Nilai Tukar Berdampak Jangka Pendek
A
A
A
NUSA DUA - Ahli pariwisata global menyatakan, kelesuan ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar mata uang hanya akan berdampak jangka pendek pada sektor pariwisata.
Pemerintah dan pelaku usaha pariwisata pun diminta jangan pasrah pada kondisi saat ini dan harus tetap berpromosi serta membangun produk pariwisata yang bermutu.
Demikian disampaikan Penasihat Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi pariwisata global (UNWTO) Luigi Cabriani di sela-sela Forum Bisnis Regional Ke-4 Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) di Nusa Dua, Bali, yang digelar 27-29 Agustus 2015.
Menurut Luigi, gejolak nilai tukar memang berdampak pada sektor pariwisata tetapi hanya dalam jangka pendek. Dia mencontohkan, penguatan dolar AS terhadap euro dalam setahun terakhir mendorong banyak turis AS berwisata ke Eropa. Pada saat yang sama, ekonomi global lesu dan banyak negara mengalami pelemahan mata uang sehingga banyak orang yang menunda perjalanan wisatanya ke luar negeri atau menghemat pengeluarannya selama berwisata.
”Fluktuasi (nilai tukar) ini relevan dengan pariwisata tapi dampaknya hanya jangka pendek. Jadi, janganmenyusunstrategi berdasar fluktuasi nilai tukar karena tidak akan bertahanlama,” kataLuigisaat berbincang dengan KORAN SINDO. Luigi mengingatkan, hal yang menjamin bahwa suatu destinasi wisata akan bertahan dalam jangka panjang adalah kualitas produk.
Destinasi wisata dapat bertahan juga tergantung aspek sustainability atau kelestarian destinasi, serta upaya promosi atau pengenalan yang membuat merek atau branding suatu destinasi wisata dikenal di seluruh dunia. ”Dengan memperhatikan tiga hal ini maka suatu destinasi wisata akan mendapat manfaat jangka panjang dan berkelanjutan dari pasar pariwisata dunia,” tutur Kepala Global Sustainable Tourism Council (GSTC) itu.
Berdasarkan catatan UNWTO, jumlah turis mancanegara yang bepergian ke luar negeri pada 2014 mencapai 1,14 miliar orang atau meningkat 4,7% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah tersebut diproyeksikan meningkat antara 3- 4% pada tahun ini. Hal ini sejalan dengan proyeksi jangka panjang UNWTO yang meramalkan pertumbuhan turis mancanegara pada kisaran 3,8% per tahun pada periode 2010-2020.
Penasihat Kementerian Pariwisata (Honorary Advisor) Indroyono Soesilo mengatakan, seseorang dengan pendapatan per kapita USD10.000 dolar per tahun pasti akan mengalokasikan anggaran untuk berwisata. Terlebih lagi orang dengan pendapatan di atas USD20.000 per tahun, umumnya akan berwisata ke luar negeri. Hal inilah yang terjadi pada orang-orang di sejumlah negara seperti China, di mana 100 juta warga China berwisata ke luar negeri setiap tahunnya.
”Dengan kondisi saat ini kita menangkap pangsa pasar yang belum digarap. Contoh, China outbound -nya 100 juta per tahun, tapi yang datang ke kita tidak sampai 1 juta orang. Untuk itu, kita kenali karakter masingmasing negara supaya kita dalam berpromosi ke luar negeri bisa tepat sasaran,” tuturnya. Sementara, pelaku usaha pariwisata di Tanah Air menanggapi beragam kelesuan ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar.
Asosiasi perusahaan agen penjual tiket Indonesia (Astindo) yang bisnisnya lebih banyak menjual tiket perjalanan ke luar negeri paling terpukul oleh pelemahan rupiah. Pasalnya, banyak perjalanan wisata ke luar negeri yang batal atau ditunda. ”Tahun ini luar biasa berat, tapi ya kita harus jalankan saja. Dan di seluruh dunia begini,” ucapnya.
Asisten Sales & Marketing Manager PT Benoa Tirta Harum yang berbasis di Bali, Ayu Krisna Dewi, mengatakan bahwa secara umum kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali meningkat namun ada kecenderungan wisman lebih hemat dalam pembelanjaannya atau lebih perhitungan.
Inda susanti
Pemerintah dan pelaku usaha pariwisata pun diminta jangan pasrah pada kondisi saat ini dan harus tetap berpromosi serta membangun produk pariwisata yang bermutu.
Demikian disampaikan Penasihat Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi pariwisata global (UNWTO) Luigi Cabriani di sela-sela Forum Bisnis Regional Ke-4 Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) di Nusa Dua, Bali, yang digelar 27-29 Agustus 2015.
Menurut Luigi, gejolak nilai tukar memang berdampak pada sektor pariwisata tetapi hanya dalam jangka pendek. Dia mencontohkan, penguatan dolar AS terhadap euro dalam setahun terakhir mendorong banyak turis AS berwisata ke Eropa. Pada saat yang sama, ekonomi global lesu dan banyak negara mengalami pelemahan mata uang sehingga banyak orang yang menunda perjalanan wisatanya ke luar negeri atau menghemat pengeluarannya selama berwisata.
”Fluktuasi (nilai tukar) ini relevan dengan pariwisata tapi dampaknya hanya jangka pendek. Jadi, janganmenyusunstrategi berdasar fluktuasi nilai tukar karena tidak akan bertahanlama,” kataLuigisaat berbincang dengan KORAN SINDO. Luigi mengingatkan, hal yang menjamin bahwa suatu destinasi wisata akan bertahan dalam jangka panjang adalah kualitas produk.
Destinasi wisata dapat bertahan juga tergantung aspek sustainability atau kelestarian destinasi, serta upaya promosi atau pengenalan yang membuat merek atau branding suatu destinasi wisata dikenal di seluruh dunia. ”Dengan memperhatikan tiga hal ini maka suatu destinasi wisata akan mendapat manfaat jangka panjang dan berkelanjutan dari pasar pariwisata dunia,” tutur Kepala Global Sustainable Tourism Council (GSTC) itu.
Berdasarkan catatan UNWTO, jumlah turis mancanegara yang bepergian ke luar negeri pada 2014 mencapai 1,14 miliar orang atau meningkat 4,7% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah tersebut diproyeksikan meningkat antara 3- 4% pada tahun ini. Hal ini sejalan dengan proyeksi jangka panjang UNWTO yang meramalkan pertumbuhan turis mancanegara pada kisaran 3,8% per tahun pada periode 2010-2020.
Penasihat Kementerian Pariwisata (Honorary Advisor) Indroyono Soesilo mengatakan, seseorang dengan pendapatan per kapita USD10.000 dolar per tahun pasti akan mengalokasikan anggaran untuk berwisata. Terlebih lagi orang dengan pendapatan di atas USD20.000 per tahun, umumnya akan berwisata ke luar negeri. Hal inilah yang terjadi pada orang-orang di sejumlah negara seperti China, di mana 100 juta warga China berwisata ke luar negeri setiap tahunnya.
”Dengan kondisi saat ini kita menangkap pangsa pasar yang belum digarap. Contoh, China outbound -nya 100 juta per tahun, tapi yang datang ke kita tidak sampai 1 juta orang. Untuk itu, kita kenali karakter masingmasing negara supaya kita dalam berpromosi ke luar negeri bisa tepat sasaran,” tuturnya. Sementara, pelaku usaha pariwisata di Tanah Air menanggapi beragam kelesuan ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar.
Asosiasi perusahaan agen penjual tiket Indonesia (Astindo) yang bisnisnya lebih banyak menjual tiket perjalanan ke luar negeri paling terpukul oleh pelemahan rupiah. Pasalnya, banyak perjalanan wisata ke luar negeri yang batal atau ditunda. ”Tahun ini luar biasa berat, tapi ya kita harus jalankan saja. Dan di seluruh dunia begini,” ucapnya.
Asisten Sales & Marketing Manager PT Benoa Tirta Harum yang berbasis di Bali, Ayu Krisna Dewi, mengatakan bahwa secara umum kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali meningkat namun ada kecenderungan wisman lebih hemat dalam pembelanjaannya atau lebih perhitungan.
Inda susanti
(ars)