Belanjalah dan Boroslah

Minggu, 05 Juli 2015 - 10:35 WIB
Belanjalah dan Boroslah
Belanjalah dan Boroslah
A A A
Di tengah lesunya perekonomian kita dan melambatnya pertumbuhan, jumlah nasabah kaya yaitu yang memiliki simpanan di bank di atas Rp2 miliar justru meningkat.

Menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dana pihak ketiga (DPK) dengan simpanan di atas Rp2 miliar per April 2015 berjumlah 210.668 rekening. Angka ini tumbuh 15,8% secara year on year (yoy) dibandingkan April 2014 yang hanya 181.965 rekening.

Tahun lalu juga meningkat 12,3% dibandingkan April 2013 yang hanya 162.036 rekening. Nominalnya, nilai DPK yang dihimpun dalam simpanan di atas Rp2 miliar itu mencapai Rp 2.351,6 triliun, naik 18,9% yoy dari kondisi April 2014 dengan simpanan senilai Rp 1.978,3 triliun dan dari Rp 1.769,5 triliun pada April 2013.

Butuh Investasi Riil

Dalam menyikapi dunia usaha dan kegiatan bisnis yang sedang menurun, para nasabah sangat kaya ternyata menambah simpanannya di perbankan. Menaruh dana di bank untuk memperoleh bunga deposito menjadi pilihan utama para pengusaha besar kita dalam kondisi penuh ketidakpastian belakangan ini. Padahal di saat susah diperlukan peningkatan investasi riil.

Tanpa ekspansi usaha, tidak akan ada pertumbuhan ekonomi dan tanpa pertumbuhan ekonomi, tidak ada penciptaan lapangan kerja baru. Sudah waktunya, suku bunga deposito diturunkan untuk memberikan disintensif agar dana itu tidak hanya diparkir di bank. Dari sisi fiskal, kita menyambut penghasilan tidak kena pajak (PTKP) baru dan dihapuskannya pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk menggenjot perekonomian kita. Dengan PTKP baru, kini bujangan dengan penghasilan kurang dari Rp3 juta sebulan tidak akan kena pajak penghasilan (PPh).

Ini akan meningkatkan daya beli sebagian besar masyarakat kita. Sementara itu, penghapusan PPnBM diharapkan akan mendorong banyak orang kaya lebih suka membeli barang mewah di sini daripada di luar negeri karena harganya relatif sama. Ini akan meramaikan mal dan perdagangan barang-barang itu di negara kita dan menahan mereka untuk berbelanja di luar negeri. Walaupun saya tidak gemar barang mewah, saya mendukung kebijakan ini demi pemulihan ekonomi kita. Mengapa saya tidak menyukai barang-barang berkelas?

Di mata saya, harga produk branded beberapa kali lipat biaya produksinya. Jika Anda membeli tas Louis Vuitton, jam tangan Rolex, dan mobil Jaguar misalnya, harga yang Anda bayarkan sebagian besar untuk membeli gengsi. Produk ini sengaja dihargai tinggi di atas biayanya agar hanya terjangkau segelintir konsumen saja.

Jika dihargai rendah, produk premium ini akan kehilangan daya tariknya di kalangan atas sebagai produk layak beli. Sementara kelas menengah dan bawah sejak awal merasa tidak mampu memilikinya. Karena mencari uang buat saya tidak semudah ratusan ribu pengusaha di atas, saya pun tahu diri untuk menghindari produk-produk bermerek ini.

Boroslah

Jika ekonomi Anda juga belum masuk kelompok atas, mestinya Anda setuju dengan pandangan saya soal produk bermerek. Namun, kita harus berterima kasih kepada kelompok atas yang bersedia mengoleksi produk-produk itu. Karena merekalah, mal-mal kelas atas seperti Plaza Indonesia, Plaza Senayan, dan Pondok Indah Mal 2 dapat terus bertahan. Tanpa adanya orang-orang kaya yang boros, mal-mal di atas sangat mungkin mesti turun kelas.

Untuk dapat berputar cepat dan menciptakan banyak pekerjaan baru, perekonomian memerlukan orang-orang kaya yang royal dalam membelanjakan uangnya. Masyarakat mampu yang jarang makan di luar, jarang rekreasi, dan hanya sesekali berbelanja di mal membuat ekonomi mengalir lambat. Tidak diperlukan banyak restoran dan hotel mahal jika semua masyarakat hemat dalam membelanjakan uangnya.

Intinya, untuk yang mampu, hemat dan irit itu baik untuk Anda dan keluarga tetapi buruk untuk perekonomian dan dikenal sebagai paradox of thrifty . Bayangkan jika orang beli pakaian, sepatu, dan sandal hanya menjelang hari raya atau ketika barang yang dimilikinya sudah rusak. Jika ini terjadi, banyak toko baju dan sepatu yang harus tutup. Mal-mal yang beroperasi pun sebagian besar akan kosong melompong karena pembelinya jarang dan sedikit.

Dengan rendahnya penjualan pakaian dan sepatu, usaha konveksi dan pabrik yang menjadi pemasoknya juga akan sepi order. Bukannya akan ekspansi dan menambah tenaga kerja baru, usaha yang ada justru harus mengurangi jam kerja karyawannya bahkan pemutusan hubungan kerja seperti yang sudah terjadi di industri tambang dan migas yang harga dan permintaannya terus merosot selama beberapa tahun terakhir. Akibatnya, pengangguran akan melesat dan daya beli semakin melemah yang dapat bermuara ke resesi.

Belanjakan Uang Anda

Karena itu, saya sungguh berharap Anda yang kaya dengan kas yang sangat memadai dan bebas dari utang saat ini bersikap boros dalam membelanjakan uang Anda demi membuat ekonomi di sekitar Anda bergeliat. Habiskanlah THR Anda. Sedapat mungkin, Anda membeli di tukang sayur, tukang buah, atau pasar tradisional dekat rumah agar uang tidak hanya berputar di kalangan menengah atas saja.

Mana ada perencana keuangan lain yang memberikan rekomendasi seperti saya karena mempertimbangkan juga perekonomian makro. Tanpa dukungan kita semua, kebijakan yang dibuat pemerintah tidak banyak artinya. Dengan melakukan hal yang sederhana ini, Anda membantu ekonomi nasional kembali bergairah. Saya pun tidak ragu mengeluarkan uang lebih banyak daripada yang dapat saya hasilkan dalam dua tahun terakhir atau dissaving, bahasa kerennya.

Inilah enaknya jika Anda bebas utang apalagi jika sudah bebas finansial. Nasihat saya di atas tentu saja tidakberlakuuntukmerekayang masih menanggung banyak kredit seperti KPR, KKB, kredit multiguna, apalagi kredit tanpa agunan (KTA) dan utang kartu kredit. Sangat tidak bijak bagi siapa pun untuk boros menggunakan dana pinjaman.

Budi Frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan Independen, www.fund-and-fun.com @BudiFrensidy
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0281 seconds (0.1#10.140)