Relaksasi Ekspor Mineral Pengaruhi Investasi Smelter
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diharapkan tidak mengeluarkan kebijakan relaksasi ekspor mineral karena akan merusak iklim investasi industri pengolahan dan pemurnian mineral yang rata-rata investasinya di atas Rp3 triliun.
Relaksasi ekspor selama setahun juga tidak akan banyak mendatangkan devisa dibandingkan besarnya investasi langsung yang masuk dari 25 perusahaan smelter yang siap beroperasi saat ini. Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo mengingatkan pemerintah untuk membuat pertimbangan yang matang sebelum memberikan insentif dalam bentuk relaksasi ekspor terbatas kepada perusahaan tambang.
Kebijakan ini tidak akan banyak membantu perusahaan tambang untuk mendapatkan pendanaan dari pasar. Harga komoditas yang sedang melemah dan permintaan pasar yang turun akan menyulitkan perusahaan tambang menjual produknya. ”Kita lihat saja dengan kondisi pasar sekarang perusahaan tambang juga akan sulit menjual hasil tambangnya.
Banyak perusahaan smelter diChinayangselamaini membeli nikel dan bauksit dari Indonesia pada tutup. Apalagi sekarang sudah ada juga perbankan nasional yang berminat membiayai pembangunan smelter,” terang Jonathan di Jakarta kemarin. Pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Agus Tony Poputra mengatakan, keputusan pemerintah untuk melarang ekspor tambang minerba telah memberikan dampak yang positif bagi hilirisasi di sektor pertambangan.
Beberapa smelter telah dibangun di daerah. ”Hal ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja yang signifikan untuk menampung pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang semakin bertambah dari tahun ke tahun,” ujarnya. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan I 2015yangdikeluarkanBankIndonesia menegaskan, pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2015 tumbuh sebesar 6,9% (yoy), lebih baik dari triwulan IV 2014 sekitar 5,0% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi KTI tersebut bersumber dari beberapa provinsi yang saat ini sudah merasakan manfaat dan nilai tambah dari pembangunan smelter di antaranya Provinsi Sulawesi Tengah (bijih nikel, feronikel), Nusa Tenggara Barat (tembaga), Papua (tembaga), Maluku Utara (bijih nikel), dan Sulawesi Tenggara (bijih nikel, feronikel).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Haris Munandar N sebelumnya mengatakan, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor harus konsisten dilaksanakan demi menguatkan struktur industri nasional yang memberikan dampak ekonomi yang besar terhadap pembangunan industri dalam negeri.
Dia mencontohkan, jika bauksit diekspor mentah, nilainya hanya USD30 per metric ton, sementara dengan satu tahapan pengolahan nilai ekspor nikel pig iron (NPI) mencapai USD1.300 per metrik ton. ”Untuk apa bauksit dan nikel kita ekspor dengan harga yang lebih rendah sementara kalau diolah dan dimurnikan di dalam negeri, industri hilir kita akan maju dan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar,” katanya.
Anton c
Relaksasi ekspor selama setahun juga tidak akan banyak mendatangkan devisa dibandingkan besarnya investasi langsung yang masuk dari 25 perusahaan smelter yang siap beroperasi saat ini. Ketua Asosiasi Perusahaan Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo mengingatkan pemerintah untuk membuat pertimbangan yang matang sebelum memberikan insentif dalam bentuk relaksasi ekspor terbatas kepada perusahaan tambang.
Kebijakan ini tidak akan banyak membantu perusahaan tambang untuk mendapatkan pendanaan dari pasar. Harga komoditas yang sedang melemah dan permintaan pasar yang turun akan menyulitkan perusahaan tambang menjual produknya. ”Kita lihat saja dengan kondisi pasar sekarang perusahaan tambang juga akan sulit menjual hasil tambangnya.
Banyak perusahaan smelter diChinayangselamaini membeli nikel dan bauksit dari Indonesia pada tutup. Apalagi sekarang sudah ada juga perbankan nasional yang berminat membiayai pembangunan smelter,” terang Jonathan di Jakarta kemarin. Pengamat ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi Agus Tony Poputra mengatakan, keputusan pemerintah untuk melarang ekspor tambang minerba telah memberikan dampak yang positif bagi hilirisasi di sektor pertambangan.
Beberapa smelter telah dibangun di daerah. ”Hal ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja yang signifikan untuk menampung pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang semakin bertambah dari tahun ke tahun,” ujarnya. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional Triwulan I 2015yangdikeluarkanBankIndonesia menegaskan, pertumbuhan ekonomi kawasan timur Indonesia (KTI) pada triwulan I 2015 tumbuh sebesar 6,9% (yoy), lebih baik dari triwulan IV 2014 sekitar 5,0% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi KTI tersebut bersumber dari beberapa provinsi yang saat ini sudah merasakan manfaat dan nilai tambah dari pembangunan smelter di antaranya Provinsi Sulawesi Tengah (bijih nikel, feronikel), Nusa Tenggara Barat (tembaga), Papua (tembaga), Maluku Utara (bijih nikel), dan Sulawesi Tenggara (bijih nikel, feronikel).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Haris Munandar N sebelumnya mengatakan, kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor harus konsisten dilaksanakan demi menguatkan struktur industri nasional yang memberikan dampak ekonomi yang besar terhadap pembangunan industri dalam negeri.
Dia mencontohkan, jika bauksit diekspor mentah, nilainya hanya USD30 per metric ton, sementara dengan satu tahapan pengolahan nilai ekspor nikel pig iron (NPI) mencapai USD1.300 per metrik ton. ”Untuk apa bauksit dan nikel kita ekspor dengan harga yang lebih rendah sementara kalau diolah dan dimurnikan di dalam negeri, industri hilir kita akan maju dan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar,” katanya.
Anton c
(bbg)