Masjid Inklusif

Minggu, 21 Juni 2015 - 10:08 WIB
Masjid Inklusif
Masjid Inklusif
A A A
Dalam buku Marketing to the Middle Class Muslim (kini terbit dalam edisi revisi 2015 dengan tambahan handbook ) saya menuliskan bahwa menggeliatnya pasar kelas menengah muslim di Indonesia merupakan bagian dari sebuah perubahan besar dalam kehidupan keislaman di Indonesia.

Bahkan, saya menyebutnya sebagai kegairahan baru dalam peradaban Islam di Indonesia. Kenapa disebut demikian? Karena perkembangan positif kehidupan keislaman ini terjadi di berbagai bidang kehidupan mulai dari ekonomi dan bisnis, seni dan kebudayaan, pendidikan dan keilmuan, kegiatan dakwah, hingga gaya hidup. Salah satu fenomena menarik yang saya amati adalah kehidupan masjid yang kian modern, techy , dan inklusif.

Artinya, masjid tak lagi hanya menjadi tempat untuk menjalankan kegiatan ibadah mahdhah tapi juga tempat untuk menjalankan berbagai kegiatan positif yang membawa kemanfaatan universal kepada masyarakat luas. Di samping untuk ibadah dan dakwah, kini masjid juga digunakan untuk mengkaji ilmu, berkesenian, menjalankan kegiatan sosial, pusat kegiatan ekonomi, bahkan gaya hidup muslim yang kian keren. Coba saja lihat fenomena-fenomena masjid yang menarik berikut ini.

Masjid Salman di jantung kampus ITB Bandung menjadi pusat kegiatan mahasiswa berbagai bidang mulai dari keilmuan, pendidikan, hingga kegiatan sosial. Masjid Al Azhar di Kebayoran Baru Jakarta memosisikan diri sebagai ”mosque for educational and cultural movement ” dengan segudang kegiatan sepanjang tahun tak hanya semasa Ramadan. Masjid Sunda Kelapa menjadi tempat favorit untuk pernikahan dan perdagangan.

Masjid Cut Mutia bahkan tiap tahun rutin menyelenggarakan Ramadan Jazz Festival. Memang fenomena makin modern dan inklusifnya masjid ini banyak terjadi di kotakota besar, namun saya melihat kecenderungan ini akan meluas hingga ke berbagai kota di seluruh Tanah Air.

Masjid kian dikelola dengan manajemen modern dan kegiatannya meluas mencakup berbagai bidang yang dibutuhkan masyarakat luas. Dengan begitu, masjid menjadi kian open - minded, relevan, dan down-to-earth menjawab persoalan-persoalan aktual masyarakat. Masjid kian menawarkan kemanfaatan universal kepada ”stakeholders”-nya.

Keilmuan

Di zaman Nabi, masjid bukan hanya digunakan untuk melakukan ibadah mahdhah , tapi juga untuk menyelesaikan masalah keumatan lainnya, terutama pendidikan. Terkait dengan tren revolusi kelas menengah muslim saat ini, peran kajian dan pendidikan ini tak hanya sebatas baca-tulis Alquran, tapi juga kajian dan pendidikan ilmu terkini yang relevan dengan tuntutan kelas menengah muslim yang kian openmind, modern, dan techy .

Kini misalnya, sudah tak aneh lagi masjid dipakai untuk seminar mengenai entrepreneurship dan pemberdayaan ekonomi umat. Atau, kursus mengenai pembuatan blog atau strategi online shop ... wow!!! Masjid Salman di Bandung misalnya, mengelola pendidikan keislaman dengan pendekatan-pendekatan yang modern. Masjid di jantung kampus ITB ini menggunakan metode yang terstruktur dan fokus agar kegiatan pendidikan dan keilmu-an yang dibesutnya tepat menyasar ke target audien yang dituju.

Di masjid ini, terdapat program PAS (Pembinaan Anak Salman) khusus untuk segmen balita. Untuk kelompok usia sekolah SMP-SMA, ada KARISMA (Keluarga Remaja Islam Masjid) Salman. Sedangkan untuk pemuda/pemudi mahasiswa ada program Asrama Salman yang selain memberikan beasiswa tempat tinggal juga secara rutin memberikan bimbingan kepada para pesertanya.

Untuk pemuda/pemudi yang lebih dewasa, ada program SPN (Sekolah Pra-Nikah) sebagai media persiapan untuk mereka yang akan menikah. Di kebanyakan masjid, kurikulum utamanya adalah pelajaran membaca Quran, bahasa Arab dan materi-materi lain seperti fikih agama Islam, sejarah Islam, dan lainlain. Namun di Masjid Salman tak hanya cukup di situ. Seringkali masjid kebanggaan kampus ITB ini mengadakan kajian-kajian terkini yang relevan dengan kehidupan umat Islam, semisal kajian mengenai internet, parenting di era modern, hingga pengaruh media terhadap keluarga.

Kewirausahaan

Di samping pusat edukasi dan pembentukan karakter, masjid juga menjadi pusat kegiatan ekonomi umat. Pesantren dan Masjid Daarut Tauhid (DT) di Geger Kalong, Bandung, adalah salah satu contohnya. Sejak dirintis oleh KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di tahun 1990, kawasan ini ramai dikunjungi para santri yang ingin menimba ilmu dan mendapatkan pencerahan dari si dai kondang.

Komunitas masjid ini mengembangkan unit-unit usaha seperti koperasi, jasa travel umrah, makanan/minuman, bahkan media, untuk menangkap pasar para jamaah dan santri yang sangat lukratif. Walaupun DT tidak seramai dulu, geliat kewirausahaan dan aktivitas ekonominya masih tetap menggeliat hingga saat ini. Beberapa waktu lalu saya diundang ustadz Valentino Dinsi untuk sharing mengenai Marketing to the Middle Class Muslim bertempat di Masjid Raya Al Azhar, Cakung, di depan anggota Majelis Talim Wirausaha (MTW).

Ustadz Valentino adalah pendiri komunitas MTW yang bermisi mulia mendorong kewirausahaan dan pemberdayaan ekonomi umat. Ia menggelar beragam program keren seperti: Program Santri Preneur, Teacher Preneur, Student Preneur, Hijab Preneur, Konsultasi Bisnis, Kampanye Gerakan Satu Keluarga Satu Pengusaha, dan lain-lain.

Menariknya, sebagian besar program tersebut dibesut di masjid, seperti masjid Al Azhar dan Masjid Baitul Ihsan, Bank Indonesia Dengan mengusung konsep kemandirian dan kewirausahaan, DT dan MTW menjadi model baru kegiatan masjid yang inklusif dan mengusung prinsip-prinsip kemanfaatan universal. Pola pengelolaan masjid yang inklusif ini kemudian menjadi model yang diikuti oleh masjid di seluruh Indonesia.

Keren di Mal

Masjid kian inklusif ketika ia kini makin banyak hadir di mal-mal mentereng. Kita tahu, kini mal sudah menjadi pusat kegiatan seluruh lapisan masyarakat. Praktis semua aktivitas kini dilakukan di mal, mulai dari belanja, jalan-jalan dan rekreasi keluarga, menonton bioskop, meeting dengan rekan kerja, arisan ibu-ibu, konser musik, reuni dengan teman lama, seminar, hingga pameran seni.

Dan yang menarik, masjid-masjid di mal ini tak cuma hadir seadanya (misalnya nyempil di basement atau areal parkir nan panas dan pengap), tapi berdiri megah nan kinclong. Coba saja Anda ke mal Pasaraya Grande di bilangan Melawai. Di lantai 5 mal tersebut terdapat Masjid Al-Latief yang keren abis. Interiornya impresif, karpetnya mewah, tempat wudunya bersih-bersinar, dan yang istimewa adalah ornamen langit-langitnya yang artistik.

Masjid Al-Latief tak cuma bermodal gedung mentereng, tapi juga segudang kegiatan pendidikan agama maupun umum yang terprogram rapi. Pasaraya tak sendiri, mal-mal kelas satu di Jakarta Pacific Place, Plaza Indonesia, Mal Kelapa Gading, atau Senayan City memiliki masjid yang keren abis. Ketika mal menjadi keseharian kalangan kelas menengah muslim, wajar saja ketika mereka menghendaki masjid yang nyaman di mal.

Jeda sejenak demi salat lima waktu untuk kemudian melanjutkan aktivitas menghabiskan waktu di mal. Pengunjung mal yang dimanjakan dengan masjid yang nyaman berarti memperbesar kesempatan bagi mereka untuk betah berlama-lama di mal. Dengan adanya tuntutan ini, tak heran jika kini mulai banyak mal yang ramah Islam.

YUSWOHADY
Managing Partner Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4484 seconds (0.1#10.140)