Tenaga Kerja di Jateng Didominasi Lulusan SD
A
A
A
JAKARTA - Tenaga kerja di Jawa Tengah (Jateng) masih didomonasi mereka yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 52,38%. Sementara penduduk yang bekerja dengan pendidikan sarjana ke atas hanya sebesar 7,71%.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, penyerapan tenaga kerja hingga pada Agustus 2015 masih didominasi penduduk yang berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebesar 8,61 juta orang atau 52,38%, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 3,16 juta orang atau 19,21%.
“Penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi hanya sekitar 1,27 juta orang mencakup 0,36 juta orang (2,17%) berpendidikan diploma dan 0,91 juta orang (5,54%) berpendidikan universitas,” ujar Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, Jam Jam Zamachsyari, Senin (16/11/2015).
Dia mengatakan, meskipun tenaga kerja lulusan SD masih mendominasi, namun tahun ini mengalami perunan dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam periode setahun terakhir (Agustus 2014-Agustus 2015), penduduk bekerja dengan pendidikan rendah secara persentase menurun dari 73,12% menjadi 71,59%. Sementara penduduk bekerja berpendidikan tinggi mengalami peningkatan dari 6,97% pada Agustus 2014, menjadi 7,71 % pada Agustus 2015.
“Perbaikan kualitas tenaga kerja ditunjukkan oleh penurunan tenaga kerja berpendidikan rendah, yaitu tamatan SD atau lebih rendah. Kecenderungan ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dasar dalam bentuk pembebasan biaya untuk SD dan SMP,” bebernya.
Dia menjelaskan, secara persentase angkatan kerja di Jateng Agustus 2015 sebanyak 17,30 juta orang atau turun sekitar 248 ribu orang dibanding angkatan kerja Agustus 2014 dan berkurang 994 ribu orang dibanding Februari 2015. "Kalau penduduk yang bekerja di Jateng pada Agustus 2015 sebanyak 16,44 juta orang, berkurang sekitar 887 ribu orang dibandingkan Februari 2015,” jelasnya.
Jam-jam menyebutkan, selama setahun terakhir penyerapan tenaga kerja mengalami kenaikan hampir di semua sektor. Kenaikan penyerapan terutama terjadi pada sektor konstruksi mencapai 260 ribu orang. Sektor industri 94 ribu orang dan sektor perdagangan 88 ribu orang.
Terpisah, Ketua Apindo Jateng Frans Kongi mengakui, masih banyak tenaga kerja yang lulusan sekolah dasar dan banyak pabrik yang menggunakan tenaga kerja SD.
Frans mengaku, meskipun banyak tenaga kerja yang lulusan SD namun keahliannya tidak perlu diragukan. “Soal tenaga kerja yang lulusan sekolah dasar, kita tidak perlu pesimistis, jangan anggap enteng mereka yang lulusan SD. Banyak lulusan SD tapi punya intelegensi bagus,” katanya.
Dia menuturkan, manufaktur di Jateng belum banyak menggunakan teknologi tinggi yang tidak begitu rumit, sehingga untuk tenaga kerja SD masih memiliki potensi besar karena mereka mau belajar.
“Bukan berarti perusahaan tidak membutuhkan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Kita tetap butuh untuk beberapa bidang,” ucapnya.
Dia menyebutkan, yang penting sekarang pekerja harus didorong dan dilatih supaya semakin terampil. Di pabrik-pabrik tidak terlalu memandang pendidikan, tetapi lebih pada skill yang dibutuhkan. “Lebih pada keahliannya, bukan pendidikannya. Siapa yang bisa bekerja dia yang mendapatkan tempat, “ tandasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, penyerapan tenaga kerja hingga pada Agustus 2015 masih didominasi penduduk yang berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebesar 8,61 juta orang atau 52,38%, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 3,16 juta orang atau 19,21%.
“Penduduk bekerja dengan pendidikan tinggi hanya sekitar 1,27 juta orang mencakup 0,36 juta orang (2,17%) berpendidikan diploma dan 0,91 juta orang (5,54%) berpendidikan universitas,” ujar Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng, Jam Jam Zamachsyari, Senin (16/11/2015).
Dia mengatakan, meskipun tenaga kerja lulusan SD masih mendominasi, namun tahun ini mengalami perunan dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam periode setahun terakhir (Agustus 2014-Agustus 2015), penduduk bekerja dengan pendidikan rendah secara persentase menurun dari 73,12% menjadi 71,59%. Sementara penduduk bekerja berpendidikan tinggi mengalami peningkatan dari 6,97% pada Agustus 2014, menjadi 7,71 % pada Agustus 2015.
“Perbaikan kualitas tenaga kerja ditunjukkan oleh penurunan tenaga kerja berpendidikan rendah, yaitu tamatan SD atau lebih rendah. Kecenderungan ini merupakan dampak dari kebijakan pemerintah di bidang pendidikan dasar dalam bentuk pembebasan biaya untuk SD dan SMP,” bebernya.
Dia menjelaskan, secara persentase angkatan kerja di Jateng Agustus 2015 sebanyak 17,30 juta orang atau turun sekitar 248 ribu orang dibanding angkatan kerja Agustus 2014 dan berkurang 994 ribu orang dibanding Februari 2015. "Kalau penduduk yang bekerja di Jateng pada Agustus 2015 sebanyak 16,44 juta orang, berkurang sekitar 887 ribu orang dibandingkan Februari 2015,” jelasnya.
Jam-jam menyebutkan, selama setahun terakhir penyerapan tenaga kerja mengalami kenaikan hampir di semua sektor. Kenaikan penyerapan terutama terjadi pada sektor konstruksi mencapai 260 ribu orang. Sektor industri 94 ribu orang dan sektor perdagangan 88 ribu orang.
Terpisah, Ketua Apindo Jateng Frans Kongi mengakui, masih banyak tenaga kerja yang lulusan sekolah dasar dan banyak pabrik yang menggunakan tenaga kerja SD.
Frans mengaku, meskipun banyak tenaga kerja yang lulusan SD namun keahliannya tidak perlu diragukan. “Soal tenaga kerja yang lulusan sekolah dasar, kita tidak perlu pesimistis, jangan anggap enteng mereka yang lulusan SD. Banyak lulusan SD tapi punya intelegensi bagus,” katanya.
Dia menuturkan, manufaktur di Jateng belum banyak menggunakan teknologi tinggi yang tidak begitu rumit, sehingga untuk tenaga kerja SD masih memiliki potensi besar karena mereka mau belajar.
“Bukan berarti perusahaan tidak membutuhkan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Kita tetap butuh untuk beberapa bidang,” ucapnya.
Dia menyebutkan, yang penting sekarang pekerja harus didorong dan dilatih supaya semakin terampil. Di pabrik-pabrik tidak terlalu memandang pendidikan, tetapi lebih pada skill yang dibutuhkan. “Lebih pada keahliannya, bukan pendidikannya. Siapa yang bisa bekerja dia yang mendapatkan tempat, “ tandasnya.
(dmd)