Memilih Suku Bunga KPR

Rabu, 03 Juni 2015 - 11:25 WIB
Memilih Suku Bunga KPR
Memilih Suku Bunga KPR
A A A
Kini Bank Indonesia (BI) segera melonggarkan likuiditas perbankan dengan mengubah aturan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) untuk menyuburkan pertumbuhan kredit.

Bagaimana memilih suku bunga KPR yang tepat? Untuk mengejar target pertumbuhan kredit 15%–17%, BI segera mengubah LTV KPR dari 70% menjadi 80%. Apa itu loan to value (LTV)? LTV merupakan rasio antara kredit atau pembiayaan yang diberikan oleh bank nasional dan atau perusahaan pembiayaan (multifinance) terhadap nilai barang (rumah atau kendaraan).

Tiga tahun lalu, tepatnya pada 15 Maret 2012, BI meluncurkan Surat Edaran Nomor 14/10/DPNP mengenai LTV KPR dan uang muka kredit kendaraan bermotor. Waktu itu, aturan LTV KPR sebesar 70% yang berarti uang muka (down payment) 30% dari nilai rumah.

Bagaimana pertumbuhan KPR dan KPA (kredit pemilikan apartemen)? Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia yang terbit Mei 2015 menunjukkan, KPR dan KPA hanya naik 12,51% dari Rp284,78 triliun per Maret 2014, Rp320,41 triliun per Maret 2015. Pertumbuhan yang lelet. Terutama bila dibandingkan dengan pertumbuhan KPR dan KPA per Maret 2014 yang mencapai 23,07%. Itulah sebabnya BI buru-buru menerbitkan aturan LTV KPR yang segera efektif Juni 2015.

Suku Bunga KPR

Lagi-lagi, bagaimana memilih suku bunga KPR? Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan? Pertama, suku bunga paling ringkih. Boleh dikatakan suku bunga KPR adalah paling ringkih terhadap kenaikan suku bunga acuan. Selama ini, ketika BI Rate merangkak naik yang kini 7,5% bisa menimbulkan efek domino. Kok bisa? Begini kisahnya.

Kenaikan BI Rate akan menyulut kenaikan biaya dana (cost of fund) perbankan nasional sehingga bank nasional terpaksa menaikkan suku bunga simpanan (deposito). Alhasil, bank nasional saling berlomba untuk menawarkan suku bunga tinggi, bahkan kalau perlu di atas suku bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) alias LPS Rate.

Kondisi ini mendorong terjadinya perang suku bunga deposito yang tidak sehat sehingga suku bunga deposito sempat bertengger di level dua digit. Sampai akhirnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membatasi batas atas suku bunga deposito efektif 1 Oktober 2014. Aturan tersebut menetapkan batas atas suku bunga deposito maksimal 200 basis poin (bps) dan 225 bps di atas BI Rate atau 9,5% dan 9,75% masing-masing untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) IV dan III untuk deposito di atas Rp2 miliar.

Padahal, LPS hanya menjamin simpanan hingga Rp2 miliar. Aturan itu tidak berlaku bagi BUKU I dan II. Selain itu, OJK juga menetapkan suku bunga itu sudah termasuk pemberian insentif berupa hadiah langsung uang tunai (cashback) dan layanan khusus kepada deposan kelas ikan paus.

Aturan itu bertujuan menipiskan suku bunga deposito yang lantas menyetrum suku bunga kredit. Ketika suku bunga simpanan naik, suku bunga kredit otomatis akan terkerek naik. Nah, repotnya suku bunga KPR paling cepat terimbas kenaikan suku bunga kredit sehingga debitur KPR menjadi korban pertama. Celakanya lagi, manakala BI Rate mulai menguncup, suku bunga KPR enggan untuk turun kembali.

Namun, Anda sebagai debitur KPR jangan hanya duduk manis. Sejatinya, Anda memiliki hak penuh untuk menuntut bank penerbit KPR untuk menurunkan suku bunga KPR. Itu sejauh Anda sebelumnya telah memilih suku bunga KPR mengambang atau mengikuti suku bunga pasar (floating). Kedua, mencermati suku bunga negara jiran.

Sebagai perbandingan, marilah kita lirik suku bunga KPR negara tetangga terdekat, Malaysia. Di sana, beberapa bank sudah lama menawarkan suku bunga KPR dengan berpedoman pada suku bunga dasar kredit (SBDK) yang disebut sebagai base lending rate (BLR) dan atau suku bunga acuan Malaysia.

Sebagai contoh konkret, lirik saja suku bunga KPR yang ditawarkan Bank Internasional Indonesia (BII) yang sebagian besar sahamnya dikuasai Malayan Banking Berhad (Maybank) bank terbesar di Malaysia.

Selain menawarkan suku bunga KPR tetap (fixed) selama satu hingga 10 tahun, BII juga menyediakan suku bunga KPR yang berpedoman pada suku bunga acuan, yakni BI Rate + 3,25% untuk rumah pertama (primary) dan BI Rate + 3,5% untuk rumah kedua (secondary).

Dengan bahasa lebih bening, ketika kelak BI Rate menipis dari 7,5% menjadi 7% misalnya, maka debitur akan menikmati penipisan BI Rate dengan hanya membayar suku bunga KPR sebesar 7% (BI Rate) + 3,25% (primary) = 10,25% atau 7% (BI Rate) + 3,5% (secondary) = 10,50%. Semakin rendah BI Rate, debitur akan semakin kecil membayar angsuran KPR.

Sebaliknya, semakin tinggi BI Rate, debitur akan semakin besar membayar angsuran KPR. Ketiga, memilih suku bunga KPR. Nah, kini masalahnya bagaimana memilih suku bunga KPR yang kompetitif. Paling tidak ada dua opsi yang dapat dipertimbangkan dalam memilih suku bunga KPR tetap (fixed) sekian tahun plus mengambang (floating) atau hanya floating seperti BI Rate + sekian persen.

Dengan terbitnya perubahan aturan LTV tersebut, itu mengandung arti likuiditas akan semakin kendur atau longgar. Jadi, beberapa bank nasional papan atas mulai menipiskan suku bunga dasar kredit. Artinya, boleh jadi suku bunga KPR akan makin kecil. Opsi yang dapat dipilih adalah suku bunga KPR tetap untuk beberapa tahun yang kini mencapai sekitar 11,5%–12% plus mengambang.

Namun, jangan lupa bahwa BI Rate berpotensi terkena dampak kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (The Fed Rate) dari saat ini 0,25% yang diprediksi akan naik menjadi minimal 1%–2% pada kuartal III/2015. Tatkala BI Rate naik menjadi 8%, maka suku bunga KPR mengambang akan menjadi 8% + 3,25% = 11,25%.

Itu masih lebih rendah daripada suku bunga KPR tetap beberapa tahun plus mengambang. Berbekal aneka pertimbangan demikian, Anda dapat memilih suku bunga KPR dengan tepat. Ini penting dan mendesak untuk memperlancar arus kas anggaran rumah tangga Anda.

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan, Mantan Assistant Vice President BNI & Alumnus MM-UGM
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5260 seconds (0.1#10.140)