RI Jauh Tertinggal dari Vietnam Soal Proses Investasi

Senin, 12 Oktober 2015 - 22:34 WIB
RI Jauh Tertinggal dari...
RI Jauh Tertinggal dari Vietnam Soal Proses Investasi
A A A
JAKARTA - Pengurusan perizinan usaha di Indonesia jauh lebih berbelit dibanding negara pesaing utama menarik investasi asing dalam sektor manufaktur padat karya, yaitu Vietnam.

Hal ini setidaknya dilihat dari waktu yang diperlukan untuk pengurusan izin usaha di Indonesia yang lebih lama dibanding Vietnam.

Situasi ini menjadi salah satu persoalan utama bagi Indonesia yang saat ini sedang berjuang menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Hal tersebut hasil studi kasus yang dilaksanakan Pusat Transformasi Kebijakan Publik atau Transformasi terhadap daya saing investasi di Indonesia, khususnya sektor perizinan usaha.

Selain data sekunder, penelitian ini juga mendasarkan diri dengan data primer dalam bentuk wawancara dengan pelaku usaha di sektor manufaktur berorientasi ekspor, khususnya subsektor furniture.

Penelitian Senior Transformasi Joanna Octavia mengungkapkan, Vietnam dipilih sebagai perbandingan atas beberapa alasan utama.

"Pertama, Vietnam pesaing langsung Indonesia untuk mendapatkan invetasi asing dalam sektor manufaktur padat karya, di mana beberapa investasi asing sedang berpindah dari Tiongkok karena meningkatnya upah di negara tersebut," kata dia dalam rilisnya, Jakarta, Senin (12/10/2015).

Kedua, para pemain di industri furnitur telah mengaitkan penurunan ekspor furnitur Indonesia kepada berkurangnya pesanan dengan tajam dari negara-negara barat setelah terjadinya krisis finansial global pada tahun 2007-2008, yang seiring dengan hal itu, pangsa pasar Vietnam dalam industri furnitur global bertumbuh 7% pada 2009, sementara Indonesia hanya berhasil menangkap 4,4%.

"Karena itu menarik untuk membandingkan keuntungan dan kerugian memulai usaha baru di kedua negara ini, sebagai cara mengukur tingkat daya saing usaha mereka," ujar Joanna.

Dari lima jenis izin usaha, empat di antaranya Vietnam mampu memberikan layanan yang jauh lebih cepat dalam proses pengurusannya dibanding Indonesia. Lima jenis izin usaha tersebut antara lain: registrasi pajak, sertifikat tanah, izin mendirikan bangunan (IMB), tanda daftar perusahaan (TDP), dan sertifikat investasi.

Registrasi pajak di Vietnam hanya membutuhkan waktu satu bulan, sedangkan di Indonesia dua bulan. Pengurusan sertifikat tanah di Vietnam enam bulan, di Indonesia 36 bulan. Pengurusan IMB di Vietnam hanya satu bulan, di Indonesia tiga bulan.

"Pengurusan TDP di Vietnam hanya 0,75 bulan, di Indonesia hingga dua bulan. Hanya dalam pengurusan sertifikat investasi di Indonesia lebih cepat dibanding Vietnam, yaitu dua bulan berbanding tiga bulan," paparnya.

Menurutnya, ada lima faktor utama yang menyebabkan lebih lamanya proses perizinan usaha di Indonesia dibanding Vietnam. Pertama, komitmen Vietnam dalam menarik investasi lebih kuat, khususnya dalam mereformasi kerangka perizinan legalnya dan reformasi pelayanan di lembaga-lembaga terkait dengan investasi.

"Pejabat perizinan secara umum sangat membantu, dan perusahaan tidak perlu mengandalkan hubungan dengan pejabat tinggi untuk mengatasi rintangan. Di pihak lain, di Indonesia hubungan baik dengan pejabat tinggi sangat penting, dan pejabat perizinan dianggap tidak membantu dan tidak efisien. Situasi ini membuat proses perizinan menjadi lama," tuturnya.

Kedua, kemudahaan perpanjangan izin yang kedaluwarsa. Di Vietnam, perusahaan dapat memanfaatkan sistem perpanjangan otomatis. Sementara, di Indonesia perpanjangan izin harus dilakukan secara manual.

Selain itu, izin di Indonesia mempunyai masa berlaku yang berbeda-beda. Ini berarti perusahaan senantiasa menjalankan proses memperpanjang izin.

"Ketiga, perusahaan furnitur (yang menjadi obyek dalam penelitian ini) di Indonesia umumnya terletak di dalam kawasan industri, yang secara teoritik berarti proses perizinannya akan menjadi lebih cepat dan efisien, sebagai cara untuk menarik investasi sektor swasta," tambahnya.

Keempat, jumlah izin yang terlalu banyak dan penyebaran geografis otoritas pemberi izin adalah poin negatif utama di Indonesia. Situasi ini membuat perusahaan furnitur harus bolak-balik antar institusi yang berbeda-beda untuk mengurus lisensi dan izin yang jumlahnya sangat banyak.

"Langkah atau izin pertama dalam mendirikan dan melegalisasikan perusahaan asing di Indonesia dikeluarkan notaris dan pemerintah pusat. Langkah selanjutnya, melibatkan pemrosesan izin fisik, lisensi sektoral, dan registrasi usaha, terutama dikeluarkan oleh pemerintah daerah, serta kecamatan, desa, dan lingkungan sekitar," jelas dia.

Kelima, kurangnya transparansi. Keluhan terbesar terhadap proses perizinan usaha bagi perusahaan furnitur adalah kurangnya transparansi, terutama terkait dengan dokumen pendukung yang dibutuhkan.

Sebagian besar izin di Indonesia membutuhkan sejumlah besar dokumen pendukung, seperti KTP, NPWP, dan surat rekomendasi dari ketua RT/RW. Namun, deskripsi dokumen yang dibutuhkan seringkali tidak jelas.
(izz)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8821 seconds (0.1#10.140)