OJK Bangun Good Governance Masyarakat Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Membangun good governance (tata kelola yang benar) berarti juga mengembangkan kebudayaan masyarakat Indonesia. Isu good corporate governance (GCG) di korporasi hanya puncak gunung es, dari masalah hilangnya integritas di setiap individu manusia.
Perspektif ini mengemuka dalam acara yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu, Risk and Governance Summit (RGS) 2015. Sebagai forum level internasional, acara diadakan di Museum Nasional bersejarah. Pihak otoritas memperluas perspektif mengenai GCG menjadi masalah kebudayaan bangsa Indonesia. Sehingga tidak sekadar penegakan governance di sektor keuangan.
RGS di tahun ketiga ini mengambil tema "Passion To Governance: Embedding Culture Into Governance and Integrity". OJK ingin menekankan peran kebudayaan sebagai satu pendekatan dalam implementasi good governance dan penguatan integritas OJK, serta di seluruh pelaku di industri jasa keuangan.
Acara dibuka oleh Ketua Dewan Komisioner OJK dengan menghadirkan pembicara Olivia Kirtley, President of International Federation of Accountant (IFAC), Prof Ahmad Syafii Maarif, tokoh budayawan dan sastrawan Remy Sylado, pendiri PT Go-Jek Indonesia Nadiem Makarim, serta moderator Effendi Gazali.
Budayawan M Syafii Maarif dalam pidatonya mengatakan, persoalan utama integritas bangsa karena tidak sesuainya antara nilai nilai luhur dan sikap yang diambil para pemimpin. Dalam industri keuangan dia mencontohkan terdapat kesenjangan pendapatan yang tinggi antara pimpinan dan level di bawahnya.
“Saya tidak mengerti bagaimana kebijakan di setiap bank. Hal ini sangat ekstrim karena gaji level direktur bank atau perusahaan asuransi bisa lebih tinggi dari gaji presiden yang tanggung jawabnya lebih besar. Sedangkan kita ingin agar menciptakan rasa memiliki bersama di seluruh lapisan,” ujar Syafii dalam pidatonya di Jakarta, Selasa (17/11/2015).
Dia mengingatkan sikap tersebut tidak sesuai dengan good governance dan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila. Sementara pimpinan perusahaan berharap untuk menghasilkan keceriaan kepatuhan ketenangan karyawan dalam bekerja. “Untuk mencapai itu maka pimpinan harus melihat peta psikologi yang dipimpinnya,” ujar Syafii.
Ketua DK OJK Muliaman D Hadad menegaskan pentingnya penegakan integritas dengan GCG untuk mengatur personal individu di sektor keuangan. Dicontohkannya, apabila ada bank yang bankrut, itu bukanlah karena persaingan. Melainkan karena dicuri pemiliknya sendiri.
“Tidak ada bank gagal karena persaingan atau soal likuiditas namun karena dicuri pemiliknya sendiri. Ini karena masalah governance tidak diterapkan dengan baik,” ujar Muliaman dalam sambutannya.
Dia menceritakan berbagai hardware berupa aturan-aturan masih belum cukup untuk menegakkan GCG. Sehingga dibutuhkan pendekatan dari sisi software atau budaya di setiap individu.
Menurutnya, GCG tidak bisa hanya formalitas namun harus menjadi bagian dari nilai kehidupan. “Dengan pendekatan budaya kita ingin GCG ini embedded atau menyatu. Sehingga tidak sekadar formalitas. Perjalanan mewujudkan integritas di Tanah Air masih sangat panjang,” ujarnya.
Dia melanjutkan perusahaan yang tidak menerapkan prinsip governance yang baik dalam operasionalnya akan mengambil kebijakan yang berorientasi jangka pendek. Kebijakan yang diambil hanya ditujukan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
"Karena perusahaan yang tanpa governance itu body without soul (tubuh tanpa jiwa). Sehingga semua berorientasi jangka pendek, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Terabas kiri-kanan. Software ini jadi sangat penting," katanya
Padahal, kata dia, penerapan prinsip governance yang baik dalam kultur perusahaan akan membuat perusahaan tersebut lebih memiliki daya tahan dalam menghadapi gejolak dan krisis. “Ini bukan hanya masalah negara berkembang namun juga negara maju. Di level ASEAN juga sedang dikembangkan terus. Kerap kali penerapan GCG berarti penanda performa usaha yang baik jangka panjang,” ujarnya.
Dia melihat penegakan good governance dalam sektor jasa keuangan menjadi modal utama dan terpenting dalam menunjang keberhasilan kemajuan perekonomian sebuah negara.
Sebagai otoritas pengatur dan pengawas Lembaga Jasa Keuangan secara menyeluruh, OJK harus mengawasi pengelolaan aset keuangan yang begitu besar, sebagai gambaran; di perbankan sampai dengan Semester 1 2015 total aset bank umum sebesar Rp5.793 atau 55% dari GDP; di pasar modal sampai dengan Juli 2015 nilai kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia telah mencapai Rp4.522 trilliun atau sekitar 43% dari GDP; kapitalisasi obligasi telah mencapai Rp1.657 trilliun atau 16% dari GDP.
Di Industri keuangan non-bank sampai dengan semester I 2015, aset perusahaan asuransi mencapai Rp777 trilliun, aset perusahaan pembiayaan sebesar Rp435 triliun dan aset dana pensiun sebesar Rp195 triliun. Sehingga secara keseluruhan, OJK akan mengawasi pengelolaan aset keuangan sebesar Rp13.375 triliun.
“Dalam mendukung tercapainya tujuan-tujuan pembentukan OJK tersebut serta untuk mengelola dengan baik kewenangannya yang besar, penerapan good governance di OJK menjadi suatu keharusan,” katanya.
OJK bertekad untuk dapat menjadi role model implementasi governance bagi industri jasa keuangan di Indonesia. Untuk itu, program penerapan prinsip-prinsip governance telah diintegrasikan dengan program budaya di OJK. Selain itu, beberapa inisiatif strategis juga telah diambil untuk mengimplementasikan governance dan memperkuat integritas insan OJK.
Melalui pendekatan budaya, governance akan lebih mudah diterima oleh seluruh pemangku kepentingan sehingga prinsip-prinsip governance termasuk prinsip integritas dapat diterapkan dalam setiap aktifitas secara sadar dan sungguh-sungguh. Pada akhirnya diharapkan governance menjadi budaya bangsa, bukan hanya menjadi jargon semata.
Tahun 2015, bagi OJK merupakan tahapan menjadi Good Governed Organisation, yang berarti seluruh infrastruktur dan prasarana telah dimiliki dan enforcement dilakukan secara konsisten, termonitor, dan terukur.
Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, Ilya Avianti mengatakan tahun 2015 juga ditetapkan sebagai “Tahun Penguatan Integritas” OJK, dengan program utama adalah: memastikan berfungsinya unit anti fraud, revitalisasi whistleblowing system (WBS), dan pelaksanaan Program Pengendalian Gratifikasi.
“Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendukung program OJK ini agar kita bersama dapat memastikan bahwa OJK terus memiliki kapasitas terbaik dalam menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, dan perlindungan konsumen,” kata Ilya dalam kesempatan yang sama.
Dia meyakini bahwa membangun kualitas good governance tidak hanya menjadi tanggung jawab dan kewenangan otoritas, pejabat, tokoh, dan institusi formal namun menjadi tanggung jawab kita bersama.
“RGS kali ini kita dapat mendengarkan bagaimana para pakar governance di luar otoritas, pejabat pemerintah dan institusi formal lainnya berbicara tentang governance, integritas dan termasuk ekspektasi mereka terhadap governance di Indonesia,” tandas Ilya.
Perspektif ini mengemuka dalam acara yang digelar oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yaitu, Risk and Governance Summit (RGS) 2015. Sebagai forum level internasional, acara diadakan di Museum Nasional bersejarah. Pihak otoritas memperluas perspektif mengenai GCG menjadi masalah kebudayaan bangsa Indonesia. Sehingga tidak sekadar penegakan governance di sektor keuangan.
RGS di tahun ketiga ini mengambil tema "Passion To Governance: Embedding Culture Into Governance and Integrity". OJK ingin menekankan peran kebudayaan sebagai satu pendekatan dalam implementasi good governance dan penguatan integritas OJK, serta di seluruh pelaku di industri jasa keuangan.
Acara dibuka oleh Ketua Dewan Komisioner OJK dengan menghadirkan pembicara Olivia Kirtley, President of International Federation of Accountant (IFAC), Prof Ahmad Syafii Maarif, tokoh budayawan dan sastrawan Remy Sylado, pendiri PT Go-Jek Indonesia Nadiem Makarim, serta moderator Effendi Gazali.
Budayawan M Syafii Maarif dalam pidatonya mengatakan, persoalan utama integritas bangsa karena tidak sesuainya antara nilai nilai luhur dan sikap yang diambil para pemimpin. Dalam industri keuangan dia mencontohkan terdapat kesenjangan pendapatan yang tinggi antara pimpinan dan level di bawahnya.
“Saya tidak mengerti bagaimana kebijakan di setiap bank. Hal ini sangat ekstrim karena gaji level direktur bank atau perusahaan asuransi bisa lebih tinggi dari gaji presiden yang tanggung jawabnya lebih besar. Sedangkan kita ingin agar menciptakan rasa memiliki bersama di seluruh lapisan,” ujar Syafii dalam pidatonya di Jakarta, Selasa (17/11/2015).
Dia mengingatkan sikap tersebut tidak sesuai dengan good governance dan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila. Sementara pimpinan perusahaan berharap untuk menghasilkan keceriaan kepatuhan ketenangan karyawan dalam bekerja. “Untuk mencapai itu maka pimpinan harus melihat peta psikologi yang dipimpinnya,” ujar Syafii.
Ketua DK OJK Muliaman D Hadad menegaskan pentingnya penegakan integritas dengan GCG untuk mengatur personal individu di sektor keuangan. Dicontohkannya, apabila ada bank yang bankrut, itu bukanlah karena persaingan. Melainkan karena dicuri pemiliknya sendiri.
“Tidak ada bank gagal karena persaingan atau soal likuiditas namun karena dicuri pemiliknya sendiri. Ini karena masalah governance tidak diterapkan dengan baik,” ujar Muliaman dalam sambutannya.
Dia menceritakan berbagai hardware berupa aturan-aturan masih belum cukup untuk menegakkan GCG. Sehingga dibutuhkan pendekatan dari sisi software atau budaya di setiap individu.
Menurutnya, GCG tidak bisa hanya formalitas namun harus menjadi bagian dari nilai kehidupan. “Dengan pendekatan budaya kita ingin GCG ini embedded atau menyatu. Sehingga tidak sekadar formalitas. Perjalanan mewujudkan integritas di Tanah Air masih sangat panjang,” ujarnya.
Dia melanjutkan perusahaan yang tidak menerapkan prinsip governance yang baik dalam operasionalnya akan mengambil kebijakan yang berorientasi jangka pendek. Kebijakan yang diambil hanya ditujukan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
"Karena perusahaan yang tanpa governance itu body without soul (tubuh tanpa jiwa). Sehingga semua berorientasi jangka pendek, mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Terabas kiri-kanan. Software ini jadi sangat penting," katanya
Padahal, kata dia, penerapan prinsip governance yang baik dalam kultur perusahaan akan membuat perusahaan tersebut lebih memiliki daya tahan dalam menghadapi gejolak dan krisis. “Ini bukan hanya masalah negara berkembang namun juga negara maju. Di level ASEAN juga sedang dikembangkan terus. Kerap kali penerapan GCG berarti penanda performa usaha yang baik jangka panjang,” ujarnya.
Dia melihat penegakan good governance dalam sektor jasa keuangan menjadi modal utama dan terpenting dalam menunjang keberhasilan kemajuan perekonomian sebuah negara.
Sebagai otoritas pengatur dan pengawas Lembaga Jasa Keuangan secara menyeluruh, OJK harus mengawasi pengelolaan aset keuangan yang begitu besar, sebagai gambaran; di perbankan sampai dengan Semester 1 2015 total aset bank umum sebesar Rp5.793 atau 55% dari GDP; di pasar modal sampai dengan Juli 2015 nilai kapitalisasi saham di Bursa Efek Indonesia telah mencapai Rp4.522 trilliun atau sekitar 43% dari GDP; kapitalisasi obligasi telah mencapai Rp1.657 trilliun atau 16% dari GDP.
Di Industri keuangan non-bank sampai dengan semester I 2015, aset perusahaan asuransi mencapai Rp777 trilliun, aset perusahaan pembiayaan sebesar Rp435 triliun dan aset dana pensiun sebesar Rp195 triliun. Sehingga secara keseluruhan, OJK akan mengawasi pengelolaan aset keuangan sebesar Rp13.375 triliun.
“Dalam mendukung tercapainya tujuan-tujuan pembentukan OJK tersebut serta untuk mengelola dengan baik kewenangannya yang besar, penerapan good governance di OJK menjadi suatu keharusan,” katanya.
OJK bertekad untuk dapat menjadi role model implementasi governance bagi industri jasa keuangan di Indonesia. Untuk itu, program penerapan prinsip-prinsip governance telah diintegrasikan dengan program budaya di OJK. Selain itu, beberapa inisiatif strategis juga telah diambil untuk mengimplementasikan governance dan memperkuat integritas insan OJK.
Melalui pendekatan budaya, governance akan lebih mudah diterima oleh seluruh pemangku kepentingan sehingga prinsip-prinsip governance termasuk prinsip integritas dapat diterapkan dalam setiap aktifitas secara sadar dan sungguh-sungguh. Pada akhirnya diharapkan governance menjadi budaya bangsa, bukan hanya menjadi jargon semata.
Tahun 2015, bagi OJK merupakan tahapan menjadi Good Governed Organisation, yang berarti seluruh infrastruktur dan prasarana telah dimiliki dan enforcement dilakukan secara konsisten, termonitor, dan terukur.
Ketua Dewan Audit merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK, Ilya Avianti mengatakan tahun 2015 juga ditetapkan sebagai “Tahun Penguatan Integritas” OJK, dengan program utama adalah: memastikan berfungsinya unit anti fraud, revitalisasi whistleblowing system (WBS), dan pelaksanaan Program Pengendalian Gratifikasi.
“Kami mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mendukung program OJK ini agar kita bersama dapat memastikan bahwa OJK terus memiliki kapasitas terbaik dalam menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, dan perlindungan konsumen,” kata Ilya dalam kesempatan yang sama.
Dia meyakini bahwa membangun kualitas good governance tidak hanya menjadi tanggung jawab dan kewenangan otoritas, pejabat, tokoh, dan institusi formal namun menjadi tanggung jawab kita bersama.
“RGS kali ini kita dapat mendengarkan bagaimana para pakar governance di luar otoritas, pejabat pemerintah dan institusi formal lainnya berbicara tentang governance, integritas dan termasuk ekspektasi mereka terhadap governance di Indonesia,” tandas Ilya.
(dmd)