USD Makin Perkasa, Sirine Awal Krisis Keuangan Global
A
A
A
NEW YORK - Semakin perkasanya nilai tukar dolar Amerika Serikat (USD) terhadap beberapa mata uang negara lain menjadi sinyal atau sirine awal munculnya krisis keuangan global dan krisis mata uang lain.
Menurut Capital Economics seperti dilansir dari CNNMoney, mata uang Brazil pada Senin lalu merosot ke level terendah selama 12 tahun terakhir.
Mata uang Asia Tenggara berada di titik terburuk sejak krisis keuangan terakhir di kawasan tersebut pada 1990-an. Nilai tukar mata uang Meksiko dan Afrika Selatan terhadap USD juga berada pada titik terendah yang pernah terjadi.
Keuntungan USD pun harus membuat sejarah kutu buku goyang. Menguat kembali (reli) pada awal 1980, USD telah memicu krisis utang di Amerika Latin. Lima belas tahun kemudian, greenback naik cepat lagi dan menyebabkan ekonomi Asia Tenggara, seperti Thailand runtuh.
Krisis mata uang skala besar bisa menjadi pukulan nyata untuk ekonomi global, bahkan untuk Amerika Srikat sekalipun. Sebab, kini dunia lebih banyak terintegrasi dibanding pada 1980-an atau 1990-an. Dengan kata lain, risiko pasar saham China mungkin menjadi awal dari masalah untuk pasar negara berkembang.
"Ini akan menempatkan dimensi lain dari tekanan pada banyak pasar negara berkembang di masa mendatang," kata profesor di Cornell Johnson Graduate School of Management Andrew Karolyi seperti dikutip dari CNNMoney, Rabu (29/7/2015).
Menurutnya, tiga hal yang muncul secara bersama dan berpotensi menyebabkan krisis antara lain, dolar mendapatkan tempat sebagai mata uang utama, The Federal Reserve (The Fed) berencana menaikkan suku bunga acuannya pada September, dan harga komoditas yang menjadi mesin untuk pasar negara berkembang merosot tajam.
Banyak investor di negara berkembang yang panik terhadap rilis The Fed dan kenaikan USD. Para ahli mengatakan, pada Maret 2015 USD melonjak hingga mencapai rekor tertinggi selama 40 tahun. Berdasarkan data dari St Louis Federal Reserve Bank, USD melonjak lagi hingga 20% dibanding tahun lalu terhadap mata uang utama dunia.
Selain kenaikan USD, perlambatan ekonomi China yang menurunkan permintaan komoditas, meningkatkan kekhawatiran tentang bagaimana ekonomi yang didorong oleh ekspor akan berkembang sementara pembeli utama jatuh terpuruk.
Belum lagi, beberapa negara memiliki masalah ekonomi masing-masing. Seperti Yunanni yang kini meluncur turun sebagai bangsa dalam kategori emerging market.
Para ahli mengatakan, negara berkembang yang telah melakukan reformasi struktural dalam perekonomiannya, seperti India dan Meksiko akan lebih tahan banting menghadapi keperkasaan USD.
Namun, bagi negara yang terlambat melakukan reformasi struktural seperti Brazil, keperkasaan USD akan menjadi pukulan telak dan menyebabkan perekonomian mereka babak belur.
Menurut Capital Economics seperti dilansir dari CNNMoney, mata uang Brazil pada Senin lalu merosot ke level terendah selama 12 tahun terakhir.
Mata uang Asia Tenggara berada di titik terburuk sejak krisis keuangan terakhir di kawasan tersebut pada 1990-an. Nilai tukar mata uang Meksiko dan Afrika Selatan terhadap USD juga berada pada titik terendah yang pernah terjadi.
Keuntungan USD pun harus membuat sejarah kutu buku goyang. Menguat kembali (reli) pada awal 1980, USD telah memicu krisis utang di Amerika Latin. Lima belas tahun kemudian, greenback naik cepat lagi dan menyebabkan ekonomi Asia Tenggara, seperti Thailand runtuh.
Krisis mata uang skala besar bisa menjadi pukulan nyata untuk ekonomi global, bahkan untuk Amerika Srikat sekalipun. Sebab, kini dunia lebih banyak terintegrasi dibanding pada 1980-an atau 1990-an. Dengan kata lain, risiko pasar saham China mungkin menjadi awal dari masalah untuk pasar negara berkembang.
"Ini akan menempatkan dimensi lain dari tekanan pada banyak pasar negara berkembang di masa mendatang," kata profesor di Cornell Johnson Graduate School of Management Andrew Karolyi seperti dikutip dari CNNMoney, Rabu (29/7/2015).
Menurutnya, tiga hal yang muncul secara bersama dan berpotensi menyebabkan krisis antara lain, dolar mendapatkan tempat sebagai mata uang utama, The Federal Reserve (The Fed) berencana menaikkan suku bunga acuannya pada September, dan harga komoditas yang menjadi mesin untuk pasar negara berkembang merosot tajam.
Banyak investor di negara berkembang yang panik terhadap rilis The Fed dan kenaikan USD. Para ahli mengatakan, pada Maret 2015 USD melonjak hingga mencapai rekor tertinggi selama 40 tahun. Berdasarkan data dari St Louis Federal Reserve Bank, USD melonjak lagi hingga 20% dibanding tahun lalu terhadap mata uang utama dunia.
Selain kenaikan USD, perlambatan ekonomi China yang menurunkan permintaan komoditas, meningkatkan kekhawatiran tentang bagaimana ekonomi yang didorong oleh ekspor akan berkembang sementara pembeli utama jatuh terpuruk.
Belum lagi, beberapa negara memiliki masalah ekonomi masing-masing. Seperti Yunanni yang kini meluncur turun sebagai bangsa dalam kategori emerging market.
Para ahli mengatakan, negara berkembang yang telah melakukan reformasi struktural dalam perekonomiannya, seperti India dan Meksiko akan lebih tahan banting menghadapi keperkasaan USD.
Namun, bagi negara yang terlambat melakukan reformasi struktural seperti Brazil, keperkasaan USD akan menjadi pukulan telak dan menyebabkan perekonomian mereka babak belur.
(izz)