Tingkatkan Bank Syariah, 18 Bank Gunakan Mini MRA
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 18 bank anggota Indonesian Islamic Global Market Association (IIGMA) sepakat menggunakan Mini Master Repo Agreement (MRA) Syariah sebagai dokumen acuan pada Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Berdasarkan Prinsip Syariah (Transaksi Repo Syariah).
Hal tersebut sebagai salah satu solusi menangani masalah likuiditas di perbankan syariah serta untuk mendorong peningkatan transaksi di pasar sukuk dan PUAS (Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah). Kesepakatan ini diwujudkan melalui penandatangan MoU pada 2 Juli 2015 di Jakarta.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto mengatakan, transaksi repo syariah adalah transaksi penjualan surat berharga syariah oleh peserta PUAS kepada peserta PUAS lainnya yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dengan janji pembelian kembali untuk jangka waktu sampai dengan satu tahun.
"Mekanisme transaksi repo syariah telah diatur sebelumnya oleh Bank Indonesia melalui PBI No 17/4/2015 tanggal 27 April 2015 dan SEBI No.17/10/DKMP," ujarnya dalam rilis, Kamis (2/7/2015).
Kesepakatan ini dilakukan karena mempertimbangkan potensi industri keuangan syariah di Indonesia, sedangkan di sisi lain pengelolaan likuiditas dalam dunia keuangan syariah belum optimal.
Potensi perkembangan industri keuangan syariah ditandai dengan telah berdirinya 12 bank umum syariah, 22 Unit Usaha Syariah dan 162 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan jumlah kantor mencapai 2891 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Prospek pasar keuangan syariah juga tumbuh sangat baik di Indonesia, sampai dengan Mei 2015 total emisi Sukuk telah mencapai Rp13,57 triliun.
Pengelolaan likuditas dalam industri keuangan syariah merupakan salah satu tantangan yang paling mengemuka, kendala yang dihadapi antara lain masih terbatasnya credit line dan credit limit antar pelaku, limit likuiditas yang dapat diberikan induk relatif terbatas dan akan sangat berkaitan dengan kondisi likuiditas induk.
Selain itu, tidak semua Bank Umum Syariah (BUS) memiliki induk sehingga kebutuhan likuiditas yang mendesak belum tentu dapat diatasi dalam waktu singkat, pasar sekunder Sukuk yang terbatas serta deposito antar Bank yang relatif mahal dan berkaitan dengan ada atau tidak adanya credit line.
Dia mengharapkan dengan adanya kesepakatan ini, pengelolaan likuditas industri keuangan syariah khususnya perbankan syariah dapat terjaga serta mampu mendorong peningkatan transaksi baik di pasar Sukuk maupun PUAS.
Pada akhirnya akan semakin memantapkan program financial market deepening yang saat ini menjadi salah satu kebijakan strategis di Bank Indonesia.
"Ke depan, kesiapan infrastruktur dan instrument pasar keuangan syariah dalam pengelolan likuiditas sangat diperlukan sejalan dengan makin tingginya komitmen pemerintah untuk mendukung perkembangan industri keuangan syariah," tutupnya.
Hal tersebut sebagai salah satu solusi menangani masalah likuiditas di perbankan syariah serta untuk mendorong peningkatan transaksi di pasar sukuk dan PUAS (Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah). Kesepakatan ini diwujudkan melalui penandatangan MoU pada 2 Juli 2015 di Jakarta.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Erwin Rijanto mengatakan, transaksi repo syariah adalah transaksi penjualan surat berharga syariah oleh peserta PUAS kepada peserta PUAS lainnya yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah dengan janji pembelian kembali untuk jangka waktu sampai dengan satu tahun.
"Mekanisme transaksi repo syariah telah diatur sebelumnya oleh Bank Indonesia melalui PBI No 17/4/2015 tanggal 27 April 2015 dan SEBI No.17/10/DKMP," ujarnya dalam rilis, Kamis (2/7/2015).
Kesepakatan ini dilakukan karena mempertimbangkan potensi industri keuangan syariah di Indonesia, sedangkan di sisi lain pengelolaan likuiditas dalam dunia keuangan syariah belum optimal.
Potensi perkembangan industri keuangan syariah ditandai dengan telah berdirinya 12 bank umum syariah, 22 Unit Usaha Syariah dan 162 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) dengan jumlah kantor mencapai 2891 yang tersebar di seluruh Indonesia.
Prospek pasar keuangan syariah juga tumbuh sangat baik di Indonesia, sampai dengan Mei 2015 total emisi Sukuk telah mencapai Rp13,57 triliun.
Pengelolaan likuditas dalam industri keuangan syariah merupakan salah satu tantangan yang paling mengemuka, kendala yang dihadapi antara lain masih terbatasnya credit line dan credit limit antar pelaku, limit likuiditas yang dapat diberikan induk relatif terbatas dan akan sangat berkaitan dengan kondisi likuiditas induk.
Selain itu, tidak semua Bank Umum Syariah (BUS) memiliki induk sehingga kebutuhan likuiditas yang mendesak belum tentu dapat diatasi dalam waktu singkat, pasar sekunder Sukuk yang terbatas serta deposito antar Bank yang relatif mahal dan berkaitan dengan ada atau tidak adanya credit line.
Dia mengharapkan dengan adanya kesepakatan ini, pengelolaan likuditas industri keuangan syariah khususnya perbankan syariah dapat terjaga serta mampu mendorong peningkatan transaksi baik di pasar Sukuk maupun PUAS.
Pada akhirnya akan semakin memantapkan program financial market deepening yang saat ini menjadi salah satu kebijakan strategis di Bank Indonesia.
"Ke depan, kesiapan infrastruktur dan instrument pasar keuangan syariah dalam pengelolan likuiditas sangat diperlukan sejalan dengan makin tingginya komitmen pemerintah untuk mendukung perkembangan industri keuangan syariah," tutupnya.
(izz)