Inflasi China Naik 2% karena Harga Daging Babi Melonjak
A
A
A
BEIJING - Indeks harga konsumen (IHK) China naik pada laju tercepat dalam satu tahun karena krisis pasokan dan melonjaknya harga daging babi.
Inflasi naik 2% pada Agustus dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan proyeksi sebesar 1,8%. Sementara indeks harga produsen anjlok 5,9%, memperpanjang penurunan selama 42 bulan.
Perbedaan harga mempersulit prospek kebijakan Bank Rakyat Cina (PBoC). Inflasi IHK sekarang lebih tinggi dari bunga deposito satu tahun, suku bunga riil untuk penabung. Sementara, harga produk pabrik yang mengalami deflasi mendorong biaya pinjaman di sektor industri.
"Ini adalah masalah nyata. Bagi produsen, IHK merupakan biaya karena upah naik, dan PPI merupakan harga produknya. Sekarang keuntungan dari perusahaan menjadi lebih terkikis," kata analis di China Minzu Securities Co Zhu Qibing, seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (10/9/2015).
Seorang pejabat di Biro Statistik China (NBS) mengatakan bahwa naiknya inflasi karena melonjaknya harga daging babi, sayuran dan telur. Harga makanan naik 3,7% pada Agustus dari tahun sebelumnya karena harga daging babi melonjak 19,6% dan sayuran terkerek 15,9%.
Indeks pabrik China jatuh ke angka terendah dalam tiga tahun bulan lalu dan ekspor turun, menekankan kelemahan dalam perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Perdana Menteri China Li Keqiang berusaha untuk menenangkan kekhawatiran perlambatan. Dia mengatakan, ekonomi bergerak dalam kisaran wajar karena menghadapi tekanan ke bawah.
"Kami tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi jangka pendek karena indikator ekonomi, tapi kami juga tidak akan menurunkan kewaspadaan kami," kata Li.
Sementara harga produk minyak dan gas alam merosot 37,9% dari tahun sebelumnya, sedangkan untuk prosesor logam dasar turun 18,8%. Harga pembelian bahan bakar juga tergerus 11,8%.
"Dengan harga kedua konsumen dan produsen digerakkan oleh faktor suplai daripada pergeseran struktural dalam permintaan, data terbaru tidak mengubah pandangan kami pada pertumbuhan dan kebijakan China," kata ekonom Bloomberg Tom Orlik dan Fielding Chen dalam sebuah catatan.
Menurut mereka, tekanan terhadap pertumbuhan tetap intens, dan pemerintah akan terus menggelar stimulus pada bulan depan.
Inflasi naik 2% pada Agustus dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan proyeksi sebesar 1,8%. Sementara indeks harga produsen anjlok 5,9%, memperpanjang penurunan selama 42 bulan.
Perbedaan harga mempersulit prospek kebijakan Bank Rakyat Cina (PBoC). Inflasi IHK sekarang lebih tinggi dari bunga deposito satu tahun, suku bunga riil untuk penabung. Sementara, harga produk pabrik yang mengalami deflasi mendorong biaya pinjaman di sektor industri.
"Ini adalah masalah nyata. Bagi produsen, IHK merupakan biaya karena upah naik, dan PPI merupakan harga produknya. Sekarang keuntungan dari perusahaan menjadi lebih terkikis," kata analis di China Minzu Securities Co Zhu Qibing, seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (10/9/2015).
Seorang pejabat di Biro Statistik China (NBS) mengatakan bahwa naiknya inflasi karena melonjaknya harga daging babi, sayuran dan telur. Harga makanan naik 3,7% pada Agustus dari tahun sebelumnya karena harga daging babi melonjak 19,6% dan sayuran terkerek 15,9%.
Indeks pabrik China jatuh ke angka terendah dalam tiga tahun bulan lalu dan ekspor turun, menekankan kelemahan dalam perekonomian terbesar kedua di dunia itu.
Perdana Menteri China Li Keqiang berusaha untuk menenangkan kekhawatiran perlambatan. Dia mengatakan, ekonomi bergerak dalam kisaran wajar karena menghadapi tekanan ke bawah.
"Kami tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi jangka pendek karena indikator ekonomi, tapi kami juga tidak akan menurunkan kewaspadaan kami," kata Li.
Sementara harga produk minyak dan gas alam merosot 37,9% dari tahun sebelumnya, sedangkan untuk prosesor logam dasar turun 18,8%. Harga pembelian bahan bakar juga tergerus 11,8%.
"Dengan harga kedua konsumen dan produsen digerakkan oleh faktor suplai daripada pergeseran struktural dalam permintaan, data terbaru tidak mengubah pandangan kami pada pertumbuhan dan kebijakan China," kata ekonom Bloomberg Tom Orlik dan Fielding Chen dalam sebuah catatan.
Menurut mereka, tekanan terhadap pertumbuhan tetap intens, dan pemerintah akan terus menggelar stimulus pada bulan depan.
(rna)