Pemerintah-BI Utamakan Stabilitas Ekonomi

Rabu, 05 Agustus 2015 - 10:01 WIB
Pemerintah-BI Utamakan...
Pemerintah-BI Utamakan Stabilitas Ekonomi
A A A
JAKARTA - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyatakan lebih fokus menjaga stabilitas makro daripada mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Untuk itu, koordinasi bauran kebijakan moneter dan fiskal serta reformasi struktural terus dijalankan. Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, krisis ekonomi 1997/1998 terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan penguatan makroekonomi.

Menurut dia, ekonomi yang tidak stabil berpotensi besar kolaps bila terjadi guncangan dari faktor eksternal. ”Berbeda dengan sekarang. Meski tekanan (eksternal) luar biasa, ekonomi tetap stabil. Pertumbuhan (ekonomi) tetap jalan,” kata Bambang seusai rapat koordinasi dengan BI dan sejumlah kementerian/lembaga ekonomi di Kantor BI, Jakarta, kemarin. Meskipun begitu, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal ini mengatakan, pihaknya terus mencari celah mengeluarkan stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dia pun menilai anjloknya harga komoditas mendorong pemerintah fokus pada investasi.

”Untuk swasta, kita terus menderegulasi perizinan karena perizinan ini terlalu banyak dan terlalu lama,” ucap dia. Sementara, realisasi investasi pemerintah Bambang mengakui masih rendah. Dia mengungkapkan, per akhir Juli 2015, belanja modal baru 15% atau Rp43,5 triliun dari total pagu APBN-P 2015 sebesar Rp290 triliun. Namun, realisasi belanja modal pada akhir tahun akan mencapai 80- 85% karena pola berulang penyerapan anggaran yang terakselerasi di semester II/2015.

Gubernur BI Agus DW Martowardojo mengatakan, berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemerintah, fundamental ekonomi Indonesia masih baik. Berbagai indikator ekonomi makro selama semester awal, seperti tingkat inflasi, neraca transaksi berjalan, dan neraca perdagangan dinilai sehat. Menurut Agus, tantangan ekonomi nasional ke depan datang dari faktor eksternal berupa perlambatan ekonomi global yang terus berlangsung dalam dua tahun terakhir.

Perekonomian China yang melambat, turunnya harga komoditas, dan rencana kenaikan suku bunga The Fed akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Mantan Menteri Keuangan ini menambahkan, perlambatan ekonomi domestik selama s e m e s t e r I/2015 juga ikut memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah di samping rencana The Fed. Dia menilai, depresiasi rupiah terhadap dolar AS pada Juli 2015 atau month-to-date juga bisa ditekan di bawah 1%.

”Tapi, sekarang kita akan punya pertumbuhan ekonomi di atas 5% dan ini adalah satu kepercayaan cukup baik. Kalau kemarin, ada tekanan terhadap rupiah karena ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi akan melemah,” tambahnya. Agus mengatakan, secara tahun kalender (Januari-Juli 2015) atau year-to-date, depresiasi rupiah mencapai 8,5%. Dia menjamin BI akan terus memantau perkembangan nilai tukar rupiah sekaligus mengintervensinya agar volatilitas rupiah tetap terjaga.

Direktur Eksekutif Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, meski fungsi utamanya adalah menjaga stabilitas makroekonomi, pemerintah dan BI sebaiknya memastikan bahwa stabilitas itu tetap mendorong pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, stabilitas bukanlah tujuan akhir.

”Stabilitas itu tujuan jangka menengah, karena tujuan akhirnya tetap mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin. Enny mengingatkan, terkait klaim inflasi yang relatif rendah menurut dia bukan disebabkan melimpahnya suplai barang, melainkan disebabkan tertekannya permintaan karena daya beli masyarakat yang turun secara drastis. Kondisi ini pun dinilainya akan menekan sektor riil karena keuntungan mereka tergerus.

”Kelas menengah ke bawah daya belinya turun, sementara kelas menengah dimanjakan kebijakan moneter karena suku bunga yang tinggi sehingga memilih untuk melipatgandakan dananya melalui giro, deposito, surat berharga, dan lain-lain ketimbang berinvestasi di sektor riil,” kata dia.

Tingginya suku bunga acuan yang ditetapkan BI pun membuat pembiayaan di sektor produktif menjadi minim. Rasio peran perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB) bahkan masih tergolong rendah. ”Ini menjadi persoalan karena stabilitas tidak mendorong pertumbuhan (ekonomi),” tandasnya.

Rahmat fiansyah
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0679 seconds (0.1#10.140)