Target Cukai Rokok Sulit Tercapai
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan menaikkan cukai rokok sebesar 23% pada tahun depan. Rencana tersebut dinilai tidak masuk akal dan tidak bisa dicapai oleh industri rokok mengingat kondisi ekonomi yang lesu dan daya beli masyarakat yang tengah menurun.
”Bila target meleset, tentu negara harus memikirkan kekurangan pemasukan APBN, bisa repot jadinya,” kata anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun di Jakarta kemarin. Harusnya, kata Misbakhun, pemerintah hendaknya mempertimbangkan banyak faktor untuk menaikkan cukai. ”Apakah industri tersebut sedang tidak bermasalah? Bagaimana pertumbuhannya? Bukankah banyak pabrik yang tutup, semua itu harus jadi pertimbangan,” jelasnya.
Melihat kondisi itu, Misbakhun berpendapat, kenaikan cukai rokok yang pas adalah sekitar 5-7%. Sebagai catatan, target penerimaancukai2015menurut APBN adalah Rp120,6 triliun. Dia menambahkan, tembakau selama ini menjadi sumber utama pendapatan cukai dengan porsi sebesar 96%. Uniknya, sektor itu menjadi satusatunya produk yang dihantam kenaikan cukai secara signifikan. Semuanya diduga dilakukan demi realisasi target pendapatan cukai.
Sementara kondisi di lapangan, industri tembakau sedang kesulitan. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mempertanyakan mengapa pemerintah selalu menjadikan cukai hasil tembakau (CHT) sebagai sumber penerimaan yang paling pasti saat penerimaan dari pos lain gagal mencapai target. Hal tersebut kemudian membuat pemerintah selalu menaikkan tarif CHT demi mengejar penerimaan negara.
”Kenaikan tarif harus dibarengi pertumbuhan volume, sebab produksi saat ini bukan untuk memenuhi permintaan. Apabila pemerintah bersikeras untuk menaikkan target cukai secara eksesif, maka pemerintah harus mengantisipasi kemungkinantargettersebuttidakdapat dicapai oleh pelaku industri tembakau,” tegas Yustinus. Misbakhun mendesak komitmen pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi objek cukai baru. Padahal, pemerintah bisa saja tak memikirkan intensifikasi cukai dengan cara menaikkan cukai rokok setiap tahun. Karena dampaknya juga akan sangat besar.
Menurutnya, pemerintah bisa menaikkan cukai dari barang lain seperti minuman berpemanis dan bahan bakar. ”Objek ini sebagai potensi barang kena cukai karena berdampak pada kesehatan. Minuman bersoda juga buruk bagi kesehatan. Jangan hanya menaikkan cukai rokok tiap tahun,” lanjutnya. Menurut Misbakhun, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan mengakibatkan turunnya daya beli.
Faktanya, jumlah pabrikan rokok serta jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri tersebut terus berkurang secara drastis. Pada 2010 lalu jumlah pabrik rokok mencapai 1994 dan sampai akhir tahun lalu jumlahnya menyusut menjadi 995. Hal itu akan mengakibatkan penurunan produksi yang bisa berujung kepada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Apabila PHK terjadi dan pabrik rokok terganggu, maka yang dirugikan adalah penyerapan bahan baku rokok, yakni petani tembakau. Sebelumnya Industri Hasil Tembakau (IHT) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta agar pemerintah meninjau ulang rencana untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23% pada 2016. Karena, kebijakan tersebut dinilai akan memukul sektor IHT nasional.
Sudarsono
”Bila target meleset, tentu negara harus memikirkan kekurangan pemasukan APBN, bisa repot jadinya,” kata anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun di Jakarta kemarin. Harusnya, kata Misbakhun, pemerintah hendaknya mempertimbangkan banyak faktor untuk menaikkan cukai. ”Apakah industri tersebut sedang tidak bermasalah? Bagaimana pertumbuhannya? Bukankah banyak pabrik yang tutup, semua itu harus jadi pertimbangan,” jelasnya.
Melihat kondisi itu, Misbakhun berpendapat, kenaikan cukai rokok yang pas adalah sekitar 5-7%. Sebagai catatan, target penerimaancukai2015menurut APBN adalah Rp120,6 triliun. Dia menambahkan, tembakau selama ini menjadi sumber utama pendapatan cukai dengan porsi sebesar 96%. Uniknya, sektor itu menjadi satusatunya produk yang dihantam kenaikan cukai secara signifikan. Semuanya diduga dilakukan demi realisasi target pendapatan cukai.
Sementara kondisi di lapangan, industri tembakau sedang kesulitan. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mempertanyakan mengapa pemerintah selalu menjadikan cukai hasil tembakau (CHT) sebagai sumber penerimaan yang paling pasti saat penerimaan dari pos lain gagal mencapai target. Hal tersebut kemudian membuat pemerintah selalu menaikkan tarif CHT demi mengejar penerimaan negara.
”Kenaikan tarif harus dibarengi pertumbuhan volume, sebab produksi saat ini bukan untuk memenuhi permintaan. Apabila pemerintah bersikeras untuk menaikkan target cukai secara eksesif, maka pemerintah harus mengantisipasi kemungkinantargettersebuttidakdapat dicapai oleh pelaku industri tembakau,” tegas Yustinus. Misbakhun mendesak komitmen pemerintah untuk melakukan ekstensifikasi objek cukai baru. Padahal, pemerintah bisa saja tak memikirkan intensifikasi cukai dengan cara menaikkan cukai rokok setiap tahun. Karena dampaknya juga akan sangat besar.
Menurutnya, pemerintah bisa menaikkan cukai dari barang lain seperti minuman berpemanis dan bahan bakar. ”Objek ini sebagai potensi barang kena cukai karena berdampak pada kesehatan. Minuman bersoda juga buruk bagi kesehatan. Jangan hanya menaikkan cukai rokok tiap tahun,” lanjutnya. Menurut Misbakhun, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan mengakibatkan turunnya daya beli.
Faktanya, jumlah pabrikan rokok serta jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam industri tersebut terus berkurang secara drastis. Pada 2010 lalu jumlah pabrik rokok mencapai 1994 dan sampai akhir tahun lalu jumlahnya menyusut menjadi 995. Hal itu akan mengakibatkan penurunan produksi yang bisa berujung kepada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Apabila PHK terjadi dan pabrik rokok terganggu, maka yang dirugikan adalah penyerapan bahan baku rokok, yakni petani tembakau. Sebelumnya Industri Hasil Tembakau (IHT) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta agar pemerintah meninjau ulang rencana untuk menaikkan cukai rokok sebesar 23% pada 2016. Karena, kebijakan tersebut dinilai akan memukul sektor IHT nasional.
Sudarsono
(ars)