Kebijakan Industrial Harus Solid
A
A
A
JAKARTA - Indonesia membutuhkan kebijakan industrial yang lebih solid untuk menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi serta pengaruh krisis dari negara lain. Pengamat ekonomi dari Universitas Unika Atma Jaya A Prasetyantoko mengatakan, kebijakan industrial yang solid dari pemerintah sudah hilang sejak 1998.
Untuk memperkuat stabilitas ekonomi, pemerintah harus menggenjot produksi dari negeri sendiri. ”External liquidity kita juga lebih berat karena kita lebih bergantung pada external financing. Semakin kita bergantung pada itu semakin riskan guncangan dalam negeri,” kata Prasetyantoko di sela-sela acara Media Sharing Indonesia Knowledge Forum 2015 di Jakarta kemarin.
Dia mencontohkan, negara adikuasa seperti Amerika Serikat (AS) yang telah menerapkan kebijakan industrial yang solid menjadi lebih kuat meskipun diguncang krisis ekonomi di negaranya. Hal tersebut terlihat dari daya saing yang tumbuh dan bisnis industrinya yang lebih inovatif. ”Saya melihat pemerintah sudah menuju ke sana, melalui pembangunan infrastruktur, logistik, dan maritim.
Di sisi lain pemerintah harus mendorong industri manufakturnya,” tegas dia. Lebih jauh dia menjabarkan, perlambatan ekonomi yang terjadi di Tanah Air saat ini jauh berbeda dengan krisis ekonomi nasional pada 1998 dan 2008. Meskipun nilai tukar dolar AS terhadap rupiah lebih tinggi dari 2008, depresiasinya lebih rendah. ”Pada 2008 nilai tukar dolar AS mencapai Rp12.650, sedangkan di 1998 nilai tengah Bank Indonesia (BI) pernah mencapai Rp16.000, untuk 2015 tertinggi di angka Rp14.100,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Wahid Institute Yenny Wahid menambahkan, dalam lima tahun ke depan terdapat 12 juta angkatan kerja baru di Indonesia. Untuk menghadapi jumlah angkatan kerja tersebut dibutuhkan kemudahan industrialisasi. ”Kuncinya industrialisasi, hanya hambatan yang dari dulu ada yaitu dipersulit oleh sejumlah regulasi.
Kalau tidak ada solusinya, 12 juta angkatan kerja ini akan menjadi masalah besar,” tegasnya. Komisaris Independen PT Bank Central Asia Cyrillus Harinowo menambahkan, saat krisis ekonomi 1998 pengusaha menghadapinya secara panik. Hal ini berbeda dengan situasi saat ini yang dianggap lebih terkendali. ”Dampak positif dari krisis 1998 yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara nomor tiga dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah China dan India,” harap dia.
Heru febrianto
Untuk memperkuat stabilitas ekonomi, pemerintah harus menggenjot produksi dari negeri sendiri. ”External liquidity kita juga lebih berat karena kita lebih bergantung pada external financing. Semakin kita bergantung pada itu semakin riskan guncangan dalam negeri,” kata Prasetyantoko di sela-sela acara Media Sharing Indonesia Knowledge Forum 2015 di Jakarta kemarin.
Dia mencontohkan, negara adikuasa seperti Amerika Serikat (AS) yang telah menerapkan kebijakan industrial yang solid menjadi lebih kuat meskipun diguncang krisis ekonomi di negaranya. Hal tersebut terlihat dari daya saing yang tumbuh dan bisnis industrinya yang lebih inovatif. ”Saya melihat pemerintah sudah menuju ke sana, melalui pembangunan infrastruktur, logistik, dan maritim.
Di sisi lain pemerintah harus mendorong industri manufakturnya,” tegas dia. Lebih jauh dia menjabarkan, perlambatan ekonomi yang terjadi di Tanah Air saat ini jauh berbeda dengan krisis ekonomi nasional pada 1998 dan 2008. Meskipun nilai tukar dolar AS terhadap rupiah lebih tinggi dari 2008, depresiasinya lebih rendah. ”Pada 2008 nilai tukar dolar AS mencapai Rp12.650, sedangkan di 1998 nilai tengah Bank Indonesia (BI) pernah mencapai Rp16.000, untuk 2015 tertinggi di angka Rp14.100,” paparnya.
Sementara itu, Direktur Wahid Institute Yenny Wahid menambahkan, dalam lima tahun ke depan terdapat 12 juta angkatan kerja baru di Indonesia. Untuk menghadapi jumlah angkatan kerja tersebut dibutuhkan kemudahan industrialisasi. ”Kuncinya industrialisasi, hanya hambatan yang dari dulu ada yaitu dipersulit oleh sejumlah regulasi.
Kalau tidak ada solusinya, 12 juta angkatan kerja ini akan menjadi masalah besar,” tegasnya. Komisaris Independen PT Bank Central Asia Cyrillus Harinowo menambahkan, saat krisis ekonomi 1998 pengusaha menghadapinya secara panik. Hal ini berbeda dengan situasi saat ini yang dianggap lebih terkendali. ”Dampak positif dari krisis 1998 yaitu menjadikan Indonesia sebagai negara nomor tiga dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi setelah China dan India,” harap dia.
Heru febrianto
(bbg)