Fundamental Ekonomi Harus Diperbaiki

Rabu, 24 Juni 2015 - 09:30 WIB
Fundamental Ekonomi Harus Diperbaiki
Fundamental Ekonomi Harus Diperbaiki
A A A
JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu bekerja sama untuk meredam penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS (USD) ke arah yang lebih dalam. Salah satu hal yang patut diperhatikan adalah perbaikan fundamental ekonomi nasional.

Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, bank sentral terus berupaya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. BI tidak menargetkan posisi nilai tukar, melainkan menjaga agar volatilitas rupiah dalam batas yang sehat. Namun menurut Agus, kebijakan BI juga membutuhkan kerja sama dari pemerintah.

Dia menilai pemerintah harus konsisten menjalankan reformasi struktural ekonomi, mengelola inflasi, dan menjaga neraca transaksi berjalan. Hal ini penting untuk membendung fenomena menguatnya dolar AS terhadap mata uang negaranegara di dunia (super dolar). ”Periode super dolar ini membuat negara-negara yang neraca transaksi berjalannya lemah, inflasinya lemah, atau fundamental ekonominya lemah, itu mata uangnya tertekan,” kata Agus di Jakarta, Senin (22/6) malam.

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini menilai, sejauh ini pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang mendukung perbaikan fundamental ekonomi, seperti pengalihan subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur. Dia menilai, jika kebijakan itu konfliktual dan tidak tepat sasaran, maka bisa mengganggu kepercayaan pasar.

Dia pun menambahkan, Indonesia harus belajar dari negara- negara yang nilai tukar mengalami depresiasi yang dalam seperti Brasil (16%) dan Turki (15%) year to date (1Januari-19 Juni 2015. Hal itu, menurut dia, karena lemahnya fundamental ekonomi di kedua negara itu.

Menurut Agus, neraca transaksi berjalan yang sampai saat ini masih defisit membuat rupiah sulit menguat. Meski defisit transaksi berjalan hanya 2,5–3% dari produk domestik bruto, tetap saja defisit. ”Artinya, kebutuhan akan valuta asing lebih besar daripada tersedianya valuta asing,” ucap dia.

Terpisah, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic dan Finance (Indef) Eko Listyanto menuturkan, fundamental ekonomi, terutama neraca transaksi berjalan yang defisit sejak 2012 membuat rupiah sulit bangkit. Menurut dia, hal ini disebabkan ekspor Indonesia mengandalkan komoditas primer dan ketergantungan impor yang cukup tinggi.

Eko menyebut neraca transaksi berjalan sulit berbalik positif selama harga komoditas belum membaik. Terlebih lagi, industri nasional memiliki ketergantungan impor konten yang meningkat dari tahun ke tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang Mei 2015, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS sebesar 2,06% atau 265,89 poin atau rata-rata sebesar Rp13,177/ USD.

Sementara secara year to date (1 Januari-19 Juni 2015), rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp12.947 per dolar AS.

Rahmat fiansyah
(ftr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5741 seconds (0.1#10.140)