tahun dengan mengandalkan kualitas suara, kreativitas lagu dan bukan dari sisi ‘goyangan maut’. Ikke menjelaskan bahwa salah satu tugas dari Persatuan Artis Melayu Indonesia (PAMI) termasuk membereskan permasalahan kelompok. Saya sependapat.

Para pendatang baru justru harus diarahkan membantu membersihkan persoalan kategori, bukan menambahkan. Pendatang baru yang berhasil keluar dari ”jebakan” permasalahan kategori adalah Ayu Ting-Ting. Ia memadukan lagu dangdut dengan gaya Korean Pop dikemas dengan caranya berdandan dan menyanyikan lagu-lagunya.

Keberhasilan Ayu Ting-Ting seharusnya memberikan tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pendatang baru lainnya, bahwa formula sukses dalam dunia dangdut bukan selalu harus dari elemen perifer goyang maut. Setiap individu yang sedang bekerja keras membangun personal brand-nya harus selalu alert terhadap permasalahan kelompoknya. Citra personal brand sedikit banyak juga terkena imbas citra kelompoknya.

Sebaiknya para dosen, artis, penyanyi dangdut, bahkan pekerja partai menjalin komunikasi erat di dalam kelompok, sehingga apa pun permasalahan yang dihadapi kelompok akan ringan jika dihadapi bersama. Seperti pepatah mengatakan, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Amalia E Maulana PHD
Brand Consultant & Ethnographer ETNOMARK Consulting www.amaliamaulana.com @etnoamalia
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0761 seconds (0.1#10.140)