Industri Keuangan Butuh Regulasi Dukung Pertumbuhan
A
A
A
JAKARTA - MNC Group siap mendukung kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghasilkan regulasi jasa keuangan yang kondusif. Tekanan dalam perekonomian nasional saat ini membutuhkan aturan main yang jelas dan fleksibel untuk mencapai pertumbuhan.
CEO MNC Group, Hary Tanoesoedibjo (HT) mengatakan, konsep OJK sebagai regulator sudah cukup efektif dan seharusnya dapat membuat industri jasa keuangan dalam negeri lebih kompetitif.
Pelaku industri pada dasarnya membutuhkan aturan yang jelas dan mendukung pertumbuhan. Terlebih dengan adanya pengawasan yang terintegrasi membutuhkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan industri.
"Industri butuh aturan yang jelas. Tantangannya bagaimana bisnis dapat tertib tapi sekaligus lari kencang saat ini. Perekonomian nasional jauh tertinggal dibandingkan negara lain," ujar HT dalam Program Pengembangan Kepemimpinan Berjenjang di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis (18-9-2015).
Dia mengatakan dalam pengawasan terintegrasi jasa keuangan harus dapat menyeimbangkan antara kondisi yang kondusif, tapi sekaligus mengakomodir kebutuhan pelaku pasar. Peran OJK layaknya posisi direktur keuangan yang tidak hanya sebatas sebagai kasir atau mematuhi SOP.
Namun lebih dari itu, tantangannya ialah dalam financial planning dan financial management yang mengelola cash flow perusahaan sekaligus tidak menghambat ekspansi korporasi. "Begitu juga regulator harus dapat membuat tertib tapi sekaligus industri dapat lari. Karena kita harus terus bersaing. Dan kalau suatu industri bagus maka akan melahirkan pemain global. Seperti Samsung di Korea, atau bank dari Singapura dan Malaysia sedangkan kita masih ketinggalan. Kita ingin ada pemain global dari industri yang bagus di dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan saat ini Indonesia perlu melompat hampir empat kali lipat untuk menjadi negara maju. Pasalnya, pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai USD3.800. Demi membangun Indonesia menjadi negara maju, harus lompat empat kali lipat dari saat ini.
Terlebih, hampir 70% masyarakat Indonesia masih hidup dengan pendapatan per kapita USD1.000. "Kalau kita lihat mikro permasalahan Indonesia adalah sekitar 70% dari populasi kita hidup dengan USD1.000 sehingga dilihat kesenjangannya masih luar biasa tinggi," katanya.
HT menyebutkan untuk membangun Indonesia lebih baik, maka perlu memperhatikan pendapatan per kapita di Indonesia. Pasalnya, hal itu menjadi parameter internasional dalam mengukur majunya suatu negara.
"Kalau mau ambil data dari bank dunia atau PBB, mereka pakai parameter yang sama. Salah satu parameter negara maju pendapatannya USD12.000 per kapita. Indonesia jauh. Kita USD3.400 mungkin. Dulu kan kita USD3.800. Kan dolarnya sekarang sudah melejit," katanya.
Tantangannya juga terdapat di masyarakat yang didominasi dari pelaku UMKM, petani, nelayan, buruh, dan pengangguran. Oleh karena itu, Indonesia perlu menciptakan industri yang intensif agar pengangguran dapat terserap."Poin saya Indonesia akan sulit atau lama sekali jadi negara maju kalau kesenjangan ini tidak kita atur," terangnya.
Dia juga meminta pemerintah untuk memberantas segala sesuatu yang menghambat laju investasi di Indonesia. Pasalnya, dengan investasi perekonomian Indonesia bisa membaik dalam waktu cepat.
Perekonomian Indonesia ini tengah bergejolak, apalagi sampai semester pertama 2015 ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya bertengger di level 4,6 persen atau masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah."Saya kemarin bertemu Pak Jokowi, sekarang ini kita harus memperkuat basis investasi kita, kalau bergulir lagi menciptakan lapangan kerja, akibatnya segala praktik yang menghambat investasi harus diberantas," katanya.
Selain itu, HT meminta pemerintah menggenjot dana belanja pemerintah guna memperbaiki perekonomian Indonesia pada kuartal-kuartal berikut. Menurutnya, belanja pemerintah merupakan modal besar pemerintah untuk menggerakkan perekonomian Indonesia.
"Mayoritas APBN itu dari pajak, harus cari alternatif pendanaan, situasi global ini sulit seperti dulu, itulah kenapa demand komoditas turun. Jadi yang kita hadapi itu berbeda tidak seperti dulu," ujarnya.
Dia mengingatkan, pondasi ekonomi Indonesia saat ini tidak kuat seperti pondasi 40 tahun yang lalu. Di mana, selama 40 tahun yang lalu sampai dengan 2011, Indonesia memiliki pondasi ekonomi yang jelas.
Menurutnya pada periode yang dulu, pondasi ekonomi kuat karena ditopang oleh sektor minyak. Memasuki 1980-an ekonomi Indonesia sudah tidak ditopang oleh minyak, dan masuk ke dunia industri yang menopang. Masuk ke 2000-an sampai 2011 ekonomi Indonesia ditopang oleh komoditas.
"Kalau lihat satu tatanan kondisi negara bisa berbeda, ada stabil di satu sisi tidak stabil. Jadi kalau sejarah ekonomi nasional kita 40 tahun belakangan diwarnai gejolak," katanya.
Bahkan, HT menyebutkan, kondisi ekonomi 10 tahun ini sangat diuntungkan lantaran harga komoditas tengah tinggi yang secara langsung mampu meningkatkan perekonomian Indonesia pada saat itu.
"Perkebunannya kuat, tambangnya kuat, kita produsen batu bara terbesar. Kemudian kelapa sawit, karet sehingga menjadi penopang ekonomi kita, dalam situasi yang diuntungkan karena nonmigas kita 65 persen komoditas," tambahnya.
Untuk saat ini ekonomi Indonesia sudah tidak ada lagi yang menopangnya. Jika dilihat, Indonesia sudah bukan menjadi negara pengekspor minyak, harga komoditas pun saat ini sudah tidak bisa diandalkan lantaran menurun.
"Jadi, tidak bisa dipakai penopang ekonomi lagi, pondasi ekonomi kita tidak begitu kuat, Indonesia harus berani mencari pondasi paling tidak menduduki seperti dulu. Karena banyak perusahaan yang keuntungannya turun, pajak juga menjadi turun," tandasnya
CEO MNC Group, Hary Tanoesoedibjo (HT) mengatakan, konsep OJK sebagai regulator sudah cukup efektif dan seharusnya dapat membuat industri jasa keuangan dalam negeri lebih kompetitif.
Pelaku industri pada dasarnya membutuhkan aturan yang jelas dan mendukung pertumbuhan. Terlebih dengan adanya pengawasan yang terintegrasi membutuhkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan industri.
"Industri butuh aturan yang jelas. Tantangannya bagaimana bisnis dapat tertib tapi sekaligus lari kencang saat ini. Perekonomian nasional jauh tertinggal dibandingkan negara lain," ujar HT dalam Program Pengembangan Kepemimpinan Berjenjang di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Jakarta, Kamis (18-9-2015).
Dia mengatakan dalam pengawasan terintegrasi jasa keuangan harus dapat menyeimbangkan antara kondisi yang kondusif, tapi sekaligus mengakomodir kebutuhan pelaku pasar. Peran OJK layaknya posisi direktur keuangan yang tidak hanya sebatas sebagai kasir atau mematuhi SOP.
Namun lebih dari itu, tantangannya ialah dalam financial planning dan financial management yang mengelola cash flow perusahaan sekaligus tidak menghambat ekspansi korporasi. "Begitu juga regulator harus dapat membuat tertib tapi sekaligus industri dapat lari. Karena kita harus terus bersaing. Dan kalau suatu industri bagus maka akan melahirkan pemain global. Seperti Samsung di Korea, atau bank dari Singapura dan Malaysia sedangkan kita masih ketinggalan. Kita ingin ada pemain global dari industri yang bagus di dalam negeri," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan saat ini Indonesia perlu melompat hampir empat kali lipat untuk menjadi negara maju. Pasalnya, pendapatan per kapita Indonesia baru mencapai USD3.800. Demi membangun Indonesia menjadi negara maju, harus lompat empat kali lipat dari saat ini.
Terlebih, hampir 70% masyarakat Indonesia masih hidup dengan pendapatan per kapita USD1.000. "Kalau kita lihat mikro permasalahan Indonesia adalah sekitar 70% dari populasi kita hidup dengan USD1.000 sehingga dilihat kesenjangannya masih luar biasa tinggi," katanya.
HT menyebutkan untuk membangun Indonesia lebih baik, maka perlu memperhatikan pendapatan per kapita di Indonesia. Pasalnya, hal itu menjadi parameter internasional dalam mengukur majunya suatu negara.
"Kalau mau ambil data dari bank dunia atau PBB, mereka pakai parameter yang sama. Salah satu parameter negara maju pendapatannya USD12.000 per kapita. Indonesia jauh. Kita USD3.400 mungkin. Dulu kan kita USD3.800. Kan dolarnya sekarang sudah melejit," katanya.
Tantangannya juga terdapat di masyarakat yang didominasi dari pelaku UMKM, petani, nelayan, buruh, dan pengangguran. Oleh karena itu, Indonesia perlu menciptakan industri yang intensif agar pengangguran dapat terserap."Poin saya Indonesia akan sulit atau lama sekali jadi negara maju kalau kesenjangan ini tidak kita atur," terangnya.
Dia juga meminta pemerintah untuk memberantas segala sesuatu yang menghambat laju investasi di Indonesia. Pasalnya, dengan investasi perekonomian Indonesia bisa membaik dalam waktu cepat.
Perekonomian Indonesia ini tengah bergejolak, apalagi sampai semester pertama 2015 ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya bertengger di level 4,6 persen atau masih jauh dari target yang dicanangkan pemerintah."Saya kemarin bertemu Pak Jokowi, sekarang ini kita harus memperkuat basis investasi kita, kalau bergulir lagi menciptakan lapangan kerja, akibatnya segala praktik yang menghambat investasi harus diberantas," katanya.
Selain itu, HT meminta pemerintah menggenjot dana belanja pemerintah guna memperbaiki perekonomian Indonesia pada kuartal-kuartal berikut. Menurutnya, belanja pemerintah merupakan modal besar pemerintah untuk menggerakkan perekonomian Indonesia.
"Mayoritas APBN itu dari pajak, harus cari alternatif pendanaan, situasi global ini sulit seperti dulu, itulah kenapa demand komoditas turun. Jadi yang kita hadapi itu berbeda tidak seperti dulu," ujarnya.
Dia mengingatkan, pondasi ekonomi Indonesia saat ini tidak kuat seperti pondasi 40 tahun yang lalu. Di mana, selama 40 tahun yang lalu sampai dengan 2011, Indonesia memiliki pondasi ekonomi yang jelas.
Menurutnya pada periode yang dulu, pondasi ekonomi kuat karena ditopang oleh sektor minyak. Memasuki 1980-an ekonomi Indonesia sudah tidak ditopang oleh minyak, dan masuk ke dunia industri yang menopang. Masuk ke 2000-an sampai 2011 ekonomi Indonesia ditopang oleh komoditas.
"Kalau lihat satu tatanan kondisi negara bisa berbeda, ada stabil di satu sisi tidak stabil. Jadi kalau sejarah ekonomi nasional kita 40 tahun belakangan diwarnai gejolak," katanya.
Bahkan, HT menyebutkan, kondisi ekonomi 10 tahun ini sangat diuntungkan lantaran harga komoditas tengah tinggi yang secara langsung mampu meningkatkan perekonomian Indonesia pada saat itu.
"Perkebunannya kuat, tambangnya kuat, kita produsen batu bara terbesar. Kemudian kelapa sawit, karet sehingga menjadi penopang ekonomi kita, dalam situasi yang diuntungkan karena nonmigas kita 65 persen komoditas," tambahnya.
Untuk saat ini ekonomi Indonesia sudah tidak ada lagi yang menopangnya. Jika dilihat, Indonesia sudah bukan menjadi negara pengekspor minyak, harga komoditas pun saat ini sudah tidak bisa diandalkan lantaran menurun.
"Jadi, tidak bisa dipakai penopang ekonomi lagi, pondasi ekonomi kita tidak begitu kuat, Indonesia harus berani mencari pondasi paling tidak menduduki seperti dulu. Karena banyak perusahaan yang keuntungannya turun, pajak juga menjadi turun," tandasnya
(dmd)