Suku Bunga Acuan BI Diramal Turun Awal Tahun Depan
A
A
A
JAKARTA - Pengamat ekonomi memprediksi suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) turun awal tahun 2016, demi mempercepat pertumbuhan penyaluran kredit. Kelebihan likuiditas industri perbankan saat ini dinilai masih tetap membutuhkan pelonggaran suku bunga acuan (BI Rate).
Plt Direktur Group Resiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, ada ruang penurunan BI rate di awal tahun depan. Hal ini karena ada selisih yield suku bunga riil BI dan The Fed di AS yang bisa mencapai 390 basis poin dari normalnya di angka 250 basis poin. Penurunan BI Rate diharapkan target pertumbuhan kredit domestik dapat mencapai batas atas 12-14% di tahun 2016.
“Pendorong kredit utamanya dari pelonggaran BI Rate. Januari tahun depan sepertinya sudah bisa diturunkan setelah melihat dampak pasar terhadap kenaikan FFR di AS,” ujar Doddy di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia juga menilai pelemahan permintaan kredit dikarenakan permintaan dari industri yang melambat. Sehingga untuk memancing permintaan tersebut dibutuhkan policy rate yang rendah.
Dia menilai kebijakan makro prudensial dari BI yang menurunkan GWM Primer masih kurang substansial. Karena dengan likuiditas yang berlebih di perbankan belum tentu dapat meningkatkan permintaan kredit.
“Fokusnya masih menunggu penurunan BI Rate yang paling besar dampaknya untuk meningkatkan permintaan kredit baru,” terang Doddy.
Sementara ekonom BNI, Ryan Kiryanto menilai proyeksi kredit tumbuh 12-14% itu masih tergantung kondisi dalam negeri. Target tersebut angka yang konservatif. Permintaan kredit disebutnya tidak semata mata dapat naik karena BI melonggarkan GWM Primer sehingga ada dana Rp18 triliun yang dapat diputar oleh perbankan.
Namun industri tetap perlu stimulus fiskal melalui keringanan pajak lalu pengusaha tergerak ekspansi dan ajukan penambahan fasilitas kredit. Kemudahan investasi, dwelling time untuk efisiensi cost, baru akan meningkatkan demand mengajukan tambahan fasilitas kredit.
“Real demand dari masyarakat harus ada. Sebaiknya pemerintah dan otoritas keuangan perlu biasakan mendesain kebijakan counter cyclical policy. Bisnis ada siklus karena up and down perlu diantisipasi. Jangan terus reaktif keluarkan banyak paket kebijakan dalam satu waktu,” tandas Ryan.
Baca juga:
Diminta JK Turunkan BI Rate, Ini Jawaban Agus Marto
JK dan BI Gaduh Bikin Ekonomi RI Makin Tidak Pasti
Penurunan BI Rate Bukan Solusi Dongkrak Ekonomi RI
Plt Direktur Group Resiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, ada ruang penurunan BI rate di awal tahun depan. Hal ini karena ada selisih yield suku bunga riil BI dan The Fed di AS yang bisa mencapai 390 basis poin dari normalnya di angka 250 basis poin. Penurunan BI Rate diharapkan target pertumbuhan kredit domestik dapat mencapai batas atas 12-14% di tahun 2016.
“Pendorong kredit utamanya dari pelonggaran BI Rate. Januari tahun depan sepertinya sudah bisa diturunkan setelah melihat dampak pasar terhadap kenaikan FFR di AS,” ujar Doddy di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia juga menilai pelemahan permintaan kredit dikarenakan permintaan dari industri yang melambat. Sehingga untuk memancing permintaan tersebut dibutuhkan policy rate yang rendah.
Dia menilai kebijakan makro prudensial dari BI yang menurunkan GWM Primer masih kurang substansial. Karena dengan likuiditas yang berlebih di perbankan belum tentu dapat meningkatkan permintaan kredit.
“Fokusnya masih menunggu penurunan BI Rate yang paling besar dampaknya untuk meningkatkan permintaan kredit baru,” terang Doddy.
Sementara ekonom BNI, Ryan Kiryanto menilai proyeksi kredit tumbuh 12-14% itu masih tergantung kondisi dalam negeri. Target tersebut angka yang konservatif. Permintaan kredit disebutnya tidak semata mata dapat naik karena BI melonggarkan GWM Primer sehingga ada dana Rp18 triliun yang dapat diputar oleh perbankan.
Namun industri tetap perlu stimulus fiskal melalui keringanan pajak lalu pengusaha tergerak ekspansi dan ajukan penambahan fasilitas kredit. Kemudahan investasi, dwelling time untuk efisiensi cost, baru akan meningkatkan demand mengajukan tambahan fasilitas kredit.
“Real demand dari masyarakat harus ada. Sebaiknya pemerintah dan otoritas keuangan perlu biasakan mendesain kebijakan counter cyclical policy. Bisnis ada siklus karena up and down perlu diantisipasi. Jangan terus reaktif keluarkan banyak paket kebijakan dalam satu waktu,” tandas Ryan.
Baca juga:
Diminta JK Turunkan BI Rate, Ini Jawaban Agus Marto
JK dan BI Gaduh Bikin Ekonomi RI Makin Tidak Pasti
Penurunan BI Rate Bukan Solusi Dongkrak Ekonomi RI
(dmd)