Aturan FCTC Matikan Industri Rokok
A
A
A
JAKARTA - Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan, ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak 10 tahun lalu merupakan upaya untuk mengurangi produksi rokok.
”FCTC dengan beberapa peraturan turunannya seperti larangan iklan, peringatan kesehatan bergambar, muaranya untuk mengurangi produksi rokok. Semua aturan FCTC akan mematikan industri hasil tembakau (IHT),” kata Ketua Umum AMTI Budidoyo di Jakarta, saat media breakfasting di Jakarta, Selasa (30/1).
Sektor IHT, menurut Budidoyo, merupakan sektor padat karya. Sehingga, upaya mematikan industri ini akan berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. ”Perkembangan FCTC semakin mengancam keberadaan petani tembakau secara sistematis melalui berbagai pedomannya yang eksesif dan tidak rasional. Larangan penggunaan cengkeh untuk rokok dan penerapan kemasan polos rokok, yang mulai diterapkan di beberapa negara selain Australia, adalah contoh utama dari beberapa pedoman FCTC,” papar Budidoyo.
Budidoyo menilai, semua pelaku usaha di sektor tembakau bukan anti regulasi, tapi ingin regulasi yang adil, sebab industri tembakau adalah industri legal. ”FCTC sangat merugikan dua komoditas utama industri rokok yaitu tembakau dan cengkeh,” ujarnya.
Budidoyo melanjutkan, aturan FCTC tidak sekadar mematikan industri ini, namun secara sistematis akan berdampak luas terhadap industri hasil tembakau (IHT). ”Industri tembakau sebagai industri yang legal juga butuh regulasi yang komprehensif, adil, dan berimbang serta bisa menjadikan kepastian baik petani, pekerja, dan pabrikan,” jelasnya.
Budidoyo mengungkapkan, pada 2013-2014 telah banyak pengurangan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan besar. Tahun lalu terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 10.000 orang. Tentunya ini berdampak terhadap perekonomian. ”Penutupan pabrik akan berpengaruh terhadap usaha di lingkungan pabrik. Artinya, jika pemerintah tidak peduli terhadap persoalan ini, ini akan semakin berat,” tegasnya.
Menurutnya, Indonesia sudah cukup dengan adanya Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 yang seharusnya diimplementasikan dengan baik. ”Kita ingin ada regulasi nasional yang bisa dipatuhi semua pihak sehingga tidak terjadi tumpang tindih. PP yang menjadi acuan banyak diabaikan dengan alasan kearifan lokal,” tuturnya.
Budidoyo menambahkan, industri tembakau sampai hari ini masih menjadi industri yang legal. Oleh karena itu, industri ini berhak mendapat ruang untuk berusaha dan mengembangkan diri. ”Tema yang mau kami junjung harmonisasi, kesetaraan. Menurut kami, regu-lasi itu bisa diimplementasikan dan dilakukan dengan baik sehingga tidak ada lagi regulasi yang bertentangan,” katanya.
Ketua Departemen Advokasi dan Hubungan Antar Lembaga AMTI Soeseno menambahkan, FCTC yang mulanya bertujuan untuk mengamankan petani tembakau, berubah menjadi pendorong petani untuk mengonversi tanaman tembakau ke tanaman lain.
”Kenyataan riil bahwa, pertama, pada tingkatan global tidak mungkin mengurangi pasokan tembakau pada satu negara karena pasokan tersebut akan diisi negara lain, mengingat perdagangan tembakau masih dipandang menguntungkan. Kedua , konversi tidak bisa dilakukan karena secara agronomis tidak memungkinkan,” tutur Soeseno.
Soeseno menambahkan, industri hasil tembakau menjadi salah satu industri prioritas nasional. Oleh karena itu, diperlukan kemitraan antara petani tembakau dengan perusahaan pabrik rokok. ”Tanaman tembakau ini berbasis bisnis yang nantinya jadi industri rokok. Hampir semua industri rokok di Indonesia memakai tembakau dalam negeri terutama rokok keretek,” imbuhnya.
Oktiani endarwati
”FCTC dengan beberapa peraturan turunannya seperti larangan iklan, peringatan kesehatan bergambar, muaranya untuk mengurangi produksi rokok. Semua aturan FCTC akan mematikan industri hasil tembakau (IHT),” kata Ketua Umum AMTI Budidoyo di Jakarta, saat media breakfasting di Jakarta, Selasa (30/1).
Sektor IHT, menurut Budidoyo, merupakan sektor padat karya. Sehingga, upaya mematikan industri ini akan berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. ”Perkembangan FCTC semakin mengancam keberadaan petani tembakau secara sistematis melalui berbagai pedomannya yang eksesif dan tidak rasional. Larangan penggunaan cengkeh untuk rokok dan penerapan kemasan polos rokok, yang mulai diterapkan di beberapa negara selain Australia, adalah contoh utama dari beberapa pedoman FCTC,” papar Budidoyo.
Budidoyo menilai, semua pelaku usaha di sektor tembakau bukan anti regulasi, tapi ingin regulasi yang adil, sebab industri tembakau adalah industri legal. ”FCTC sangat merugikan dua komoditas utama industri rokok yaitu tembakau dan cengkeh,” ujarnya.
Budidoyo melanjutkan, aturan FCTC tidak sekadar mematikan industri ini, namun secara sistematis akan berdampak luas terhadap industri hasil tembakau (IHT). ”Industri tembakau sebagai industri yang legal juga butuh regulasi yang komprehensif, adil, dan berimbang serta bisa menjadikan kepastian baik petani, pekerja, dan pabrikan,” jelasnya.
Budidoyo mengungkapkan, pada 2013-2014 telah banyak pengurangan tenaga kerja di perusahaan-perusahaan besar. Tahun lalu terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 10.000 orang. Tentunya ini berdampak terhadap perekonomian. ”Penutupan pabrik akan berpengaruh terhadap usaha di lingkungan pabrik. Artinya, jika pemerintah tidak peduli terhadap persoalan ini, ini akan semakin berat,” tegasnya.
Menurutnya, Indonesia sudah cukup dengan adanya Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 yang seharusnya diimplementasikan dengan baik. ”Kita ingin ada regulasi nasional yang bisa dipatuhi semua pihak sehingga tidak terjadi tumpang tindih. PP yang menjadi acuan banyak diabaikan dengan alasan kearifan lokal,” tuturnya.
Budidoyo menambahkan, industri tembakau sampai hari ini masih menjadi industri yang legal. Oleh karena itu, industri ini berhak mendapat ruang untuk berusaha dan mengembangkan diri. ”Tema yang mau kami junjung harmonisasi, kesetaraan. Menurut kami, regu-lasi itu bisa diimplementasikan dan dilakukan dengan baik sehingga tidak ada lagi regulasi yang bertentangan,” katanya.
Ketua Departemen Advokasi dan Hubungan Antar Lembaga AMTI Soeseno menambahkan, FCTC yang mulanya bertujuan untuk mengamankan petani tembakau, berubah menjadi pendorong petani untuk mengonversi tanaman tembakau ke tanaman lain.
”Kenyataan riil bahwa, pertama, pada tingkatan global tidak mungkin mengurangi pasokan tembakau pada satu negara karena pasokan tersebut akan diisi negara lain, mengingat perdagangan tembakau masih dipandang menguntungkan. Kedua , konversi tidak bisa dilakukan karena secara agronomis tidak memungkinkan,” tutur Soeseno.
Soeseno menambahkan, industri hasil tembakau menjadi salah satu industri prioritas nasional. Oleh karena itu, diperlukan kemitraan antara petani tembakau dengan perusahaan pabrik rokok. ”Tanaman tembakau ini berbasis bisnis yang nantinya jadi industri rokok. Hampir semua industri rokok di Indonesia memakai tembakau dalam negeri terutama rokok keretek,” imbuhnya.
Oktiani endarwati
(ftr)