Wacana Pembubaran Bulog Pikiran Berbahaya
A
A
A
JAKARTA - Wacana pembubaran Perum Bulog yang berkembang akhir-akhir ini dinilai sangat berbahaya. Karena, Bulog masih sangat dibutuhkan untuk menjaga stabilitas pangan.
"Pemikiran tersebut sangat berbahaya, itu kan seperti semangat IMF dahulu," kata Guru Besar sekaligus pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar dalam rilisnya di Jakarta, Jumat (29/5/2015).
Sebelumnya, wacana pembubaran memang terdengar akhir-akhir ini. Salah satunya, dikemukakan Guru Besar IPB yang lain Dwi Andreas Santosa. Menurutnya, saat ini Perum Bulog sudah tidak mampu menjalankan fungsinya dan sudah saatnya dibubarkan.
"Sah-sah saja beliau (Dwi Andreas) memiliki pendapat itu. Namun saya sangat tidak setuju dengan pemikiran tersebut," ujar Hermanto.
Menurutnya, jika Bulog dibubarkan, maka mekanisme perdagangan beras sepenuhnya berada di tangan pedagang. Hal ini sangat rawan, karena mudah sekali memunculkan penimbunan yang menyebabkan harga meningkat tajam.
Akibatnya, rakyat akan menjerit. Bulog merupakan instrumen untuk menstabilkan harga. Melalui Bulog, harga beras bisa dikendalikan sehingga tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. "Kalau tidak ada Bulog, lantas siapa yang melakukan instrumen untuk menstabilkan harga?" ucapnya.
Di sisi lain, Hermanto menekankan saat ini Bulog kurang berperan optimal, karena tidak diberi keluasaan untuk menjalankan fungsinya. Sebagai contoh, Bulog diamanahkan menyerap sebanyak-banyaknya gabah dan beras dari petani.
"Namun pada sisi berbeda, langkah Bulog tertahan oleh aturan harus membeli sesuai HPP. Persoalan akan timbul, ketika harga beras di tingkat petani jauh melebihi HPP, maka Bulog akan kesulitan bersaing dengan para spekulan," kata dia.
Jadi, lanjut Hermanto, aturan yang tertera pada Inpres harus direvisi. Kementerian Perdagangan harus memberi masukan kepada Presiden untuk melakukan perubahan tersebut.
"Pemikiran tersebut sangat berbahaya, itu kan seperti semangat IMF dahulu," kata Guru Besar sekaligus pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar dalam rilisnya di Jakarta, Jumat (29/5/2015).
Sebelumnya, wacana pembubaran memang terdengar akhir-akhir ini. Salah satunya, dikemukakan Guru Besar IPB yang lain Dwi Andreas Santosa. Menurutnya, saat ini Perum Bulog sudah tidak mampu menjalankan fungsinya dan sudah saatnya dibubarkan.
"Sah-sah saja beliau (Dwi Andreas) memiliki pendapat itu. Namun saya sangat tidak setuju dengan pemikiran tersebut," ujar Hermanto.
Menurutnya, jika Bulog dibubarkan, maka mekanisme perdagangan beras sepenuhnya berada di tangan pedagang. Hal ini sangat rawan, karena mudah sekali memunculkan penimbunan yang menyebabkan harga meningkat tajam.
Akibatnya, rakyat akan menjerit. Bulog merupakan instrumen untuk menstabilkan harga. Melalui Bulog, harga beras bisa dikendalikan sehingga tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. "Kalau tidak ada Bulog, lantas siapa yang melakukan instrumen untuk menstabilkan harga?" ucapnya.
Di sisi lain, Hermanto menekankan saat ini Bulog kurang berperan optimal, karena tidak diberi keluasaan untuk menjalankan fungsinya. Sebagai contoh, Bulog diamanahkan menyerap sebanyak-banyaknya gabah dan beras dari petani.
"Namun pada sisi berbeda, langkah Bulog tertahan oleh aturan harus membeli sesuai HPP. Persoalan akan timbul, ketika harga beras di tingkat petani jauh melebihi HPP, maka Bulog akan kesulitan bersaing dengan para spekulan," kata dia.
Jadi, lanjut Hermanto, aturan yang tertera pada Inpres harus direvisi. Kementerian Perdagangan harus memberi masukan kepada Presiden untuk melakukan perubahan tersebut.
(izz)