Buruh Tolak UMP DKI Rp3,1 Juta/Bulan
A
A
A
JAKARTA - Kalangan buruh yang tergabung dalam Asosiasi Pekerja (Aspek) Indonesia mengaku menolak penetapan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta sebesar Rp3,1 juta per bulan.
Sekretaris Jenderal Aspek Indonesia Sabda Pranawa Jati menuturkan, hal ini lantaran upah minimum tersebut dihitung menggunakan formulasi pengupahan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Sampai saat ini kita masih melakukan penolakan terhadap PP Nomor 78 tahun 2015, karena sebetulnya PP itu yang menjadi dasar Gubernur Ahok (Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama) memutuskan Rp3,1 juta," katanya saat dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa (3/11/2015).
Menurutnya, PP Nomor 78 tahun 2015 tersebut melanggar Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa penentuan UMP berdasarkan hasil survei komponen hidup layak (KHL) yang dilakukan dewan pengupahan di provinsi dan kota.
"Nah, PP 78 tahun 2015 kemudian menghilangkan peranan itu, sehingga tidak ada lagi survei KHL yang berdasarkan survei oleh dewan pengupahan. Nah kita masih menolak itu," tegas dia.
Sebab itu, sambung Sabda, pihaknya meminta Gubernur DKI Jakarta untuk tidak ikut melanggar UU tersebut dengan menghitung UMP berdasarkan PP Nomor 78 tahun 2015.
"Jadi kita minta Ahok untuk memperhatikan UU 13, kemudian memutus UMP berdasarkan survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan DKI, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," tandasnya.
Baca Juga:
Dewan Pengupah Ketok UMP DKI 2016 Rp3,1 Juta
Pengusaha Wanita: UMP Rp3,1 Juta Sangat Memberatkan UMKM
Sekretaris Jenderal Aspek Indonesia Sabda Pranawa Jati menuturkan, hal ini lantaran upah minimum tersebut dihitung menggunakan formulasi pengupahan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
"Sampai saat ini kita masih melakukan penolakan terhadap PP Nomor 78 tahun 2015, karena sebetulnya PP itu yang menjadi dasar Gubernur Ahok (Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama) memutuskan Rp3,1 juta," katanya saat dihubungi wartawan di Jakarta, Selasa (3/11/2015).
Menurutnya, PP Nomor 78 tahun 2015 tersebut melanggar Undang-undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa penentuan UMP berdasarkan hasil survei komponen hidup layak (KHL) yang dilakukan dewan pengupahan di provinsi dan kota.
"Nah, PP 78 tahun 2015 kemudian menghilangkan peranan itu, sehingga tidak ada lagi survei KHL yang berdasarkan survei oleh dewan pengupahan. Nah kita masih menolak itu," tegas dia.
Sebab itu, sambung Sabda, pihaknya meminta Gubernur DKI Jakarta untuk tidak ikut melanggar UU tersebut dengan menghitung UMP berdasarkan PP Nomor 78 tahun 2015.
"Jadi kita minta Ahok untuk memperhatikan UU 13, kemudian memutus UMP berdasarkan survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan DKI, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi," tandasnya.
Baca Juga:
Dewan Pengupah Ketok UMP DKI 2016 Rp3,1 Juta
Pengusaha Wanita: UMP Rp3,1 Juta Sangat Memberatkan UMKM
(izz)