Optimistis Jadi Produsen Mobil Terbesar di Dunia

Kamis, 25 Juni 2015 - 14:40 WIB
Optimistis Jadi Produsen Mobil Terbesar di Dunia
Optimistis Jadi Produsen Mobil Terbesar di Dunia
A A A
BERBEKAL fasilitas riset dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni, Astra Daihatsu Motor (ADM) optimistis Indonesia akan menjadi pusat produksi terbaik di dunia. Sehingga diharapkan, ke depan SDM lokal mampu memproduksi sendiri kendaraan berstandar global secara massal.

Kendati perekonomian nasional melambat, ADM, yang merupakan perusahaan patungan kelompok Astra dengan Daihatsu Motor Company (DMC) itu bertekad terus melakukan inovasi. Ambisinya, tidak saja hanya menguasai pasar, tetapi juga memiliki kemampuan rancang bangun untuk membuat kendaraan berkualitas dunia.

Untuk mengetahui apa yang sudah dan akan dilakukan oleh Astra Dihatsu Motor ke depan, berikut petikan wawancara dengan Presiden Direktur PT Astra Daihatsu Motor (ADM) Sudirman Maman Rusdi, saat berkunjung ke kantor Koran SINDO baru-baru ini.

Sebagai orang yang lama di industri automotif nasional, bagaimana Anda melihat industri ini ke depan?

Saya yakin dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang kita miliki di industri automotif, sektor ini akan sangat menjanjikan. Makanya, saya yakin ke depan kita bakal punya produk yang bagus yang dihasilkan oleh putra-putri Indonesia yang akan masuk di pasar global.

Termasuk soal ambisi untuk bisa membuat mobil sendiri di 2019?


Saya punya keyakinan. Ini on progress. Kita (Astra) bersama DMC berkomitmen seperti itu mengembangkan teknologi mobil untuk masa depan. Kami terus mencari orang di bidang itu yang ternyata gampang gampang susah. Tapi, alhamdulillah, sekaranginiminatnya banyak. Ada yang sudah belajar sendiri di Italia, ada juga di Taiwan. Padahal, di Taiwan itu dia redesain house mobil Taiwan yang semua ordernya dari brand terkenal.

Bagaimana kiprah engineer di ADM?


Sekarang engineer itu totalnya ada dari S-1, S-2, D-3, ada juga dari STM. Saya masukan kategori engineer sekarang ada 150 orang. Mereka terus belajar dan hasilnya seperti mobil-mobil Daihatsu yang ada di pasar sekarang, mereka terlibat di sana dalam rancangannya.

Berarti SDM kita punya kemampuan?

Punya kemampuan. Kita punya pengalaman ke beberapa negara. Tenaga kerja kita ini pintar-pintar. Cuma dasar pendidikannya saja yang rendah. Tenaga kerja kita ini sebenarnya rajin-rajin dan mau mengerjakan, berbeda dengan negara lain. Kalau kami sekarang di ADM, alhamdulillah, sudah memenuhi standar di Jepang. Tenaga kerja kita sudah bisa. Dan, saya sekarang setiap tahun di Mei, pabrik libur panjang 4-5 hari, kita kirim group leader untuk belajar ke sana. Saat pulang mereka harus punya target.

Berkaca pada kesuksesan Xenia-Avanza, apa yang dipelajari dari situ?

Pada saat awal-awal mengembangkan Xenia-Avanza, saat itu Toyota memang lebih unggul, lebih kuat. Lalu, saya berpikir, mengapa Indonesia tidak mengajak Toyota saja? Nanti kan Daihatsu akan dapat volume (produksi). Akhirnya, kami tawarkan ke Toyota untuk kolaborasi, semua konsep-konsep dibawa, jadilah kolaborasi produk Xenia-Avanza. Setelah krisis, kapasitas pabrik ADM sebesar 78.000 per tahun. Saat itu ADM hanya jualan Daihatsu Taruna dan Zebra yang volume produksi setahun hanya 18.000.

Ke depan saya punya mimpi Daihatsu menjadi pabrik terbaik di dunia dan ASEAN. Saya pikir kalau sudah selevel dengan Toyota, apa yang dibuat ADM pasti diterima di Toyota. Kami ingin proyek kolaborasi ini dibuat di pabrik ADM agar kapasitas produksinya bisa terisi. Waktu itu enggak mudah, butuh bantuan Jepang. Waktu presentasi di depan Jepang, ADM belum bisa mengikuti standar Toyota.

Akhirnya saya bilang beri waktu enam bulan lagi. Saya yakin enam bulan lagi akan mampu membuat pabrik yang sama dengan Jepang. Enam bulan kemudian pihak Jepang datang lagi dan akhirnya produk Toyota dan Daihastu dibuat di ADM. Alhamdulillah, sampai diproduksi betul yang diinginkan seperti itu direspons dengan baik dan terima dengan baik.

Tantangan berikutnya?

Pada saat itu terjadi lonjakan produksi. Akhirnya kami menaikkan kapasitas produksi tapi kan orangnya tidak siap. Ya sudah, saya panggil HRD, saya pimpin secara keseluruhan, saya ingin menggolkan ini bagaimana saya bisa meningkatkan utilisasi kapasitas, saya akan tambah orang lagi. Tantangan selanjutnya adalah tuntutan pasar harus bagus, kualitas juga standar Jepang. Dari segi bagaimana menyiapkan komponen, menyiapkan karyawan, menyiapkan peralatan.

Target apa yang ingin Anda lakukan?

Saya pikir sudah tidak lama lagi saya akan melewati waktu purnabakti. Targetnya saya tetap bahwa harus mampu membuat, mulai dari aksesoris, mampu melakukan perubahan-perubahan termasuk model change.

Anda kan salah satu direksi di DMC di Jepang, ini kanprestasi luar biasa, bagaimana pandangan Anda?

Kalau di DMC itu yang namanya penentuan direktur itu setahun sekali. Saya ini kansudah sejak 2011 dari direktur di pusat (Jepang). Tahun ini seharusnya sudah selesai, tapi saya dapat info disuruh datang lagi. Di satu sisi, ini amanah karena saya diberikan suatu kepercayaan.

Tadi kesuksesan Xenia- Avanza luar biasa. Lalu Gran Max?

Kalau Gran Max itu satu-satunya produk yang bisa masuk secara kontinu ke Jepang. Waktu membuat Gran Max itu tantangan tersendiri. Kalau Gran Max, material untuk bodi itu kan lebih berat 100 kg dibanding Xenia-Avanza, tetapi harus dijual di bawah harga Xenia- Avanza karena segmennya begitu. Tapi, kita tidak putus asa. Kita terus melakukan berbagai cara bagaimana konsolidasi agar seefisien mungkin. Ya, hasilnya cukup baik, bahkan sudah diekspor ke Jepang 1.000 setiap bulan.

Di internal Astra bagaimana sikap manajemen melihat produk-produk yang Anda rancang?

Sejak awal teman-teman sudah paham. Tapi, ada juga yang bertanya, seperti saat melihat Gran Max, ”Kok bentuk mobil kaya begini sih?” Tapi, seiring berjalannya waktu kita terus penetrasi pasar meski butuh waktu. Selain itu, DMC juga makin ke sini makin terbuka. Kalau dulu kan tidak. Bagus di sana juga belum tentu bagus di sini. Kebutuhannya berbeda. Karena saya orang lapangan, saya ingin realistis seperti apa yang dibutuhkan sekarang. Saat ini bahkan terkadang untuk menentukan model mobil baru saya yang terakhir dimintai pendapat sama orang Jepang.

Bagaimana melakukan pendekatan ke Jepang?

Komunikasi saja, dekati saja. Kadang-kadang kita juga harus mengalah. Tapi, demi untuk menang belakangan. Harus bisa tarik-ulur, tapi jangan sampai putus. Itu perlu kesabaran. Kalau bisnis sama Jepang, mereka itu sedikit-sedikit mencatat. Nah, kalau kita bicara sama mereka, harus menggunakan data dan logika. Mereka akan ikut. Kalau kita hanya asal bicara, kita akan kalah. Begitu kalah, susah untuk bicara berikutnya. Makanya, saya bilang ke temanteman, belajar terus, belajar terus, supaya kompetensi kita terus naik sehingga logikanya bisa nyambung sama mereka.

Jepang itu tempat buat mobil dan sekarang Anda bisa buat mobil dan diekspor ke sana dan diterima. Bagaimana usahanya?

Tuntutan yang paling tinggi adalah kualitas selama pengalaman kami mengekspor ke Jepang. Mereka itu cek proses produksinya, prosesnya, dilihat sampai pembuatan komponen ke supplier. Mereka detail sekali. Dan, saya juga melakukan bagaimana mengubah paradigma teman-teman dulu. Kalau kita cacat di Jepang, berapa biayanya untuk klaim dan lain-lain. Yang juga penting adalah transfer ilmunya.

Soal Ayla, kira-kira bagaimana prospek berikutnya?

Saya pikir akan tumbuh mobilmobil seperti itu karena dibutuhkan. Ke depan kalau produk domestik bruto (PDB) kita naik terus, ekonomi naik, penjualan mobil-mobil itu akan naik. Pertama, orang yang punya kemampuan, kedua, dari pengguna sepeda motor lalu naik kelas. (*)

1
Terbiasa Mandiri Sejak Kecil


KESUKSESAN Sudirman Maman Rusdi dalam menjalani karier di dunia automotif hingga kini menjabat presiden direktur Astra Daihatsu Motor (ADM) ternyata tidak diperoleh begitu saja.

Banyak jalan berliku yang dilaluinya. Dia menapaki jenjang karier dari nol, termasuk membuka lahan untuk pabrik mobil bersama teman seangkatannya. Sejak kelas 3 SMP Sudirman bertekad untuk mandiri. Dia rela memisahkan diri dari orang tua untuk bersekolah di STM di kota kelahirannya, Tasikmalaya.

Lulus dari STM di Tasikmalaya, berbekal ijazah dia merantau ke Jakarta untuk kuliah pada akhir 1973. Di Ibu Kota, bukannya kuliah, dia malah bekerja di perusahaan joint venture PT Balikpapan Forest Industry yang saat itu membutuhkan tenaga kerja untuk dilatih di Jepang selama 1,5 tahun. Di perusahaan itu dia belajar bagaimana membuat kayu lapis. ”Setahun di sana, tapi pabriknya tidak jadi dibangun. Akhirnya selesai kontrak, saya pulang ke Jakarta lagi,” ujarnya.

Pengalaman training dari Jepang dimanfaatkan oleh Sudirman dengan baik. Sepulangnya ke Indonesia, dia bekerja di perusahaan aluminium yaitu PT Aluminium Work Indonesia yang juga perusahaan joint venture. Suatu hari dia melihat lowongan kerja di surat kabar dan memutuskan untuk mencoba melamarnya. Perusahaan itu pun tidak diketahuinya karena alamatnya hanya berupa PO BOX. ”Akhirnya saya masukin lamaran. Saya belum tahu itu perusahaan apa,” imbuhnya.

Setelah mengikuti tes dan wawancara beberapa tahap, akhirnya dia diterima di perusahaan tersebut yang ternyata adalah Astra Daihatsu Motor, yang merupakan bagian dari Astra International. Awalnya banyak yang mempertanyakan alasan dia pindah karena di perusahaan sebelumnya sudah mendapatkan fasilitas yang bagus dibandingkan dengan posisinya di perusahaan yang baru ini.

”Saat itu saya melihat Astra dan automotif akan dibutuhkan di Indonesia. Saya menganggap ini ladang yang subur. Saya ingin menjadi bibit yang baik. Kalau bisa jadi bibit yang baik, saya mau tumbuh bersama- sama. Itu saja pertimbangan saya,” terangnya.

Di tempat kerja yang barunya itu, Sudirman tercatat sebagai karyawan kelima. Dia mengawali hari-harinya sebagai karyawan dengan status belum sebagai staf. Saat itu pabriknya belum berdiri. Sudirman muda yang masih semangat saat itu justru menjadi salah satu karyawan yang turut membuka lahan untuk pabrik di kawasan Sunter, Jakarta Utara. ”Saya waktu itu bawa parang dan perlengkapan lain untuk membersihkan tanah kosong bersama karyawan lain,” ujarnya mengenang.

Selama bekerja di Daihatsu pun dia menerapkan disiplin dan kerja keras. Sudirman terus menyampaikan ke temanteman sekantornya untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Hal ini diperlukan agar bisa meningkatkan kompetensi sehingga perusahaan yang dipimpinnya itu bisa bersaing, minimal sejajar dengan perusahaan di Jepang. ”Di satu sisi puas. Tapi, kepuasan itu tidak ada batasnya dan saya selalu ingin memberikan yang terbaik,” ucapnya.

Namun, selama berkarier di industri automotif, Sudirman juga mengaku mendapatkan pengalaman kerja paling pahit yakni ketika harus mengurangi tenaga kerja saat krisis ekonomi pada 1998. ”Enggak terbayang saya harus memecat rekan sejawat saya, ada juga mantan bos saya, harus saya diminta mundur pada saat itu. Itu yang membekas di hati,” tuturnya.

Dia mengakui, sebagai perusahaan joint venture dengan perusahaan Jepang, terkadang memang timbul gesekan karena perbedaan budaya. Untuk menyiasati hal tersebut, Sudirman selalu mengajak para kepala divisi untuk berdiskusi setiap hari Jumat, menceritakan permasalahan, dan mencari jalan keluarnya. ”Makanya saya selalu bilang, bekerja harus belajar terus. Gali ilmunya mereka,” pungkasnya.

Kesuksesan Sudirman Maman Rusdi dalam menjalani karier di dunia automotif hingga kini menjabat presiden direktur Astra Daihatsu Motor (ADM) ternyata tidak diperoleh begitu saja.

Banyak jalan berliku yang dilaluinya. Dia menapaki jenjang karier dari nol, termasuk membuka lahan untuk pabrik mobil bersama teman seangkatannya. Sejak kelas 3 SMP Sudirman bertekad untuk mandiri. Dia rela memisahkan diri dari orang tua untuk bersekolah di STM di kota kelahirannya, Tasikmalaya.

Lulus dari STM di Tasikmalaya, berbekal ijazah dia merantau ke Jakarta untuk kuliah pada akhir 1973. Di Ibu Kota, bukannya kuliah, dia malah bekerja di perusahaan joint venture PT Balikpapan Forest Industry yang saat itu membutuhkan tenaga kerja untuk dilatih di Jepang selama 1,5 tahun. Di perusahaan itu dia belajar bagaimana membuat kayu lapis. ”Setahun di sana, tapi pabriknya tidak jadi dibangun. Akhirnya selesai kontrak, saya pulang ke Jakarta lagi,” ujarnya.

Pengalaman training dari Jepang dimanfaatkan oleh Sudirman dengan baik. Sepulangnya ke Indonesia, dia bekerja di perusahaan aluminium yaitu PT Aluminium Work Indonesia yang juga perusahaan joint venture. Suatu hari dia melihat lowongan kerja di surat kabar dan memutuskan untuk mencoba melamarnya. Perusahaan itu pun tidak diketahuinya karena alamatnya hanya berupa PO BOX. ”Akhirnya saya masukin lamaran. Saya belum tahu itu perusahaan apa,” imbuhnya.

Setelah mengikuti tes dan wawancara beberapa tahap, akhirnya dia diterima di perusahaan tersebut yang ternyata adalah Astra Daihatsu Motor, yang merupakan bagian dari Astra International. Awalnya banyak yang mempertanyakan alasan dia pindah karena di perusahaan sebelumnya sudah mendapatkan fasilitas yang bagus dibandingkan dengan posisinya di perusahaan yang baru ini.

”Saat itu saya melihat Astra dan automotif akan dibutuhkan di Indonesia. Saya menganggap ini ladang yang subur. Saya ingin menjadi bibit yang baik. Kalau bisa jadi bibit yang baik, saya mau tumbuh bersama- sama. Itu saja pertimbangan saya,” terangnya.

Di tempat kerja yang barunya itu, Sudirman tercatat sebagai karyawan kelima. Dia mengawali hari-harinya sebagai karyawan dengan status belum sebagai staf. Saat itu pabriknya belum berdiri. Sudirman muda yang masih semangat saat itu justru menjadi salah satu karyawan yang turut membuka lahan untuk pabrik di kawasan Sunter, Jakarta Utara. ”Saya waktu itu bawa parang dan perlengkapan lain untuk membersihkan tanah kosong bersama karyawan lain,” ujarnya mengenang.

Selama bekerja di Daihatsu pun dia menerapkan disiplin dan kerja keras. Sudirman terus menyampaikan ke temanteman sekantornya untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Hal ini diperlukan agar bisa meningkatkan kompetensi sehingga perusahaan yang dipimpinnya itu bisa bersaing, minimal sejajar dengan perusahaan di Jepang. ”Di satu sisi puas. Tapi, kepuasan itu tidak ada batasnya dan saya selalu ingin memberikan yang terbaik,” ucapnya.

Namun, selama berkarier di industri automotif, Sudirman juga mengaku mendapatkan pengalaman kerja paling pahit yakni ketika harus mengurangi tenaga kerja saat krisis ekonomi pada 1998. ”Enggak terbayang saya harus memecat rekan sejawat saya, ada juga mantan bos saya, harus saya diminta mundur pada saat itu. Itu yang membekas di hati,” tuturnya.

Dia mengakui, sebagai perusahaan joint venture dengan perusahaan Jepang, terkadang memang timbul gesekan karena perbedaan budaya. Untuk menyiasati hal tersebut, Sudirman selalu mengajak para kepala divisi untuk berdiskusi setiap hari Jumat, menceritakan permasalahan, dan mencari jalan keluarnya. ”Makanya saya selalu bilang, bekerja harus belajar terus. Gali ilmunya mereka,” pungkasnya. (*)
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7776 seconds (0.1#10.140)