Kebijakan Antisipatif Pemerintah Ditunggu
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta menyiapkan kebijakan antisipatif untuk mengatasi kecenderungan peningkatan inflasi selama bulan puasa hingga Lebaran. Setidaknya pemerintah diharapkan telah mengamankan pasokan bahan pangan yang harganya kerap bergejolak.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini mengatakan, kebijakan antisipatif yang terukur berupa peningkatan pasokan bahan pangan semestinya dapat mengurangi ekspektasi inflasi masyarakat di bulan-bulan tersebut.
Pemerintah juga dinilai perlu melakukan pengawasan dan memublikasikan secara reguler datadata pangan seperti jumlah produksi, konsumsi, perkiraan stok, dan harga, baik aktual maupun proyeksi secara akurat dan terpadu. Dengan begitu, informasi asimetris yang kerap menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan pasokan dan harga dapat ditekan. ”Pemerintah melalui Bulog semestinya mampu mengambil peran ini dalam rangka menjaga stabilitas harga, baik di tingkat petani maupun konsumen,” kata Hendri di Jakarta, kemarin.
Dia melanjutkan, pengawasan terhadap stok pangan strategis dapat dilakukan secara bersama antara pemerintah dan swasta. Salah satunya dengan membuat regulasi yang mengatur penyimpanan/pergudangan bahan pangan yang dilakukan oleh swasta, termasuk mengatur kewajiban untuk registrasi, pemberian informasi mengenai kuantitas stok, serta kewenangan pemerintah untuk membeli stok tersebut jika diperlukan untuk mengendalikan harga.
”Hal ini sudah dipraktikkan oleh negara-negara tetangga seperti Singapura. Di negara tersebut, untuk mengontrol harga beras, diterapkan rice stockpile scheme (RSS) yang mewajibkan pemasok beras untuk memiliki lisensi pengadaan beras dan pengawasan cadangan beras di gudang mereka secara berkala,” paparnya. Harga pangan di Singapura juga dapat dikendalikan dengan diterbitkannya Price Control and Anti-Profiteering Act 2011, yang mengatur tentang mekanisme pengendalian harga dan larangan pengambilan keuntungan yang berlebih, termasuk praktik-praktik spekulasi yang dilakukan oleh pedagang.
Pemerintah Malaysia melalui Majelis Harga Negara juga melakukan monitoring harga barang dan menghitung cadangan pangan nasional. ”Oleh sebab itu, tidak heran jika inflasi pangan di Malaysia relatif lebih terkendali dan stabil dibandingkan Indonesia,” ujarnya. Sementara, Direktur Riset Core Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, aturan ini masih belum cukup untuk dijadikan acuan mengontrol harga pangan, khususnya yang bersifat musiman, seperti puasa dan Idul Fitri.
”Undangundang ini juga tidak mengatur praktik-praktik spekulasi atau penimbunan barang dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan,” cetusnya. Karena itu, kata dia, peran Bulog dari sisi kelembagaan maupun anggaran harus dikembalikan. Bulog idealnya tidak diarahkan untuk menjadi lembaga yang berorientasi keuntungan, agar kebijakan intervensi pasar baik di tingkat produsen maupun konsumen dapat berjalan optimal
Terpisah, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meminta masyarakat memaklumi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi saat ini. Menurut dia, kenaikan harga juga dinikmati oleh kalangan petani. ”Kalau naiknya 1–2%, biarkan petani seluruh Indonesia menikmati, itu THR bagi mereka. Asal jangan terlalu tinggi,” kata Andi kemarin.
Dia menambahkan, pihaknya juga telah bekerja sama dengan sejumlah pihak terkait di dalam negeri untuk mengatasi kenaikan harga bahan pangan yang sedang terjadi. “Ke depan kami bekerja sama dengan Bulog, Kementerian Koperasi, dan Kementerian Perdagangan akan membangun pasar murah di setiap titik yang harganya selalu bergejolak,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya akan menyelenggarakan operasi pasar menjelang Ramadan pada 12 pasar ritel seperti Pasar Kramat Jati, Jatinegara, Klender, Rawasari, Cikini, Palmerah, Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Kampung Bahari, Kalibaru Grogol, dan di Depok. Pemilihan lokasi berdasar perkiraan lokasi yang akan mengalami kenaikan harga secara signifikan hingga usai Lebaran.
Kunthi fahmar sandy/ ant
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Hendri Saparini mengatakan, kebijakan antisipatif yang terukur berupa peningkatan pasokan bahan pangan semestinya dapat mengurangi ekspektasi inflasi masyarakat di bulan-bulan tersebut.
Pemerintah juga dinilai perlu melakukan pengawasan dan memublikasikan secara reguler datadata pangan seperti jumlah produksi, konsumsi, perkiraan stok, dan harga, baik aktual maupun proyeksi secara akurat dan terpadu. Dengan begitu, informasi asimetris yang kerap menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan pasokan dan harga dapat ditekan. ”Pemerintah melalui Bulog semestinya mampu mengambil peran ini dalam rangka menjaga stabilitas harga, baik di tingkat petani maupun konsumen,” kata Hendri di Jakarta, kemarin.
Dia melanjutkan, pengawasan terhadap stok pangan strategis dapat dilakukan secara bersama antara pemerintah dan swasta. Salah satunya dengan membuat regulasi yang mengatur penyimpanan/pergudangan bahan pangan yang dilakukan oleh swasta, termasuk mengatur kewajiban untuk registrasi, pemberian informasi mengenai kuantitas stok, serta kewenangan pemerintah untuk membeli stok tersebut jika diperlukan untuk mengendalikan harga.
”Hal ini sudah dipraktikkan oleh negara-negara tetangga seperti Singapura. Di negara tersebut, untuk mengontrol harga beras, diterapkan rice stockpile scheme (RSS) yang mewajibkan pemasok beras untuk memiliki lisensi pengadaan beras dan pengawasan cadangan beras di gudang mereka secara berkala,” paparnya. Harga pangan di Singapura juga dapat dikendalikan dengan diterbitkannya Price Control and Anti-Profiteering Act 2011, yang mengatur tentang mekanisme pengendalian harga dan larangan pengambilan keuntungan yang berlebih, termasuk praktik-praktik spekulasi yang dilakukan oleh pedagang.
Pemerintah Malaysia melalui Majelis Harga Negara juga melakukan monitoring harga barang dan menghitung cadangan pangan nasional. ”Oleh sebab itu, tidak heran jika inflasi pangan di Malaysia relatif lebih terkendali dan stabil dibandingkan Indonesia,” ujarnya. Sementara, Direktur Riset Core Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, walaupun Indonesia telah memiliki Undang-Undang No 7 tahun 2014 tentang Perdagangan, aturan ini masih belum cukup untuk dijadikan acuan mengontrol harga pangan, khususnya yang bersifat musiman, seperti puasa dan Idul Fitri.
”Undangundang ini juga tidak mengatur praktik-praktik spekulasi atau penimbunan barang dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan,” cetusnya. Karena itu, kata dia, peran Bulog dari sisi kelembagaan maupun anggaran harus dikembalikan. Bulog idealnya tidak diarahkan untuk menjadi lembaga yang berorientasi keuntungan, agar kebijakan intervensi pasar baik di tingkat produsen maupun konsumen dapat berjalan optimal
Terpisah, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman meminta masyarakat memaklumi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi saat ini. Menurut dia, kenaikan harga juga dinikmati oleh kalangan petani. ”Kalau naiknya 1–2%, biarkan petani seluruh Indonesia menikmati, itu THR bagi mereka. Asal jangan terlalu tinggi,” kata Andi kemarin.
Dia menambahkan, pihaknya juga telah bekerja sama dengan sejumlah pihak terkait di dalam negeri untuk mengatasi kenaikan harga bahan pangan yang sedang terjadi. “Ke depan kami bekerja sama dengan Bulog, Kementerian Koperasi, dan Kementerian Perdagangan akan membangun pasar murah di setiap titik yang harganya selalu bergejolak,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya akan menyelenggarakan operasi pasar menjelang Ramadan pada 12 pasar ritel seperti Pasar Kramat Jati, Jatinegara, Klender, Rawasari, Cikini, Palmerah, Pasar Minggu, Kebayoran Lama, Kampung Bahari, Kalibaru Grogol, dan di Depok. Pemilihan lokasi berdasar perkiraan lokasi yang akan mengalami kenaikan harga secara signifikan hingga usai Lebaran.
Kunthi fahmar sandy/ ant
(ars)