Kejar Pendapatan, SPMA Bidik Perusahaan Manufaktur
A
A
A
SURABAYA - Kondisi perekonomian yang memburuk memaksa PT Suparma Tbk (SPMA) sebagai perusahaan kertas mengalihkan segmen dengan membidik perusahaan manufaktur sebagai pasar baru guna memenuhi target pendapatan sebesar Rp1,28 triliun.
Keputusan diambil dengan mengacu pendapatan lima bulan terakhir yang kurang memuaskan. Tercatat, dalam lima bulan terakhir Suparma menghasilkan pendapatan hingga Rp634 miliar. Jika dibuat rata-rata, maka pendapatan yang dihasilkan Suparma setiap bulannya sebesar Rp125 miliar.
"Kalau dikalikan 12 bulan, hasilnya tidak akan mencapai Rp1,28 triliun," kata Direktur Independen PT Suparma Tbk Hendro Luhur setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Shangrilla Hotel, Surabaya, Rabu (24/6/2015).
Kondisi ini dipicu dengan fakta perekonomian secara makro, adanya penurunan daya beli karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut, kenaikan listrik, dan adanya pemutusan kontrak kerja (PHK) bagi karyawan di pabrik-pabrik manufaktur. Melihat ini, Suparma yakin kesulitan untuk memenuhi target yang telah ditentukan.
Untuk mencapai target, pihaknya mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis. Di antaranya fokus pada produk-produk yang sudah memiliki brand dan memberikan diskon bagi konsumen yang akan membeli. Diskon ini diberikan khusus pada produk tissue premium yang berada di mal-mal premium.
"Terpaksa kita lakukan strategi ini, kita jarang memakai strategi ini. Strategi ini juga dilakukan untuk mengurangi margin yang ada," ujarnya.
Industri manufaktur, ujar Hendro merupakan pasar baru yang akan dikembangkan. Jika sebelumnya perseroan foku pada penjualan tissue Horeka (Hotel, Restoran, dan Kafe), maka bidikan mulai beralih. Manufaktur yang selama ini memakai kain untuk membersihkan tangan, kali ini akan diubah memakai tissue.
Proses edukasi ini tidak akan mudah, kondisi ini seperti halnya saat mengedukasi hotel, restoran, dan kafe. Saat itu, untuk mengubah prilaku yang dulu memakai kain dalam membersihkan tangan, Suparma membutuhkan waktu sekitar enam tahun. "Saya rasa di pabrik manufaktur juga seperti ini. Tetapi saya melihat ada tingkat efisien yang sangat besar," terang Hendro.
Selain itu, untuk memperkuat pasar Suparma juga memperkuat posisi di mancanegara. Negara-negara di Asia masih menjadi pasar potensial, seperti Thailand, Veitnam, dan Malaysia. Negara-negara ni membutuhkan kertas yang masih dalam bentuk glondongan tanpa ada brand dari Indonesia.
Kebutuhan ekspor ini akan dipenuhi mesin kertas terbaru milik Suparma, yakni Mesin Kertas No 9 (MK No 9) yang beroperasi pada 8 April 2015. Mesin ini akan berproduksi secara komersial dengan total kapastas sebesar 25.000 MT. Pada April dan Mei, MK No 9 telah menghasilkan produksi tissue masing-masing sebesar 723 MT dan 1.375 MT, produksi ini mencapai 35% dan 66% dari total kapasitas terpasang per bulan di 2015.
"Nilai investasi untuk mesin baru ini sebesar USD28 juta atau sekitar Rp350 miliar (kurs Rp13.000/USD)," kata Direktur SPMA M B Lanniwati.
Dana pembelian ini diperoleh dari Bank Muamalat Indonesia dan Bank ICBC Indonesia dengan masing-masing sebesar USD10 juta, sedangkan sisa pembiayaan diperoleh dari kas internal perusahaan.
Tahun lalu, penjualan bersih perseroan mencapai Rp1,55 triliun atau tumbuh 11% dibanding penjualan bersih tahun sebelumnya sebesar Rp1,39 triliun. Pertumbuhan penjualan bersih disebabkan kenaikan harga jual rata-rata dan kuantitas penjualan produk kertas perseroan tahun 2014 masing-masing sebesar 7,7% dan 3%.
Keputusan diambil dengan mengacu pendapatan lima bulan terakhir yang kurang memuaskan. Tercatat, dalam lima bulan terakhir Suparma menghasilkan pendapatan hingga Rp634 miliar. Jika dibuat rata-rata, maka pendapatan yang dihasilkan Suparma setiap bulannya sebesar Rp125 miliar.
"Kalau dikalikan 12 bulan, hasilnya tidak akan mencapai Rp1,28 triliun," kata Direktur Independen PT Suparma Tbk Hendro Luhur setelah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di Shangrilla Hotel, Surabaya, Rabu (24/6/2015).
Kondisi ini dipicu dengan fakta perekonomian secara makro, adanya penurunan daya beli karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut, kenaikan listrik, dan adanya pemutusan kontrak kerja (PHK) bagi karyawan di pabrik-pabrik manufaktur. Melihat ini, Suparma yakin kesulitan untuk memenuhi target yang telah ditentukan.
Untuk mencapai target, pihaknya mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis. Di antaranya fokus pada produk-produk yang sudah memiliki brand dan memberikan diskon bagi konsumen yang akan membeli. Diskon ini diberikan khusus pada produk tissue premium yang berada di mal-mal premium.
"Terpaksa kita lakukan strategi ini, kita jarang memakai strategi ini. Strategi ini juga dilakukan untuk mengurangi margin yang ada," ujarnya.
Industri manufaktur, ujar Hendro merupakan pasar baru yang akan dikembangkan. Jika sebelumnya perseroan foku pada penjualan tissue Horeka (Hotel, Restoran, dan Kafe), maka bidikan mulai beralih. Manufaktur yang selama ini memakai kain untuk membersihkan tangan, kali ini akan diubah memakai tissue.
Proses edukasi ini tidak akan mudah, kondisi ini seperti halnya saat mengedukasi hotel, restoran, dan kafe. Saat itu, untuk mengubah prilaku yang dulu memakai kain dalam membersihkan tangan, Suparma membutuhkan waktu sekitar enam tahun. "Saya rasa di pabrik manufaktur juga seperti ini. Tetapi saya melihat ada tingkat efisien yang sangat besar," terang Hendro.
Selain itu, untuk memperkuat pasar Suparma juga memperkuat posisi di mancanegara. Negara-negara di Asia masih menjadi pasar potensial, seperti Thailand, Veitnam, dan Malaysia. Negara-negara ni membutuhkan kertas yang masih dalam bentuk glondongan tanpa ada brand dari Indonesia.
Kebutuhan ekspor ini akan dipenuhi mesin kertas terbaru milik Suparma, yakni Mesin Kertas No 9 (MK No 9) yang beroperasi pada 8 April 2015. Mesin ini akan berproduksi secara komersial dengan total kapastas sebesar 25.000 MT. Pada April dan Mei, MK No 9 telah menghasilkan produksi tissue masing-masing sebesar 723 MT dan 1.375 MT, produksi ini mencapai 35% dan 66% dari total kapasitas terpasang per bulan di 2015.
"Nilai investasi untuk mesin baru ini sebesar USD28 juta atau sekitar Rp350 miliar (kurs Rp13.000/USD)," kata Direktur SPMA M B Lanniwati.
Dana pembelian ini diperoleh dari Bank Muamalat Indonesia dan Bank ICBC Indonesia dengan masing-masing sebesar USD10 juta, sedangkan sisa pembiayaan diperoleh dari kas internal perusahaan.
Tahun lalu, penjualan bersih perseroan mencapai Rp1,55 triliun atau tumbuh 11% dibanding penjualan bersih tahun sebelumnya sebesar Rp1,39 triliun. Pertumbuhan penjualan bersih disebabkan kenaikan harga jual rata-rata dan kuantitas penjualan produk kertas perseroan tahun 2014 masing-masing sebesar 7,7% dan 3%.
(izz)