10 Ribu Buruh Bakal Kepung Istana Tolak RPP Pengupahan
A
A
A
BOGOR - Sebanyak 10 ribu buruh yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) dari 12 Provinsi se-Indonesia akan mengepung Istana Presiden di Jakarta, Selasa (27/10/2015). Aksi dilakukan menolak Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai pengupahan yang merupakan bagian dari paket kebijakan ekonomi jilid IV Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPN, Iwan Kusmawan menyatakan unjuk rasa besar-besaran ini bagian dari sikap buruh menolak kebijakan pemerintah yang tertuang dalam RPP Pengupahan.
"Kita sudah baca draft RPP yang bakal ditandatangani dan diterapkan per 1 November oleh Presiden Jokowi. Isinya tidak berpihak pada buruh dan terkesan sebagai pesanan kapitalis asing," ujarnya, usai rapat koordinasi dengan pengurus SPN se-Jabodetabek dan Sukabumi.
Selain itu, RPP Pengupahan ditolak keras karena kebijakan pengupahan buruh di Indonesia, tanpa melibatkan Serikat Pekerja di Dewan Pengupahan. Kedua, formula kenaikan upah berpatokan pada inflasi dan perkembangan ekonomi, tidak lagi mengacu kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). (Baca: Upah Buruh di Balik Paket Kebijakan Jilid IV)
"Jelas hal ini bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di mana salah satu pasalnya berbunyi setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan layak bagi kemanusiaan," tegas Iwan.
Sebab itu, SPN menyatakan sikap; meminta kepada pemerintah menghentikan segala pembahasan RPP dan membatalkan formula kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, meminta agar serikat pekerja/buruh dilibatkan dalam penetapan upah minimum melalui Dewan Pengupahan.
Ketiga, menuntut agar komponen KHL diubah dari saat ini 60 item menjadi 84 item. Keempat, menuntut agar pelaksanaan struktur dan skala upah dalam pengupahan wajib dilaksanakan di perusahaan, serta adanya sanksi pidana bagi yang tidak melaksanakannya.
Kelima, mendesak gubernur, bupati/walikota untuk menetapkan kenaikan upah 2016 sesuai mekanisme yang sudah berjalan selama ini, yaitu melalui rekomendasi di Dewan Pengupahan.
Sekretaris Umum DPP SPN Ramidi menjelaskan berdasarkan hasil kajian pihaknya terhadap RPP pengupahan, secara umum tidak menjawab persoalan kesejahteraan buruh yang saat ini upahnya semakin tergerus akibat dampak perlambatan ekonomi.
"Justru dengan kebijakan tersebut sama saja pemerintah menjual rakyatnya dengan sistem upah murah yang ditawarkan kepada investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia," terangnya.
Menurut Ramidi, upah buruh di Indonesia masih kalah dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, China dan negara berkembang lain. "Upah Minimum di China 3,9 juta, Thailand 3,5 juta dan Filipina sampai 4,2 juta. Indonesia hanya lebih tinggi sedikit dari Kamboja, Vietnam dan Laos, tentunya hal ini harus disikapi oleh para buruh sebagai bagian dari komponen bangsa," tandasnya.
Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) SPN, Iwan Kusmawan menyatakan unjuk rasa besar-besaran ini bagian dari sikap buruh menolak kebijakan pemerintah yang tertuang dalam RPP Pengupahan.
"Kita sudah baca draft RPP yang bakal ditandatangani dan diterapkan per 1 November oleh Presiden Jokowi. Isinya tidak berpihak pada buruh dan terkesan sebagai pesanan kapitalis asing," ujarnya, usai rapat koordinasi dengan pengurus SPN se-Jabodetabek dan Sukabumi.
Selain itu, RPP Pengupahan ditolak keras karena kebijakan pengupahan buruh di Indonesia, tanpa melibatkan Serikat Pekerja di Dewan Pengupahan. Kedua, formula kenaikan upah berpatokan pada inflasi dan perkembangan ekonomi, tidak lagi mengacu kepada Kebutuhan Hidup Layak (KHL). (Baca: Upah Buruh di Balik Paket Kebijakan Jilid IV)
"Jelas hal ini bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan di mana salah satu pasalnya berbunyi setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan layak bagi kemanusiaan," tegas Iwan.
Sebab itu, SPN menyatakan sikap; meminta kepada pemerintah menghentikan segala pembahasan RPP dan membatalkan formula kenaikan upah berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, meminta agar serikat pekerja/buruh dilibatkan dalam penetapan upah minimum melalui Dewan Pengupahan.
Ketiga, menuntut agar komponen KHL diubah dari saat ini 60 item menjadi 84 item. Keempat, menuntut agar pelaksanaan struktur dan skala upah dalam pengupahan wajib dilaksanakan di perusahaan, serta adanya sanksi pidana bagi yang tidak melaksanakannya.
Kelima, mendesak gubernur, bupati/walikota untuk menetapkan kenaikan upah 2016 sesuai mekanisme yang sudah berjalan selama ini, yaitu melalui rekomendasi di Dewan Pengupahan.
Sekretaris Umum DPP SPN Ramidi menjelaskan berdasarkan hasil kajian pihaknya terhadap RPP pengupahan, secara umum tidak menjawab persoalan kesejahteraan buruh yang saat ini upahnya semakin tergerus akibat dampak perlambatan ekonomi.
"Justru dengan kebijakan tersebut sama saja pemerintah menjual rakyatnya dengan sistem upah murah yang ditawarkan kepada investor asing agar mau menanamkan modalnya di Indonesia," terangnya.
Menurut Ramidi, upah buruh di Indonesia masih kalah dengan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, China dan negara berkembang lain. "Upah Minimum di China 3,9 juta, Thailand 3,5 juta dan Filipina sampai 4,2 juta. Indonesia hanya lebih tinggi sedikit dari Kamboja, Vietnam dan Laos, tentunya hal ini harus disikapi oleh para buruh sebagai bagian dari komponen bangsa," tandasnya.
(dmd)