China Perangi Kemiskinan di Pedesaan

Minggu, 21 Juni 2015 - 10:08 WIB
China Perangi Kemiskinan di Pedesaan
China Perangi Kemiskinan di Pedesaan
A A A
SHANGHAI - Presiden China Xi Jinping menegaskan kembali komitmennya memberantas kemiskinan di pedesaan. Penegasan itu hanya beberapa pekan setelah empat anak-anak di pedesaan miskin melakukan bunuh diri hingga menyulut debat nasional.

Saat berpidato dalam konferensi Partai Komunis tentang Rencana Lima Tahun ke-13, Xi menegaskan akan membuat berbagai prioritas kebijakan pada 2016-2020. ”Tugas paling penting untuk mencapai masyarakat sejahtera di berbagai tempat di wilayah pedesaan, khususnya di daerah miskin,” katanya, dikutip kantor berita Reuters.

Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam dua dekade terakhir, kemiskinan tetap menjadi isu di China, khususnya di wilayah pedesaan yang kekurangan lapangan kerja. Kondisi ini mengakibatkan banyak orang tua bekerja ke mana pun, meninggalkan anak-anak dan orang lanjut usia di desa.

Empat anak yang meninggal bulan ini di Kota Bijie, merupakan mereka yang biasa disebut anak ”yang ditinggalkan” yang jumlahnya diperkirakan ada sekitar 60 juta jiwa. Bijie merupakan kota miskin di Provinsi Guizhou. Ini bukan pertama kalinya tragedi serupa terjadi di kota itu. Pada 2012 lima anak yang tak memiliki rumah di Bijie meninggal karena keracunan karbon monoksida setelah menyalakan api saat mencari tempat berlindung di dalam kotak sampah.

Seminar tempat Xi berbicara itu digelar di Guizhou. Menurut kantor berita Xinhua, Xi menyebutkan empat prinsip yang akan memandu upaya pemberantasan kemiskinan, termasuk memastikan tanggung jawab pemerintah, memastikan semua kebijakan diterapkan dengan tepat, mengumpulkan semua sumber daya masyarakat, dan memperkuat organisasi akar rumput.

China diperkirakan menyelesaikan draf Rencana Lima Tahun Ke-13 pada musim gugur ini dan mengajukannya ke Kongres Rakyat Nasional atau dewan legislatif China, pada Maret 2016. Kesenjangan antara warga miskin dan kaya di China sangat tinggi. Kendati mengalami masalah kemiskinan, China memiliki 4 juta rumah tangga miliuner pada 2014, tertinggi kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).

Hal itu lantaran boom pasar saham China yang meningkatkan kekayaan pribadi. Demikian hasil survei independen firma riset Boston Consulting Group (BCG) yang dirilis awal pekan ini. Rumah tangga miliuner merupakan keluarga yang memiliki kekayaan senilai USD1 juta atau lebih. ”Satu juta miliuner baru tercipta di negara itu tahun lalu, peningkatan tertinggi di antara semua negara di dunia,” papar hasil survei BCG, dikutip kantor berita AFP.

AS memiliki tujuh juta rumah tangga miliuner tahun lalu, terbanyak di dunia. ”Jepang menempati posisi ketiga dengan jumlah satu juta rumah tangga miliuner,” ungkap laporan BCG. Pertumbuhan kekayaan pribadi di China didorong oleh berbagai investasi pada sahamsaham lokal. Indeks Saham Gabungan Shanghai pada 2014 memiliki kinerja terbaik di Asia setelah naik lebih dari 50%.

”Kinerja pasar yang kuat di seluruh kawasan Asia Pasifik, kecuali Jepang, berkat permintaan domestik yang kuat, secara signifikan meningkatkan nilai aset-aset yang ada, dibandingkan dengan peningkatan dari kekayaan yang baru terbentuk,” papar laporan tersebut. ”Peningkatan nilai aset yang telah ada mencakup 76% dari pertumbuhan kawasan untuk kekayaan pribadi.”

Menurut hasil survei itu, China memiliki 1.037 rumah tangga dengan kekayaan bersih lebih dari USD100 juta, sekitar seperlima dari AS yang sebanyak 5.201, tapi kedua terbesar di dunia. Forbes dalam laporan April lalu menyatakan, China daratan diperkirakan memiliki 400 miliarder dan keluarga miliarder berkat pertumbuhan harga saham. Kesenjangan pendapatan semakin dikhawatirkan di negara paling banyak penduduknya di dunia tersebut.

Adapun koefisien Gini resmi mencapai 0,469 tahun lalu. Data ini umumnya digunakan untuk mengukur kesenjangan pendapatan, dengan 0 mewakili kesetaraan sempurna dan 1 berarti kesenjangan total. Beberapa akademisi menilai 0,4 sebagai sinyal peringatan.

”Para analis menyatakan, korupsi pejabat terkait dengan kontrol pemerintah pada ekonomi, monopoli negara pada sejumlah industri dan kurangnya keamanan sosial untuk pekerja migran, menjadi alasan ketidakseimbangan pendapatan di China,” papar laporan awal tahun ini oleh surat kabar People’s Daily, corong Partai Komunis China yang berkuasa.

Sementara, China mencari cara-cara baru untuk menurunkan biaya pinjaman jangka panjang yang masih tinggi dan menghentikan para spekulan yang memanfaatkan kebijakan moneter dana murah. Beijing berupaya meredam penurunan ekonomi dengan mendorong perbankan memberikan utang lebih banyak tahun ini dan memangkas suku bunga hingga tiga kali sejak November.

Meski demikian, perbankan masih enggan memberikan pinjaman jangka panjang pada bisnis untuk menghindari kredit macet. ”Kebijakan moneter terbaru telah menunjukkan sedikit dampak pada stabilitas pertumbuhan. Ada kekhawatiran bahwa dana itu mengalir ke pasar saham dan bukan ekonomi riil,” ungkap seorang ekonom senior dari lembaga think-tank.

Untuk mengurangi tren tersebut, para pembuat kebijakan menyatakan, Bank Sentral China (People’s Bank of China/ PBOC) sekarang akan menurunkan yield obligasi jangka panjang dan menyerap kelebihan dana jangka pendek. Langkah ini memiliki risiko menciptakan kredit bermasalah di pasar uang jika dilakukan dalam skala yang berlebihan.

”Bank sentral dapat menyuntikkan lebih banyak likuiditas jangka panjang untuk mengarahkan uang ke ekonomi riil, sambil mempertahankan dana jangka pendek,” ujar seorang ekonom yang memberikan saran kepada Pemerintah China.

Syarifudin
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3371 seconds (0.1#10.140)