Mencermati Aturan Pembatasan Lahan

Rabu, 12 Agustus 2015 - 09:18 WIB
Mencermati Aturan Pembatasan Lahan
Mencermati Aturan Pembatasan Lahan
A A A
Pada 28 April 2015 terbitlah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi.

Apa saja manfaat yang dipetik pengembang (developer) dan bank nasional dengan kredit pemilikan rumah (KPR)? Peraturan menteri (Permen) itu mempertimbangkan, dalam rangka memperoleh tanah untuk kepentingan penanaman modal diperlukan adanya izin lokasi sebelum suatu perusahaan melakukan pembebasan atau pelepasan hak atas tanah dari masyarakat.

Lantas, apa relevansinya dengan pengembang? Aturan itu amat berkaitan dengan kegiatan bisnis perumahan atau permukiman oleh pengembang. Dengan tegas, aturan itu membatasi lahan lokasi untuk usaha pembangunan perumahan dan permukiman (pasal 4). Untuk kawasan perumahan, permukiman, dan kawasan industri, satu provinsi maksimal 400 hektare dan di seluruh Indonesia maksimal 4.000 hektare.

Sementara itu, untuk kawasan resor perhotelan, satu provinsi justru lebih kecil lagi, yakni maksimal 200 hektare dan di seluruh Indonesia maksimal 4.000 hektare. Untuk usaha perkebunan yang diusahakan dalam bentuk perkebunan besar dengan diberikan hak guna usaha (HGU), diberikan pembatasan untuk komoditas tebu, satu provinsi maksimal 60.000 hektare dan seluruh Indonesia 150.000 hektare.

Untuk komoditas pangan lainnya, satu provinsi maksimal 20.000 hektare dan seluruh Indonesia 100.000 hektare. Untuk usaha tambak di Pulau Jawa, satu provinsi maksimal 100 hektare dan seluruh Indonesia maksimal 1.000 hektare. Untuk usaha tambak di luar Pulau Jawa, satu provinsi maksimal 200 hektare dan seluruh Indonesia maksimal 3.000 hektare.

Namun, ada perkecualian untuk Provinsi Papua dan Papua Barat. Untuk kedua provinsi tersebut, maksimum luas penguasaan tanah dua kali maksimum luas penguasaan tanah untuk satu provinsi. Pasal itu muncul mungkin dengan pertimbangan di kedua provinsi itu masih tersedia banyak lahan dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Aneka Manfaat

Pertama, mendorong pembangunan perumahan lebih optimal. Tentang jumlah backlog(kekurangan pasokan rumah tinggal), minimal terdapat dua angka. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), backlogmencapai 13,6 juta unit rumah, sementara data lain menyatakan backlog bahkan telah mencapai 15 juta unit rumah.

Hal yang lebih penting adalah bagaimana mencari upaya untuk mengurangi backlog tersebut sehingga semakin menipis. Data menunjukkan, kebutuhan rumah rata-rata mencapai 800.000 unit rumah per tahun. Angka kebutuhan tersebut muncul dengan asumsi bahwa setiap pasangan suami istri (pasutri) baru akan membutuhkan satu rumah.

Namun, pemerintah hanya mampu membangun 400.000 unit rumah per tahun. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan Program Sejuta Rumah pada 2015. Artinya, setiap tahun pemerintah akan membangun sejuta unit rumah sampai dengan 2019. Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah telah membagi penugasan kepada tiga pelaku.

Pertama, pemerintah akan membangun 98.000 unit rumah. Kedua, pembangunan dilakukan oleh Perumnas yang mempunyai tugas untuk memenuhi kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pada 2015, Perumnas hanya diberi tugas untuk membangun 36.000 unit rumah yang terdiri atas rumah susun (rusun) dan rumah tapak.

Ketiga, berbagai organisasi antara lain Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) dan Asosiasi Pengembang Rumah Sederhana Sehat Nasional (Apernas). Nah, aturan pembatasan lahan perumahan atau permukiman itu antara lain bertujuan mendorong percepatan pembangunan perumahan sehingga semakin banyak.

Dengan bahasa lebih bening, pengembang didorong untuk segera memanfaatkan lahan yang telah tersedia untuk pembangunan perumahan. Apalagi, aturan tersebut juga menetapkan bahwa tanah yang sudah diperoleh wajib dimanfaatkan/digunakan sesuai dengan peruntukannya (pasal 8). Secara makro, langkah strategis tersebut otomatis akan menekan backlogselama ini.

Kedua, menyeimbangkan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply). Ketika semua pengembang bertekad untuk melakukan pembangunan perumahan lebih banyak dan lebih cepat, akan tercapai keseimbangan antara permintaan dan penawaran. KPR bank nasional pun makin marak.

Harus diakui bahwa selama ini permintaan lebih besar daripada penawaran perumahan. Itulah sebabnya muncul backlog. Dapat diduga, backlogakan terus terjadi, tapi paling tidak backlog akan semakin berkurang secara signifikan. Mengapa backlogakan terus berlangsung? Lantaran, semakin banyak pasangan suami istri baru, akan semakin banyak pula kebutuhan akan perumahan. Ditambah lagi, angkatan kerja baru yang selalu meningkat setiap tahun.

Ketiga, mencegah spekulan tanah. Sesungguhnya, dengan aturan pembatasan lahan untuk pengembangan perumahan, kawasan industri, perkebunan, dan usaha tambak itu, pemerintah juga bertujuan untuk mencegah terjadi spekulasi tanah. Sangat dicemaskan telah menjadi kenyataan bahwa pemilik lahan luas menjadi spekulan lahan dengan membiarkan lahan bukan untuk peruntukannya.

Nah, ketika harga tanah semakin melambung tinggi, lahan itu kemudian dijual kepada pihak lain dengan harga yang sudah pasti lebih tinggi. Apa yang akan terjadi kalau lahan itu kemudian dibangun untuk perumahan? Harga perumahan itu akan terlalu tinggi di mata konsumen, terlebih bagi nasabah kredit pemilikan rumah (KPR) terutama MBR. Dengan bahasa terang-benderang, harga itu sudah tidak wajar lagi atau terlalu tinggi (overvalued).

Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan
(ars)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5139 seconds (0.1#10.140)